Contents
DISTANCE (TAMAT)
Malam di Volendam
MALAM hari, malam pertama yang dilewati Michelle bersama keluarga barunya itu. Makan malam dengan meja kayu mengkilat dan kursinya yang dipenuhi ukiran relief khas pemahat Belanda membuat Michelle takjub sekali lagi.
“Silahkan duduk, Michelle. Seperti inilah suasana makan malam di rumah barumu ini. Semoga kau menyukai masakanku,” ucap Nyonya Anderson seraya menarikkan kursi untuk Michelle.
Michelle merasa tersanjung. Keluarga Anderson terlihat begitu baik memperlakukannya.
“Oh, terima kasih, Nyonya. Semua makanan ini terlihat begitu nikmat. Aku tahu, sepertinya Nyonya sangat mahir memasak,” ucap Michelle memuji Nyonya Anderson.
Rona merah segera menyembul di pipi wanita itu.
Dengan segera, mereka memulai acara makan malam dengan tamu Amerikanya. Michelle menemukan beberapa makanan yang tidak ditemukannya di Seattle.
Michelle sejenak terdiam dan menatap lekat pada makanan yang disiram dengan maple syrup dan bertabur gula halus di hadapannya. William yang memperhatikan pandangan Michelle langsung menjawab pertanyaan di hatinya.
“Itu Poffertjies, makanan tradisional khas Belanda,” ucap William seraya meletakkan sendok makannya.
Perhatian Tuan dan Nyonya Anderson segera tertuju kepada gadis Amerika itu.
“Silahkan dicicipi Poffertjiesnya, Chelle,” kata Nyonya Anderson penuh harap.
Michelle segera melahap kue yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya itu.
Rasa hangat bercampur manis segera memenuhi mulut Michelle ketika ia memakan Poffertjies. Makanan itu mampu membuatnya jatuh cinta saat gigitan pertamanya.
“Ini sangat… sangat enak!!!” ucap Michelle girang.
Sebuah senyum dan rona merah kembali menyembul di wajah Nyonya Anderson.
“Syukurlah kalau kau suka. Isteriku memang sangat pandai dalam hal memasak. Bukan begitu, Sayang?” sahut Tuan Anderson seraya tersenyum kepada isterinya.
“Ah, kau ini bisa saja.”
Nyonya Anderson sukses dibuat tersipu malu oleh suaminya itu.
Acara makan malam pun terus dilanjutkan dengan canda tawa dari mereka. Kehadiran Michelle membuat rumah itu semakin ramai dan dipenuhi tawa. Michelle merasa keluarga itu benar-benar sempurna untuknya. Ia yakin, takkan ada keluarga lain yang akan memperlakukannya sebaik itu di hari pertama kedatangannya.
****
ACARA makan malam sudah berlalu sejak sejam yang lalu. Kini Michelle duduk sendirian di sebuah kursi kayu yang ada di halaman depan rumah keluarga Anderson. Sesekali ia menyapa tetangga sebelah rumah atau Noni-noni Belanda yang berlalu lalang di depannya dan memperhatikan keberadaannya.
Michelle mengayunkan kakinya pelan dan menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi kayu yang klasik itu. Pikirannya kembali teringat akan makan malam penuh tawa yang dulu selalu ia lalui di Seattle. Dengan 3 orang yang begitu disayanginya ketika ibunya belum juga terlepas dari rutinitas kantor.
****
“MICHELLE makan yang banyak ya. Nanti kalau mamamu pulang, biar tante jemput untuk gabung sama kita, makan malam di sini,” ucap Nyonya Jessica, ibunda Jean.
“Michelle jangan makan banyak-banyak, Ma. Nanti dia bisa gendut dan tidak akan ada cowok yang mau menjadi pacarnya saat dia besar nanti,” ledek Jean di tengah makan malam itu.
Kerutan-kerutan kesal segera terukir di wajah Michelle ketika Jean tertawa sejadi-jadinya. Mulut mungilnya langsung monyong. Jean kian geli melihat Michelle yang seperti itu.
“Tante!! Lihat itu Jean!!” dengus Michelle penuh kesal.
Jean langsung terdiam.
“Jean, jangan begitu terhadap Michelle,” ucap Nyonya Jessica dengan penuh kelembutan.
Jean langsung mengubah ekspresi di wajahnya. Terkadang, ia menjadi kesal setiap kali ibunya lebih membela Michelle, padahal jelas-jelas dia hanya bercanda dengan hal itu.
“Dasar, Tukang Ngadu!!!” dengus Jean kesal.
Jean dan Michelle yang sama-sama sedang kesal lebih memilih untuk berdiam diri. Suasana makan malam menjadi hening tanpa tawa mereka berdua.
Michelle yang jauh lebih muda tiga tahun daripada Jean membuat Michelle lebih kekanak-kanakan dibanding Jean. Michelle sama sekali tidak mau mengalah dari Jean. Ia masih bersikukuh dengan kekesalannya. Kerutan-kerutan kesal di wajahnya masih dibiarkannya. Mulut mungilnya juga tak mau mundur satu senti pun.
Jean mulai tidak tahan diam-diaman seperti itu dengan Michelle, temannya dari kecil. Nyonya Jessica dan Tuan Jeremy juga merasa tidak nyaman tanpa adanya suara tawa dari putra kesayangannya itu. Apalagi Tuan Jeremy melihat bidadari kecilnya, Michelle cemberut seperti itu.
“Kalian kenapa? Michelle marah dengan Jean?” tanya Tuan Jeremy di sela-sela acara makan malam.
“Huh!!” Michelle hanya mendengus kesal seraya membuang pandangannya dari Jean.
“Jean tidak ingin meminta maaf pada Michelle?” tanya Tuan Jeremy kepada putra semata wayangnya itu.
Jean tertunduk, terdiam. Ia sebenarnya tidak ingin merusak acara makan malam yang biasanya ia lewati bersama ayah, ibu dan gadis kecilnya itu dengan penuh tawa dan cerita.
Jean mengangguk pelan menyahuti pertanyaan ayahnya. Tuan Jeremy tersenyum menyemangati putranya itu.
“Michelle, maafkan aku ya?” ucap Jean seraya mengulurkan tangannya di hadapan Michelle.
“Tidak mau!!” pekik Michelle yang akhirnya berlalu dari hadapan Jean.
Michelle berlari keluar rumah dan duduk di depan beranda rumah Jean. Jean menghampirinya.
“Michelle, kau masih marah?” tanya Jean penuh harap.
Gadis itu masih berdiam diri dan tidak bergeming sedikitpun dari kediamannya.
“Coba lihat itu!!”
Jean menunjuk jauh ke arah langit. Mata Michelle mengikuti arah yang dimaksud Jean.
“Lihat! Awan dan langit itu masih bersama-sama terus ya. Bahkan saat malam begini.”
Michelle masih diam tak berkomentar sedikitpun. Ia masih mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Jean.
“Kau awan kecilku dan aku langitmu. Lalu kenapa kita bertengkar seperti ini? Bukankah awan dan langitnya harus selalu bersama?” tanya Jean seraya menatap ke arah Michelle.
Michelle mulai angkat bicara.
“Tapi langit tak pernah meledek awannya apalagi membuatnya kesal!” Michelle memberengut tak tertahankan.
“Iya, maaf awan! Aku tak bermaksud begitu. Kita baikan??” tanya Jean seraya menjulurkan kelingkingnya.
Michelle terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Jean.
“Awan dan langit selalu bersama!!” pekik Michelle saat mengaitkan kelingking mereka.
Seperti itulah Michelle dan Jean, sepasang awan dan langit yang selalu berbagi tawa, kisah, tangis dan masalah. Dan seperti itulah Michelle dan Jean kecil, selalu berjanji akan berbagai hal dengan kelingking mereka.
****
“MICHELLE.” Suara William yang baru saja datang dan menghampirinya sukses memecahkan lamunan Michelle. Masa-masa indahnya di Seattle sudah usai diputarnya. Kini, William memanggilnya kembali ke dunia nyata bahwa sekarang dia sedang di Belanda.
“Hey Willi, kenapa kau keluar?” tanya Michelle setelah berhasil kembali ke dunia nyata.
“Ya, kupikir tamu jauhku ini ingin berkeliling Volendam sejenak,” jawab William yang akhirnya duduk di samping Michelle.
“Berkeliling? Sekarang? Benarkah? Tapi, ini sudah malam. Kupikir Nyonya Anderson tidak akan mengizinkan,” ucap Michelle sungkan setelah ia cukup kegirangan mendengar ucapan William.
“Tidak akan! Kau kan pergi bersamaku,” ucap William meyakinkan.
Michelle masih terlihat berpikir keras. William menarik tangan Michelle tanpa menunggu persetujuan darinya.
“Sudah, aku tahu kau ingin berkeliling.”
Akhirnya William berhasil mengajak gadis Amerika itu melupakan kenangan kecilnya di Seattle sejenak. Mereka berdua menikmati malam di Volendam dengan berjalan kaki. Menikmati angin musim semi di Negeri Kincir Angin itu.
Michelle kembali menemukan senyumnya di malam pertamanya di Volendam.
****
MALAM pertama di Volendam mampu membuat Michelle berdecak kagum. Cahaya rembulan di sana dapat dilihat dengan jelas. Semilir angin musim semi yang menebarkan aroma tulip begitu memanjakan penciuman Michelle. Suara gemericik air laut menyapa telinganya dengan sempurna. Kilau cahaya bulan yang memantul di ujung dermaga Volendam benar-benar menyusupkan kilau ketenangan ke hati Michelle. Ia terpesona.
“Jadi, apa yang paling kau sukai dari Belanda?” tanya William yang masih berjalan dengan santai di samping Michelle.
“Tulip. Dari dulu aku selalu ingin ke sini untuk melihat tulip. Dan, kincir angin!! Aku juga ingin melihatnya dari dekat.”
“Tulip? Sayang, kau datang terlambat. Baru saja Festival Tulip berlangsung beberapa pekan lalu. Mungkin tahun depan kau bisa mengunjunginya. Kincir angin? Besok kita akan melihatnya dari dekat. Sekalian aku akan mengajakmu melihat kampus barumu,” ucap William menjelaskan.
“Besok? Benarkah? Oh, Willi, terima kasih!!” Michelle sumringah. “Oh ya, kau bukannya kuliah di Utrecht University juga? Semester berapa?”
“Iya, aku serius. Besok kita akan mengunjungi kampus dan berkeliling di Rotterdam. Aku semester tiga. Senang kau menjadi juniorku.”
Michelle dan William berbincang banyak di malam pertama kebersamaan mereka. Banyak yang dilihat Michelle malam itu di Volendam bersama guide pribadinya, William.
Michelle melihat sebuah kota kecil yang dipenuhi lampu-lampu temaram yang indah, sisi jalan yang selalu bersih, rumah-rumah yang selalu membiarkan tirai jendela besarnya terbuka hingga matanya dapat dengan mudah menangkap suasana hommy di dalamnya. Ia juga melihat kapal-kapal nelayan Volendam yang mulai mengarungi air, meninggalkan dermaganya untuk kembali lagi pada saat mentari memanggilnya ke tepian.
****
MALAM semakin larut. Petualangan Michelle untuk malam pertamanya di Volendam sudah cukup. Ia masih menantikan janji dari William. Masih ada hari esok yang penuh dengan jadwal tournya.
Michelle dan William menaiki tangga menuju kamar. Mereka melangkah saling beriringan. Hingga mereka tiba di depan pintu kamar masing-masing.
William mulai membuka pintu kamarnya, sebelum suara Michelle menahan langkahnya.
“William,” panggil Michelle ketika William mulai membuka pintu kamarnya.
Pemuda itu menoleh ke arah Michelle.
“Terima kasih untuk malam ini,” tandasnya.
William tersenyum pada gadis Amerika itu.
“Selamat malam. Semoga bermimpi indah. Besok, masih ada perjalanan panjang untuk kita,” ucap William.
Kemudian pemuda itu dengan matang memasuki kamarnya. Michelle hanya tersenyum ketika pemuda itu melemparkan senyumnya di penghujung celah kecil pintunya.
Michelle menemukan keluarga barunya di Belanda. Dan dia menemukan pemuda yang berbaik hati padanya. Ia mulai menemukan senyum yang sempat hilang sejak setengah tahun terakhir. Puzzle di hatinya telah tersusun satu bagian malam itu, bersama pemuda berdarah Belanda yang baru ditemuinya tadi sore.