Try new experience
with our app

INSTALL

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT) 

5. LIKE DADDY LIKE HIS MISTRESS

Ada yang masuk ke kamarku.

Langkah kakinya berat. Meski mataku masih terpejam, tapi aku tahu bukan papa yang memasuki pintu kamarku. Tetapi ... dia punya akses masuk ke kamarku. Siapa dia? Ah, siapa yang peduli? Terserah saja siapa yang mau masuk ke kamarku. Asal dia tidak membangunkan tidurku.

Hmmm .... Tapi sosoknya terlihat naik turun, lalu muncul menghilang. Tidak, aku bercanda, yang naik turun adalah kelopak mataku. Energiku belum sepenuhnya pulih di pagi hari. Dan membuka mata rasanya seberat menaiki tanjakan curam saat bersepeda. Biarkan saja orang itu masuk, mungkin dia punya sesuatu yang tertinggal di kamarku.

Non sense, tidak ada orang lain yang masuk ke kamarku sebelumnya, memangnya apa yang bisa tertinggal? Tunggu dulu, sepertinya dia berjalan ke arah tirai. Sungguh klise, dia berniat membangunkanku dengan membuka tirai terlebih dahulu. Tidak akan mempan. Dia bukan papa. Kalau papa dia tidak akan berani secara frontal membuka tirain. Ia pasti duduk di samping tempat tidur, membelai keningku dan mengecupku tanda selamat pagi.

Now, who the heck am I fooling? Itu bahkan lebih tidak masuk akal. Kapan terakhir kali papa membangunkan dengan cara seperti itu? Lima tahun lalu? Sepuluh tahun lalu? Ah, tidak .... Mungkin lima belas tahun lalu. Crap, berpikir seperti ini sungguh manjur membuat kantukku berkurang. Serta merta kelopak mataku pun terbuka.

“Oh, kamu sudah bangun? Syukurlah aku jadi tidak usah susah payah membangunkanmu,” ujar suara yang berdiri di sampingku dan tepat saat itu ia menarik tirai jendela hingga terbuka.

Silau.

Cahaya matahari memberiku efek kejut yang cukup lumayan untuk sepasang mataku. Dan sosok yang menyapaku itu hanya berhasil tertangkap mataku dalam wujud siluet bayangan manusia bertubuh tinggi dan memakai setelan rapi. Selebihnya, aku tidak bisa memaksakan mataku menantang cahaya matahari yang rakus melahap separuh ruangan kamarku.

“Siapa kamu?”

Aku mencoba mendongakkan kepala, berharap mengenali suara barusan yang menyapaku. Dia satu-satunya sosok berbahasa Indonesia selain papa yang mengajakku bicara.

“Aku asisten papamu. Namaku Arlan dan aku sudah bekerja di sini selama empat tahun.”

Ah, laki-laki anak TKI yang menitipkannya ke keluarga Inggris.

Aku baru saja berniat berjalan menuju kamar mandi. Namun saat aku membuka selimut, sekonyong-konyong pria bernama Arlan itu melingkarkan sebuah kimono mandi di tubuhku. Tak pelak aku terkejut. Kenapa tiba-tiba dia melakukan ini? Seolah-olah ...

“Ehm ...  jangan salah paham. Pakai kimono ini kalau mau ke kamar mandi. Aku cuma ...”

Belum selesai dia menjelaskan, aku menyadari ada keganjilan yang menyergap kesadaranku. Ternyata di balik selimut yang kukenakan, aku hanya mengenakan pakaian dalam saja. Buru-buru aku merapatkan kimono mandi berwarna biru muda itu. Aku  melirik sekilas ke wajahnya. Saat itu dia juga menatapku dan wajah kami hanya terpaut beberapa senti saja ini pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan jelas. Seketika dia langsung menundukkan kepalanya.

Thanks,” ucapku singkat dan berjalan menuju kamar mandi.

Coba kupikir lagi. Aku bangun tidur tidak sadar hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Masih untung tidak telanjang. Tapi dibandingkan siapapun di ruangan ini, harusnya aku yang panik. Dan yang dilakukan asisten papa itu, seolah-olah melihat tubuhku menjadi hal yang menjijikkan untuknya. Kenapa dia yang sepanik itu memberikan kimono padaku? Demi Tuhan, selain dia tidak ada siapapun di ruangan ini. Apa sih yang dia khawatirkan?

***

“Opera?”

Arlan mengangguk. Alih-alih menjawab keterkejutanku ia memberiku satu amplop yang setelah kubuka berisi sebuah undangan tiket pertunjukan opera. What kind of joke?

“Mr. William said you have to come at this show. Bagian dari pekerjaannya menemani beberapa pejabat Indonesia yang datang ke London. Aku yang akan mengantarmu.”

Aku terdiam. Sejak kedatanganku ke London, dua hari lalu aku jarang bertemu dengan papa. Sekedar percakapan singkat saling menanyakan kabar pun tidak pernah ia sempatkan di tengah jadwal pekerjaannya yang sibuk. Bahkan di malam hari, aku pun tidak bisa memanfaatkan hak utamaku sebagai anak perempuan untuk menguasai waktu papa. Dan tanpa ada basa-basi dan obrolan itu datanglah sepucuk tiket pertunjukan opera.  Cukup eksklusif, berlokasi di gedung opera ternama di London, Royal Opera House. Pertunjukan opera berjudul La Donna Del Lago, kisah dari tanah Skotlandia. Aku menyukai musik, tapi mendengarkan musik opera nonstop dengan nyanyian melengking aktris opera selama tiga jam sudah pasti aku tidak akan tahan. Tiga jam, for God's sake. Jauh lebih baik kalau saat ini papa mengajakku nonton konser U2, atau nonton stand up comedy ala Inggris.

"Pesan beliau, you have to dress up tonight," ujar pria itu menekankan kata 'dress up'. Aku melirik ke arahnya tajam. Apa dia mengira nantinya aku akan datang ke opera memakai piyama sampai sebegitunya menekankan soal berdandan padaku.

"I know. Don't worry I'm not gonna wear bikini."

Dia tertawa menanggapi balasanku. Aku baru menyadari pria bernama Arlan itu punya senyuman yang cukup menawan. Sayangnya, dia sepertinya tidak terlalu suka tersenyum. Kecuali pagi tadi saat aku mendapati wajahnya memerah setelah melihat tubuhku, ia sama sekali tidak menarik. Berwajah serius dan bicara dengan nada formal. Sepertinya orang yang bekerja untuk papa akan berakhir menjadi orang yang kurang lebih sama persis dengan papa. Kaku dan membosankan.

***

Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Sudah lima belas menit lamanya aku tiba di Covent Garden, sebutan lain Royal Opera House. Dan sekarang aku berada di dalam hall yang konstruksinya sebagian besar terbuat dari besi dan kaca yang biasa disebut Paul Hamlyn hall. Hall ini berfungsi sebagai atrium yang menghubungkan ruangan ini dengan auditorium utama Royal Opera House. Di sinilah sebagian orang menghabiskan waktunya sebelum atau sesudah pertunjukan opera dimulai. Tidak terkecuali papa yang memintaku menunggu di gedung yang lebih dikenal sebagai Floral Hall ini.

Lalu lalang orang berpakaian necis dan wanita yang rata-rata berusia matang dengan penampilan yang tidak kalah berkelas memadati ruangan yang juga dilengkapi champagne bar dan restaurant. Jadi kira-kira orang-orang inikah yang sering ditemui papa sehari-hari? Atau papa memang suka mengajak koleganya untuk berbincang-bincang sembari menikmati musik opera dan ballet klasik?

"Rena ..." 

Aku berbalik mencari arah suara yang familiar di telingaku. Tepat saat itu aku melihat sosok papa yang berjalan menghampiriku, diikuti seorang wanita berusia tigapuluhan di belakangnya. Bukankah Arlan bilang malam ini papa menemui beberapa pejabat penting dari Indonesia? Tapi yang kulihat sekarang hanya ada satu. Satu orang yang ditemani papa. Entah wanita itu pejabat atau bukan terlepas dari wajahnya yang terlihat muda untuk dibilang pejabat, aku tidak tahu. Tapi ... firasatku tidak terlalu bagus.

"Kamu sudah datang? Mana Arlan?" tanya papa dengan nada bicara yang wajar. Seolah-olah mengabaikan bahwa ia berhutang penjelasan padaku tentang siapa wanita yang ada di sampingnya.

"Dia memang cuma mengantar, apa papa lupa kalau hanya memberikan satu tiket untukku?"

"Memang. Tapi setidaknya dia mengantarmu sampai di sini dan menemanimu sampai papa datang."

"Jangan khawatir. Dia memang bermaksud untuk menemani, tapi aku menolak. Aku bukan anak kecil. Berada di sini tidak membuatku tersesat, hanya bingung. Karena aku tidak mengenali siapapun di ruangan ini," ujarku sengaja sembari melirik ke sosok wanita teman papa yang memakai terusan warna biru terang dan memperlihatkan bahu mulusnya namun sedikit tertutup scarf. Seketika wanita itu tersadar dan mengulurkan tangannya padaku.

"Ah, maaf aku terlambat memperkenalkan diri. Namaku Astrid, aku seorang jurnalis seni yang menulis untuk koran setempat."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Aku tidak tertarik dengan profesinya. Pertanyaan besar yang ada di kepalaku adalah, apa hubungan wanita itu dengan papaku? Aku mencoba secara isyarat mata menanyakan ini pada papa. Kupikir papa sengaja menghindari kontak mata denganku.

"Aku dan Mr. William ... kami berteman baik. Kebetulan opera dan musik klasik adalah hal yang kami sukai, makanya ..."

"Apa kalian pacaran?" todongku tanpa basa-basi.

"Rena ..." Papa mencoba menyela.

"Arlan bilang, papa akan menemani kolega dari Indonesia. Lalu dimana tamu papa?"

"Arlan? Dia bilang apa? Tapi papa tidak pernah bilang hari ini akan ada tamu siapa. Papa cuma minta dia mengantar kamu datang ke acara ini. That's it," ucap papa membela diri.

Aku terdiam. Jadi aku telah ditipu? Ini jebakan. Arlan bersekongkol dengan papa yang bermaksud mempertemukanku dengan teman, kekasih, whatever yang juga datang ke gedung opera ini.

"Tapi aku kira ..."

"Rena, right?" Wanita bernama Astrid itu tanpa diduga mengaitkan lengannya di lenganku. "Listen, for your information and as far as I know, hubunganku dengan papa kamu masih teman baik. Kami hanya sebatas teman diskusi. Karena surat kabar tempatku bekerja punya tiket opera khusus untuk kolom seni, aku selalu punya tiket lebih. Kebetulan kamu datang dan kupikir menyenangkan kalau aku bisa mengenalmu. Apa kamu keberatan?"

Aku menatap mata wanita itu. Aku tidak bisa memungkiri bahwa sorot mata wanita itu terlihat tegas namun sekaligus ramah. Dari caranya mendekatiku aku tahu dia wanita yang cerdas. Dan itu membuatku kesal, karena akupun merasa sikapku berlebihan dan tidak sopan.

"Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi ... pertunjukan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Jadi ... can we be friends right now?"

Astrid, wanita cantik berdarah Indo yang mengulurkan tangan sekali lagi di hadapanku, dalam waktu singkat membuatku bisa menerima kehadirannya. Dan akupun menyambut uluran tangannya.

***

"It's awesome," seru Astrid segera setelah kami keluar dari amphitheatre tempat kami barusan menyaksikan opera yang disuguhkan.

"Siapa yang menyangka opera Italia ini terinspirasi puisi terjemahan bahasa Perancis dari penulis Skotlandia terkenal, Sir Walter Scott. Kalau tidak salah judulnya The Lady of The Lake."

Aku masih mendengarkan celotehannya setelah kami sudah melangkah keluar dari Covent Garden ini, di dalam mobil bahkan saat kami akan makan malam di sebuah restaurant. Astrid terus saja bercerita tentang pertunjukan barusan. Sepanjang ia menceritakan tentang kehebatan Gioachino Rossini yang menciptakan kisah La Donna Del Lago, Astrid terus saja menggandeng lenganku seolah-olah kami adalah kawan lama.

"Nyanyian Elena untuk Malcolm, kekasih yang dicintainya saat di danau itu indah sekali. Sebuah pengharapan seorang gadis yang berdoa bahwa kekasihnya berada di antara para pemburu yang datang ke danau ..."

Bagaimana mengatakannya ya, sosok Astrid ini sungguh terlihat bagaikan gadis naif dan pengkhayal. Tak pelak aku menatap mata papa dan mendapati papa tersenyum geli ke arahku. Entah kenapa itu membuatku tersenyum.

"What? Kenapa kalian tersenyum? Don't you like it?" tanya Astrid padaku. Buru-buru aku sibuk dengan menu appetizer di depanku.

"Uhmmm .... Aku tidak terlalu paham soal opera. Mungkin karena seluruh bahasa yang dipakai itu bahasa Italia."

"Tapi ... bukankah ada subtitle yang disediakan?"

"Yeah ... I know, but ... " Aku kebingungan mencari alasan, terutama karena aku cukup bosan dengan pertunjukan yang memakan waktu tiga jam dua puluh menit.

"Kamu tidak suka opera? Lalu bagaimana musiknya? Nyanyiannya?" 

"Bagus. I mean, musiknya bagus ... Akustiknya juga sangat bagus," ujarku.

"Sudah pasti. Sayang sekali di bagian sonata piano saat intermezzo, bukan Jim Morley yang memainkannya. Akan sangat bagus kalau komposisi Brahms itu dimainkan oleh pianis yang berasal dari Skotlandia itu."

Mendadak aku menghentikan suapan sup biji kedelai dan mint yang menjadi makanan pembuka makan malam kami hari ini. Nama itu ... Apa Astrid baru saja menyebut nama Jim Morley?

"Jim Morley?"

"Yap. Sebenarnya saat di tengah-tengah sebelum memasuki babak kedua, Jim Morley dijadwalkan tampil. Bahkan namanya tercantum di dalam poster. Tapi kudengar penampilannya dibatalkan, yah pianis yang tadipun tidak buruk juga," jelasnya yang makin membuat dahiku berkerut. 

"Jim Morley yang berasal dari Edinburgh?"

"Oh, kamu juga tahu soal dia? Kukira kamu tidak suka musik klasik. Tapi cukup masuk akal, Jim sangat tampan untuk seorang pianist. Cukup terkenal di kalangan wanita."

Benarkah Jim yang dimaksud Astrid dan Jim yang ada di kepalaku adalah sosok yang sama? Aku tidak berani berharap. Namun kuberanikan diri untuk mencari tahu, berasumsi bahwa yang kami bicarakan adalah sosok yang sama.

"A ... aku dengar ... dia baru saja kehilangan tunangannya. Seharusnya mereka menikah bulan ini."

"Ya kudengar juga begitu, salah satu temanku jurnalis seni di Edinburgh adalah teman dekat Jim. Dia menghilang selama sebulan dan sama sekali tidak datang ke pemakaman tunangannya. Sayang sekali. Itu artinya dia juga membatalkan jadwal konser dan recital pianonya."

Aku terkesiap dan semakin yakin, Jim yang kami bicarakan adalah orang yang sama. Ingatanku akan sosok ceria yang menceritakan tentang tunangannya di pesawat mendadak menyeruak. Sekarang aku tahu makna kegetiran yang menyertai derai tawanya saat percakapan kami di pesawat. Dia terlalu terpukul dengan kenyataan bahwa orang yang paling dikasihinya tidak ada lagi di dunia. Dan bodohnya aku justru iri dengan kebahagiaan yang dipancarkan Jim saat itu. Kenyataannya ... dia ...

"Oh, darling ... Ada apa denganmu? Kenapa menangis?"

Menangis? Aku?

Oh sial, darimana asal buliran titik air ini? Tanpa bisa mencegahnya, aku membiarkannya jatuh dan menggenangi pelupuk mataku.

"Rena ...? Kamu tidak apa-apa?" Kali ini papaku yang bertanya.

"Aku ... eh ... aku ingin ke toilet," pamitku. Sebentar kemudian aku berjalan menuju toilet di ujung koridor Restaurant Clos Maggiore. Tadinya aku berjalan cepat, namun saat berada di depan pintu masuk toilet, aku ragu. Aku menghampiri kursi antik yang menjadi aksen kolam pancuran di dalam ruangan. Lampu kolam berpendaran seraya kompak dengan gemericik air kolam. Seperti yang diharapkan pada restaurant bernuansa romantis yang terbaik di Inggris. 

Instead being romantic why I'm feeling so sad right now?

"Menyendiri di sini rupanya ...."

Aku menoleh dan mendapati Astrid sudah berdiri di belakangku. Sejak kapan dia mengikutiku?

"Cuma ingin mencari udara segar," jawabku.

"Kamu bohong. Raut wajahmu berubah saat aku menyebut nama Jim Morley. Seingatku kamu bilang tidak suka opera, musik klasik atau semacamnya. Tapi kamu tahu soal dia. Jadi kamu mengenalnya?"

Sebentar saja, Astrid sudah menjejeriku di kursi tua ini. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku mengangkat lengan kiriku dan kelima jariku tepat di hadapannya. Hanya supaya ia bisa melihat cincin yang kukenakan.

"Cincin? Ada apa dengan cincin itu?"

"This ... belongs Jim Morley's fiancee."

"Really? But ... h ... how?"

Seketika dari mulutku meluncurlah cerita pertemuanku dengan pria itu di pesawat dan alasan kenapa aku pergi ke Edinburgh. Pencarianku atas tunangan Jim yang berujung pada berita duka yang menghancurkan bayangan-bayangan indah akan prosesi pernikahan mereka. Dan cincin ini .... Betapapun Jim tidak membutuhkannya lagi, adalah sesuatu yang salah berada di jemariku.

"Oh dear ..., sekarang aku mengerti kenapa kamu menangis. Kamu jatuh cinta dengannya."

Aku menatap Astrid dengan pandangan heran. Darimana ia berasumsi seperti itu?

"Tidak, kamu salah paham. Aku sedih karena mengetahui kenyataan bahwa Jim telah kehilangan tunangannya. Dan aku merasa tidak berhak akan cincin ini."

"Ya, kamu benar. Tapi kamu tidak akan sejauh itu datang ke Edinburgh hanya untuk mengembalikan cincin. You attracted to him."

"Tidak ... itu tidak benar ..."

"Dalam hatimu ada rasa penasaran yang sedemikian hebat, wanita macam apa yang dicintai Jim. "

"Bukankah itu hal yang wajar?"

"Ya tentu saja wajar. Dan sangat wajar kalau kamu jatuh cinta padanya karena dalam hatimu kaupun mencari sosok seperti dia."

Aku terdiam. Pernyataan terakhir yang diucapkan Astrid membuatku bertanya-tanya, sejauh mana Astrid tahu tentang aku? Apakah papa sering bercerita tentangku? Dan bagaimana mengatakannya ya .... Rasanya, ucapannya benar-benar menghunjam ulu hatiku. Begitu tepat sasaran.

"Kamu ingin menemuinya kembali ke Edinburgh?" tanyanya seakan hanya basa-basi. Aku mendengus kecil.

"Aku ingin menemuinya, tapi ... aku khawatir papa tidak setuju."

"Oh, dia pasti setuju."

"Why?"

"Karena sebentar lagi musim panas, dear ..."

"Musim panas?"

Astrid menggelengkan kepalanya melihat kebingunganku.

"Karena musim panas di Edinburgh artinya festival and I have a lot job to do. Apa aku sudah bilang kalau pekerjaanku adalah meliput dan me-review acara seni? Festival Fringe di Edinburgh bukan pengecualian. Jadi .... Kamu mau ikut?"

Saat itu aku melihat sosok Astrid berdiri di samping patung malaikat. Sekarang aku tidak bisa membedakan manakah malaikat yang sebenarnya. Kupikir ... aku bisa menyukai wanita ini.

Off course.”

***