Try new experience
with our app

INSTALL

Pertemuan 

Part 1 - Ciuman Perpisahan

Ayahku adalah seorang pelukis kata-kata dan pembaca puisi yang mampu membangkitkan amarah bagi mereka yang tertindas maupun tertipu penguasa, menurut ayahku dalam puisinya, kehidupan bernegara hanyalah sebuah permainan belaka yang dimainkan oleh sebagian orang yang pandai memutar balikkan fakta untuk memenuhi nafsunya. Sehingga apa yang lahir dari kata-kata ayahku membuat telinga para penguasa saat itu merasa terganggu dan lalu mereka mengartikan kata-kata ayahku sebagai tanda bahaya bagi kekuasaannya.

Hampir setiap hari kami selalu mengalami teror, dari sebuah lemparan batu yang pecahkan kaca jendela sampai pandangan mata yang menakutkan dari beberapa orang tak dikenal yang sering kali berlalu-lalang di sekitar rumah kami.

“Siapa mereka, mas?” tanya ibuku yang mulai tak nyaman dengan kehadiran mereka.

“Letakkan saja kopi itu,” pinta ayahku yang masih merapihkan sekumpulan tulisan-tulisannya, dan mencoba tetap tenang melihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Biarkan saja,” kata ayahku seperti tak peduli dengan kehadiran mereka yang kerap kali memantau kita.

“Mas, aku takut, jangan-jangan mereka yang kemarin melempar batu ke rumah kita,” bisik ibuku sembari meletakkan kopi hitam tanpa gula di meja tempat biasa ayah menulis.

“Meskipun benar mereka yang melemparnya, itu pun tak ada artinya, bukankah kemarin kita sudah melaporkan kejadian ini ke polisi, dan masih ingatkan apa yang dikatakan mereka? Mereka mengatakan bahwa kita harus introspeksi diri, siapa tahu kita pernah menyinggung perasaan orang lain, sehingga mereka melemparkan batu ke rumah kita. Masih ingatkah?” tanya ayahku yang baru saja menikmati kopi buat ibu.

“Aku yakin sekali mas, mereka yang melemparnya,” dua mata ibu terus memerhatikan keadaan di luar. “Apakah ini ada hubungannya dengan tulisan-tulisanmu, mas?” tanya ibuku kembali.

“Jika memang ini ada hubungannya dengan tulisanku, kamu tidak perlu khawatir, sebab kita tidak sendiri lagi, sudah ada banyak orang yang terbuka pemikirannya dan mulai berani melawan ketidak-adilan pemerintahan saat ini, kamu tenang saja, jika sudah waktunya penguasa itu pun akan tumbang,” terang ayahku kepada ibuku yang selalu diliputi ketidak tenangan dalam hatinya. Dan ini bukan hanya sekedar dari lemparan batu yang pecahkan kaca jendela, tapi ini juga berkaitan dengan mimpi-mimpi buruk yang selalu dialaminya, mimpi tentang seorang laki-laki yang ditembak mati di bagian kepalanya, bersama kobaran api dan suara-suara teriakan yang menakutkan. 

“Mas, kata-kata dalam puisimu ini membuat perasaanku tak nyaman,” kata ibuku setelah membaca beberapa bait dari tulisan ayahku.

“Ini hanya sekedar kata pengingat bagi mereka yang berkuasa, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Apa yang kamu takutkan sayang?” tanya ayahku, tak lama kemudian ayah berucap kembali, “Jika kamu selalu dihantui ketakutan, maka tidak akan pernah ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupmu, sebab ketakutan dalam dirimu hanya akan menjadi racun pembunuh kebebasan berpikirmu. Kita ini bukan siapa-siapa dan kita ini hanya manusia yang sedang berjuang melalui kata-kata, aku berharap kamu selalu mendukung setiap perjuanganku, kini sudah waktunya rakyat tahu untuk membongkar semua kebohongan sang penguasa yang zalim,” tangan ayahku membelai rambut ibuku. “Jangan takut sayang, biarkan cantikmu abadi tanpa adanya ketakutan yang menutupi,” suara ayah mendayu seperti sedang membacakan puisi cinta untuk ibuku.

“Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai untuk yang kedua kalinya mas, ingatlah bahwa kamu tidak hanya hidup dengan dirimu sendiri, ada aku, dan ada Cakra Surya anakmu. Tolong kendalikan tulisanmu, mas, aku ingin hidupku nyaman bersamamu dan anakmu, selamanya,” suara ibu berbisik pelan dekat telinga ayahku dan lalu memeluknya. “Hentikan perlawanan ini mas,” bisiknya kembali.

“Ingat Sari, ayahmu dan juga ayahku telah dibunuh di rezim ini,” balas ayahku, dan lalu ibu berjalan meninggalkannya.

“Aku hanya ingin hidup nyaman mas, tanpa adanya rasa dendam dan aku telah muak dengan kemarahan yang berapi-api, tak ada arti,” kata ibu yang berjalan menuju kamar dengan wajahnya yang sudah nampak berserah diri.

***

Dalam kesendirian, ayahku membuka kembali album kenangan bersama kakekku, seorang aktivis gerakan Islam yang menjadi salah satu korban dari tragedi berdarah Tanjung Priok, 12 September 1984. Masih sangat jelas dalam ingatannya saat ratusan massa dari Jamaah Pengajian Mushola As-Sa’adah dihujani rentetan tembakan senjata otomatis dari berbagai arah, ayahku yang saat itu masih berumur 18 tahun hanya dapat meringkuk sembunyi di saluran air bersama beberapa orang yang sempat berlari menyelamatkan diri dari hujan peluru di sekitar tempat kejadian, sedangkan kakekku telah menjadi bagian dari sekumpulan mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan dan menjadi sasaran empuk lindasan konvoi truk-truk militer yang melintas. Semenjak kejadian berdarah itu, kehidupan ayah dipenuhi oleh rasa dendam dan amarah, setelah lulus SMA, ayah memutuskan untuk pergi menjauh bersama ibunya meninggalkan Tanjung Priok. Tempat tinggalnya yang banyak menyisakan kenangan indah dan juga pahit baginya, sampai akhirnya empat tahun kemudian ayah bertemu ibuku.  Saat itu ayahku sudah bekerja di salah satu percetakan buku yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal ibuku, yaitu di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Cahaya Kasih.

Kisah ayahku tak jauh berbeda dengan ibuku, anak dari seorang loyalis Soekarno, kader dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang difitnah telah beraliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lalu dibunuh di pertengahan bulan maret tahun 1966, tanpa adanya proses peradilan. Saat kejadian pembunuhan itu ibuku masih berumur sembilan bulan, sehingga jarak umur ayah dan ibuku terpaut tidak begitu jauh, lebih tua ibuku satu tahun enam bulan, tapi wajah cantiknya telah membuat ibuku selalu tampak jauh lebih muda dari ayahku.

***

Pada malam yang sunyi itu, ibu menemaniku di dalam kamar dengan menyanyikan sebuah lagu untukku tanpa kehadiran ayah yang lebih memilih untuk bertahan di ruang tamu bersama tumpukan buku dan foto-foto kenangan. Malam itu benar-benar menjadi malam yang berbeda, dan aku merasakan ada sesuatu yang lain, ini tidak seperti malam biasanya, ada hawa yang dingin di antara mereka berdua. Sampai akhirnya rumah kami kedatangan beberapa orang tamu, sebuah mobil jeep berhenti dan terparkir di depan rumah, kemudian dari dalam kamar ibu mencoba mengintip melalui jendela, dibukanya gorden berwarna putih secara perlahan untuk melihat keadaan di luar rumah.

“Jam segini kok masih ada tamu?” suara ibu pelan menggumam, sembari mengamati jam dinding di kamar. “Sebelas empat lima?” ucapnya kembali dengan wajah curiga.

***

Ada beberapa orang berbadan kekar berjalan menuju rumah kami, ibu terus memerhatikannya.  Merasa ada sesuatu yang aneh, ibu lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamar. Ketika pintu kamar akan dibuka, seperti ada yang menahannya dari luar, wajah ibu menjadi panik, ibu berusaha kembali menariknya, tetapi tetap pintu kamar itu tak bisa dibuka, sampai akhirnya terdengar suara seorang laki-laki yang memberi pesan dari balik pintu kamar.

“Saya tahu, kamu bersama anakmu ada di dalam kamar, tolong hargai saya dan suamimu, tetaplah berada di kamar, jika masalah kami telah selesai, kalian berdua boleh keluar dan tanyakan kepada suamimu apa yang sebenarnya terjadi. Paham?”

Mendengar suara itu, ibu lalu melepaskan gagang pintu.

“Ada apa, bu?” tanyaku yang mendekat ke ibu.

“Ga ada apa-apa,” ibu lalu memelukku dengan wajah penuh kegelisahan.

“Tamu siapa, bu?” tanyaku kembali.

“Ibu ga tahu, nak,” jawab ibu mencoba untuk tetep tenang.

Tidak lama kemudian, terdengar kembali suara mobil dari halaman depan rumah, ibu kembali mendekati jendela mengintip mereka seperti semula, setelah mobil jeep itu pergi menjauh, dengan cemas ibu membuka pintu kamar. Aku beranjak dari tempat tidur lalu berjalan mendekatinya, nampak jelas kebingungan di wajah ibu, saat ayah tak lagi ada di ruang tamu, dengan pintu rumah dibiarkan terbuka.

“Tidak seperti biasanya ayahmu pergi tanpa pamit dan membiarkan pintu rumah terbuka seperti ini?” ibu terlihat semakin panik, setengah berlari menuju dapur mencari ayah, setelah itu ibu kembali ke ruang tamu dan mendapatkan pesan singkat dari lipatan kertas yang terjatuh.

“Jika ingin melihat anakmu tumbuh besar, pergi dari rumah ini dan cari kehidupan baru.” Tertulis sebuah ancaman untuk kami.

***

Pagi harinya, ibu mengajakku mencari tahu keberadaan ayah ke semua teman ayah yang ibu kenal. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan ayah dan mengenali ciri-ciri laki-laki yang telah menjemput ayah pada malam itu, mereka hanya mengatakan bahwa akhir-akhir ini di sanggar seni binaan ayahku, sering sekali mendapatkan surat kaleng yang berisikan sebuah ancaman untuk menghentikan semua kegiatan seni yang digagas oleh ayahku. Mendengarkan cerita itu, ibu langsung teringat akan salah satu teman ayah dari Jakarta bernama Salim yang pernah menginap beberapa hari di rumah karena masalah yang sama, yaitu selalu mendapatkan ancaman pembunuhan dari orang-orang yang tak dikenal. Salim adalah seorang guru sekolah swasta di Jakarta, dan sekaligus aktifis yang tulisannya sering kali mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kebutuhan rakyat kecil.

“Untuk beberapa hari ini, aku ingin menginap di rumahmu sambil menunggu informasi dari Bang Ali terkait kondisi dan situasi di luar sana,” kata Salim teman ayah yang baru saja tiba dari Jakarta.

“Apa rencana Bang Salim berikutnya setelah nanti Bang Ali datang?” tanya ayahku.

“Mungkin aku akan pergi ke Kalimantan bersamanya untuk sementara waktu, karena di sana adalah tempat yang paling aman untuk membahas langkah-langkah kita selanjutnya, ada banyak rekan-rekan kita yang berada di sana membahas gerakan anti pemerintah di tiga wilayah yang berbeda, yaitu Jakarta, Yogya, dan Sumatera.  Setelah ketiga wilayah itu bergerak, maka sudah dipastikan semua provinsi akan mengikuti,” jawab Bang Salim.

“Bagaimana dengan rencana kita sebelumnya bang?” tanya ayahku.

“Kita lihat dulu perkembangannya pasca kejadian 27 Juli kemarin,” kata Bang Salim.

“Sayang, tempat ini jauh dari kota Bang, sehingga sulit sekali bagi saya mencari perkembangan berita di luar sana,” ungkap ayah yang selalu merasa tertinggal dengan perkembangan berita-berita terbaru. 

“Ada baiknya kamu lebih berhati-hati, sebab kamu tidak terlalu banyak tahu tentang kondisi di luar sana, kami pun di Jakarta sangat sulit sekali berkembang karena semua kegiatan kita di sana selalu di pantau oleh intel, untungnya ada beberapa kegiatan mahasiswa anti pemerintah yang membuat fokus mereka terpecah, sehingga aku dapat menyelamatkan diri kesini.  Semoga kamu tetap baik-baik saja disini bersama keluargamu,” pesan Bang Salim kepada ayahku.  Tiga hari setelah itu, rumah kami kedatangan lima orang tamu yang ibuku sendiri tidak mengenalnya sama sekali, tapi ayahku, serta temannya yang bernama Salim, sangat akrab dengan kelima orang tersebut.  Mereka berlima pun sempat menginap semalam di rumah, meski di pagi buta mereka sudah pergi meninggalkan rumah, tanpa sepengetahuan ibu.

“Mas, tamunya mana?” tanya ibuku yang baru saja terbangun dari tidurnya.

“Mereka sudah pergi dari jam tiga pagi,” jawab ayah.

“Jam tiga pagi?” tanya ibu.

“Iya, jam tiga pagi,” jawab ayah.

“Kenapa bisa sepagi itu si, mas?” tanya ibu lagi.

“Karena sebelum ke Kalimantan mereka mampir dulu di Surabaya,” jawab ayah.

“Mereka itu siapa, mas?” desak ibu,

“Mereka itu, adalah orang yang selama ini membantu keuangan kita, termasuk biaya pembuatan sanggar, semua itu uang dari mereka,” jawab ayah.

“Bukannya selama ini kita hidup dari hasil tulisanmu, mas?”

“Kamu ini lucu, memangnya satu tulisanku itu dihargai berapa?” ayah pun berlalu meninggalkan ibuku sendiri di dapur. Seminggu setelah itu ayahku menghilang.

***

Ibu yang sudah terlihat sangat letih dalam mencari keberadaan ayah, akhirnya memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi terdekat. Di sana ibu menjelaskan semua yang telah terjadi dari semenjak kedatangan tamu tak dikenal, sampai ayahku pergi dan belum juga kembali.

Di tengah perjalanan pulang dari kantor polisi, aku dan ibuku dihampiri oleh tiga orang laki-laki bertubuh besar, mereka berjalan mendekat lalu melingkari kami berdua dan meminta kepada ibu untuk berhenti bicara tentang ayahku ke semua orang, termasuk juga melaporkannya ke polisi.

“Siapa kalian?” tanya ibu sambil terus menjagaku.

“Jangan pernah lagi mencari keberadaan suamimu, ini peringatan kedua, dan peringatan yang ketiga adalah, kamu tidak akan lagi menemui anakmu jika kamu masih memaksakan kehendakmu,” lalu Laki-laki itu memperlihatkan sebuah belati di tangannya.

“Siapa kalian sebenarnya, dan apa maksud kalian mengancam kami!” nafas ibuku terengah-engah penuh dengan rasa ketakutan, tangannya bergetar tapi tetap berusaha menjagaku.

“Kamu tahu ini, kan?” laki-laki itu memain-mainkan belati di tangannya. “Ikuti saja peringatan kedua ini, karena yang ketiga akan sangat menyakitkan buat hidupmu,” laki-laki itu pun pergi dengan senyum yang menakutkan, berjalan santai menjauh tanpa ada beban batin sedikitpun.

Ibu yang dipenuhi ketakutan segera menggendongku berlari menuju keramaian. “Jaga anakku Tuhan! jaga anakku Tuhan!” suaranya terus memohon perlindungan pada Sang Pencipta.  Semenjak kejadian itu, ibu merasa hidupnya selalu dibuntuti oleh orang-orang yang tak dikenal. Siapa mereka, kami tak pernah tahu, yang kami tahu adalah penampilan mereka yang bertubuh kekar, berjaket kulit hitam, dan memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya, yaitu berwajah dingin dan menakutkan.

Tiga hari setelah kepergian ayah, ibu kembali bermimpi tentang seorang laki-laki yang mati ditembak di kepalanya, dengan kedua tangan terikat dan wajah tertutup, laki-laki itu terkapar dalam tumpukan jerami dengan darah segar yang selalu mengalir dan tidak pernah berhenti dari lubang kecil di kepalanya.  Saat ibu mencoba mendekat, tiba-tiba ibu melihatku menangis bersama belati yang ditempelkan oleh seorang laki-laki tepat di urat nadi leherku. Ibu berteriak sekuat tenaga, “Jangan bunuh anakku!” dan ia pun terbangun dari mimpi buruknya. Setelah sadar dari mimpinya itu, ia segera memelukku, menangis bersama ketakutannya. Mimpi itu seakan-akan memberikan sebuah isyarat kepada ibuku, untuk selalu berhati-hati dalam kondisi yang tidak baik seperti ini.

Ibu mencari cara bagaimana dirinya menyelamatkan hidupku. Ayah tidak memiliki kerabat keluarga yang bisa dihubungi, semenjak nenekku meninggal, ayah tak banyak cerita tentang keluarganya. Maka dengan kondisi yang seperti ini, tanpa pikir panjang ibu membawaku ke panti asuhan tempat dimana dulu ibu dibesarkan.

Dalam perjalanan selama enam jam menuju panti, ibu terlihat murung.  Bibirnya mengering, rambutnya kusut tanpa senyum di wajahnya, dan terlihat jelas isyarat di matanya yang kosong. Ada banyak sekali yang ibu pikirkan, dari rasa takutnya terhadap teror yang hampir setiap hari menimpanya, sampai rasa rindu terhadap ayahku yang hingga saat ini belum juga diketahui kabarnya.

Aku yang duduk disampingnya, hanya dapat melihat dan memerhatikan wajah ibu yang masih terlihat sangat cantik, meskipun pakaian dan rambutnya terlihat tak rapih, saat bersandar letih di bangku kereta yang mengantarkan kami menuju Stasiun Gubeng Surabaya.

Aku mencoba melukis wajah ibu dengan bantuan cahaya sore yang menembus kaca jendela kereta, aku gerakkan jariku seakan-akan sebuah kuas yang sedang melukis di atas kanvas, ibu yang melihat tingkahku pun tersenyum.

“Sedang apa kau, nak?” suaranya lembut, selembut cahaya kecil yang bertengger di kelopak matanya.

“Aku sedang melukis wajah ibu, yang cantik,” jawabku, dan ibu mencubit pipiku.

“Sekarang lukislah sesukamu,” katanya.

“Tapi, aku ingin ibu melihat ke arah depan seperti semula,” pintaku dalam senyum manjaku, sambil ku arahkan dagunya ke posisi yang ku minta.

“Begini, maksudmu?” tanya ibu sembari menahan tawa.

“Iya, jangan bergerak ya, bu,” pintaku.

“Kenapa posisinya harus seperti ini?” tanya ibu kembali.

“Karena cantiknya akan terlihat sempurna, ketika cahaya-cahaya sore itu meraba halus di wajah ibu,” jawabku mengiringi terbenamnya matahari.

“Kamu, mirip sekali seperti ayahmu,” kata ibuku.

***

Sesampainya di panti, Ibu berjalan menggandengku menuju ruang tamu. Di sana kami disambut dengan hangat oleh pemilik panti yang sudah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri, dan ibuku memanggil mereka berdua dengan panggilan opa dan oma. Sepasang suami istri yang berbeda keyakinan, opa adalah seorang katolik, berdarah Manado - Ambon, sedangkan oma, seorang muslim yang masih memiliki garis keturunan Belanda dari ayahnya.

“Sari, dimana Kardiman, kok ga ikut?” tanya oma kepada ibuku, ibu tak kuasa menjawabnya lalu memeluk oma.  Setelah hatinya merasa tenang, ibu menceritakan semua yang kami alami selama ini serta menjelaskan rencana ibu untuk pergi ke Jakarta, sekaligus menitipkan aku sementara di panti sebagai jalan satu-satunya untuk melindungi keberadaanku.

“Aku takut oma,” kata ibu sembari menangis dalam pelukan oma. Tak lama kemudian, opa datang mengantarkan teh hangat buatannya untuk kami berdua.

“Diminum dulu tehnya, Sari,” pinta opa kepada ibuku.  Kemudian, opa menghampiriku. “Sini sama opa, biar opa bantu,” dengan sangat ramah Opa mendinginkan teh manis buatannya. “Caranya seperti ini, tuang sedikit teh di piring kecil ini, lalu biarkan sebentar,” katanya.  Setelah tehnya dirasakan sudah tak panas lagi, opa menyuruhku untuk meminumnya. “Sekarang sudah dingin, ayo diminum tehnya,” kata opa.

“Terima kasih,” kataku.

“Siapa namamu?” tanya opa kepadaku.

“Cakra,” jawabku.

“Wah, nama yang bagus itu, Cakra memiliki arti pusat energi yang berputar, kalau nama panjangnya?” tanya opa lagi.

“Cakra Surya,” jawabku kembali.

“Sebuah nama yang bermakna luar biasa, ini pasti ayahmu yang memberikan nama, kamu tahu artinya?” tanya opa kepadaku.

“Tidak!” aku menggelengkan kepala.

“Cakra Surya itu, artinya sebuah energi yang berputar dalam bentuk cahaya yang berada di dalam hati.  Bermakna bahwa sesuatu yang hidup dan menghidupkan pikiranmu berasal dari dalam hatimu,” jari telunjuk opa menunjuk ke arah dadaku.  Lalu opa melanjutkan lagi penjelasannya, “Dan hanya hati yang memiliki cahaya saja, yang dapat melahirkan pemikiran-pemikiran yang jernih.  Suatu saat kalau kamu sudah besar nanti, kamu akan memahami arti dari namamu,” opa menepuk-nepuk pelan bahu kiriku.

“Gimana tehnya?” pandangannya masih mengarah ke wajahku.

“Lagi,” kataku sambil menyodorkan piring kecil itu kepadanya.

“Kamu haus ya?” tawa opa mengiringi rasa maluku.

“Iya,” kataku.

“Oh ya, panggil itu oma, dan panggil ini opa, ya?” katanya sembari mendinginkan teh manis buatannya, seperti apa yang ia lakukan sebelumnya.

“Iya opa,” jawabku.

“Anak yang pintar,” katanya.

Kemudian oma mengusap-usap kepalaku dengan sangat lembut, usapannya tak jauh beda dengan usapan tangan ibuku.

“Tinggal sama opa dan oma ya, disini kamu akan banyak teman bermain nanti,” suaranya lembut, selembut usapan tangannya.  Lalu aku melihat ke arah ibu, ibu memberikan pesan tanda setuju dengan senyum di wajah dan anggukan kepala.

“Iya oma,” jawabku.

“Kamu tenang saja Sari, kami akan menjaga anakmu. Tapi, apakah rencana kamu ke Jakarta sudah kamu pikirkan dengan matang?” tanya oma kepada ibu.

“Ada baiknya kamu di sini bersama anakmu, toh kami berdua tak punya siapa-siapa lagi, selain kamu dan anak-anak panti di sini, justru kami sangat senang sekali jika kamu bersama anakmu bisa tinggal bersama kami disini,” timpal opa.

“Saya memikirkan masa depan Cakra, saya ingin dia memiliki tabungan untuk masa depannya, karena itu saya harus mencari kerja di Jakarta. Bagaimana bisa dia kuliah nanti, jika saya tidak siapkan tabungannya mulai sekarang?” terang ibuku.

“Sudah kamu pikirkan, kamu akan bekerja dimana nanti?” tanya opa.

“Saya Bismillah saja opa, saya yakin pasti ada jalan,” jawab ibuku.

“Bismillah saja tidak cukup, tanpa adanya tujuan yang jelas dan terarah dengan baik,” balas oma.

“Tunggu sebentar,” opa kemudian beranjak dari tempat duduknya, dan melanjutkan perkataannya. “Opa punya kenalan di Jakarta, biar opa cari dulu kartu namanya,” kata opa sembari berjalan menuju kamarnya.

Bersamaan dengan itu, oma masih terus membujuk ibu untuk tetap tinggal di panti. “Tinggal di sini saja bersama anakmu, dia masih butuh sosok seorang ibu di sampingnya,” pinta oma.  Tapi ibu masih tetap pada pendiriannya.

“Banyak yang saya pikirkan, oma,” terang ibuku.

“Apa rencanamu, kenapa kamu bersikeras ingin mencari kerja di Jakarta, bukankah di sini kamu juga bisa mendapatkannya?” tanya oma.

“Selain mencari kerja, saya juga ingin mencari keterangan tentang Mas Kardiman ke teman-temannya yang tinggal di Jakarta, kebetulan dulu saya pernah di ajak Mas Kardiman kesana, Insya Allah tempat tinggalnya saya masih ingat, saya juga punya rencana untuk mengubah AKTA kelahiran Cakra,” terang ibu kepada oma.

“Tujuannya apa, kamu mengubah AKTA kelahiran Cakra?” tanya oma kembali.

“Karena saya ingin melindungi Cakra dari orang-orang yang selama ini meneror kami, saya yakin sekali oma, mereka yang meneror kami selama ini bukanlah orang biasa, karena saat mereka menjemput Mas Kardiman tidak ada satupun orang kampung yang tahu, meskipun rumah kami terpencil, tapi biasanya pada jam-jam malam akan selalu terlihat beberapa orang yang berjalan melewati depan rumah kami, melakukan aktifitas ronda seperti biasa, keliling kampung sampai pagi tiba, tapi pada saat kejadian, kampung terasa sepi, seperti sudah ada yang mengatur dan merencanakan penjemputan itu, ditambah lagi keanehan yang saya alami setelah Mas Kardiman menghilang, mereka selalu saja tahu kemana pun saya pergi, seperti ketika saya berada di kereta menuju kota ini, mereka duduk persis di belakang kami dengan wajah yang dingin dan menakutkan.” Terang ibuku.

“Oma mengerti maksud kamu Sari, tapi mengubah AKTA kelahiran Cakra bukan suatu hal yang mudah, dan juga bukan sebuah solusi yang baik, justru ini akan memancing kecurigaan orang lain, menurut oma, biarkan saja AKTA kelahirannya seperti itu, dan kamu tidak perlu mengubahnya. Yang kamu harus pikirkan adalah masa depan Cakra, dan keselamatanmu di Jakarta.  Oma yakin, semua akan baik-baik saja. Kamu harus sabar menjalani semua ini,” tangan oma menyentuh tangan ibu dan lalu menggenggamnya. Tak lama berselang, opa datang menuju ke tempat duduknya semula dan memberikan sebuah kartu nama ke ibuku.

“Ini kartu nama teman masa muda opa dan ayahmu, namanya Haji Hasan, pengusaha rumah makan di Jakarta, nanti setelah kamu berangkat ke Jakarta, opa akan meneleponnya dari sini.  Opa akan minta dia untuk menjemputmu dan menerimamu bekerja di sana. Orangnya baik, dan tekun ibadahnya sama seperti ayahmu,” kata opa kepada ibuku.

“Terima kasih banyak, opa, oma,” ibuku kemudian menggandengku ke sebuah kamar yang ditunjukkan oleh oma.

“Sementara ini kamu istirahat dulu di kamarnya Mbok Tun, kebetulan Mbok Tun masih menginap di rumah adiknya di Solo.  Kabarnya, dia mau membawa keponakannya yang bernama Joko kemari untuk bantu-bantu opa mengurusi kebun. Sekarang kamu bisa lihat sendirikan, panti ini semakin ramai, berkat peran aktif Herman yang selalu mencari dana keluar untuk kemajuan panti. Teman-temanmu yang dulu di panti, sering datang kemari membawa keluarganya.  Mereka suka menanyakan kabarmu.  Kamu sendiri setelah delapan tahun menikah ga pernah mampir kemari,” kata oma yang membuat ibu merasa malu mendengarnya.

“Maafkan aku oma, selama tinggal di Solo, aku ga pernah memberi kabar,” kata ibu sembari menundukkan kepalanya.

“Ya sudah ga papa, ga usah dipikirin,” kata oma.

Kemudian saat berjalan menuju kamar Mbok Tun, ibu sempat menanyakan kabar tentang orang yang bernama Herman, yang tak lain adalah bekas anak buah kakek semasa perang gerilya di jaman agresi militer Belanda kedua.

“Apa kabar dengan Om Herman, oma?” tanya ibuku.

“Sudah hampir setahun ini jarang sekali ke panti, terakhir bulan Agustus tahun lalu, seperti biasa dia mengantarkan banyak mainan untuk persiapan hadiah perlombaan tujuh belas Agustus. Setelah itu jarang sekali dia kemari, tapi sumbangan untuk panti masih rutin dia kirim setiap bulannya.” Jawab oma.

Herman adalah seorang pensiunan tentara berpangkat peltu yang banyak menghabiskan waktu hidupnya untuk perkembangan panti. Di mata ibuku, Herman dikenal sebagai sosok yang dermawan dan sangat peduli sekali dengan kesulitan hidup orang lain. Selain oma dan opa, Herman termasuk salah satu orang yang paling ibu kagumi, karena sikapnya yang sangat peduli dengan anak-anak di panti.

“Kasihan ya dia oma, setelah bercerai dengan istrinya, dia harus menjalani masa tuanya sendiri,” ucap ibuku.

“Dari mana kamu tahu?” tanya oma, yang kemudian menghentikan langkahnya.

“Dulu, sebelum Mas Kardiman mengajak aku ke Semarang, aku sempat mendengar pembicaraan oma dengan Tante Dewi, istrinya.”

“Mereka ga jadi bercerai. Hanya kesalah pahaman saja diantara mereka berdua, karena selama menikah, Dewi selalu merasa kalau Herman ini seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu, inilah yang membuat Dewi merasa bahwa selama ini ada perempuan lain selain dirinya. Tapi setelah opa menasihati mereka berdua, bahwa suami istri harus saling terbuka, tidak boleh ada rahasia, dan selalu ingat perasaan anak-anak jika mereka berdua bercerai. Apalagi semua anaknya perempuan, mau menjelang remaja, pastilah secara psikis hatinya akan terguncang, dan mempengaruhi perkembangan mereka ketika dewasa nanti.  Kadang juga oma berpikir, ada apa sebenarnya dengan Herman ini? Karena sering kali oma dan opa melihat Herman suka melamun sendiri, seperti orang banyak pikiran, dan ketika ditanya, dia selalu berusaha mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain. Tapi sudahlah, yang terpenting kehidupan mereka sudah semakin membaik, setelah Herman mau terbuka dengan istrinya, dan menceritakan semua yang selama ini dipendamnya.  Meskipun sampai saat ini, oma dan opa belum tahu rahasia apa sebenarnya yang disimpan oleh Herman, mau tanya sama istrinya, tapi kok ga enak ya, karena itu urusan rumah tangga orang, yang penting mereka berdua tidak jadi bercerai.” Terang oma, sembari berjalan menuju kamar Mbok Tun.

“Ternyata dulu, bukan anak-anak panti saja yang kerap melihat Om Herman melamun, tapi oma dan opa juga,” kata ibu.

Kemudian oma menunjukkan kamar Mbok Tun, orang yang selama ini membantunya mengurusi keperluan di Panti. “Ini kamar Mbok Tun yang baru,” oma membuka pintu kamar yang ditunjuknya.

“Tidak ada yang berubah, ternyata Mbok Tun masih suka dengan artis-artis India,” ibu tertawa mengenang masa kecilnya, setelah melihat beberapa poster artis India terpasang di dalam kamar Mbok Tun.

“Itu poster foto Amitabh Bachchan pemberianmu, masih terpampang dengan rapi di kamarnya,” kata oma sembari menunjuk poster foto lawas yang berada di dalam kamar Mbok Tun.

“Dulu Mbok Tun pernah cerita, kalau almarhum suaminya mirip Amitabh Bachchan, membuat kami di panti tertawa, sebab kami tak percaya orang seperti Mbok Tun memiliki suami yang berwajah tampan seperti artis india, meski akhirnya kami semua terdiam saat Mbok Tun memperlihatkan foto pernikahannya,” kata ibu.

“Kalian ini dulu sering kali mencandai Mbok Tun, untung Mbok Tun bukan tipe orang yang mudah sekali tersinggung,” balas oma, dengan tawa kecilnya.  “Cakra tidak masalahkan tidur disini, sampai nanti kamar untuk Cakra diselesaikan dulu sama opa?” tanya oma.

“Tidak papa oma, terima kasih,” jawabku.

***

Dua hari kemudian, ibu pamit untuk pergi ke Jakarta dan berpesan kepadaku. “Jangan nakal, ibu minta maaf karena harus meninggalkanmu di panti, ibu tidak tahu lagi bagaimana cara untuk melindungimu di luar sana” ibu memelukku, lalu mencium keningku. “Ibu berjanji akan kembali lagi bersamamu, jaga dirimu baik-baik,” kembali ibu menciumku, tak terasa air matanya yang hangat itu jatuh menyentuh pipiku.

“Ibu jangan menangis, Cakra akan baik-baik saja disini,” kataku sembari ku usap air matanya dengan kedua tanganku.

“Anak pintar,” kata oma, kemudian ibu pun pergi meninggalkanku tanpa lambaian tangan, karena aku tahu itu akan sangat menyedihkan untuknya.

“Terima kasih ibu, untuk ciuman perpisahan ini,” kataku dalam hati.

***