Contents
Jerat Serpihan Surga
Romansa Sahabat Maysarah
Laju kendaraan beroda empat itu seketika sesantai seperti anak – anak berangkat sekolah, terus berkurang sampai seperti langkah lansia jalan – jalan di pagi hari. Di depan sebuah toko yang benda matinya hanya baju koko dan karib – karibnya. Memenuhi ruang yang terletak di antara tepi jalan raya dan bagian teras terdepan toko, mobil hitam itu terparkir.
Rasa ingin cepat – cepat memeluk Nisa itu masih bisa menunggu waktu. Maysarah ingat ketika awal – awal membawa mobil, dan seseorang akan menabrak pintu mobilnya. Hari ini Maysarah menunggu jalan sampai benar – benar sepi.
“Assalamualaikum, Kak. Khairunnisa ada? ” Sapa Maysarah ketika ia tak menemukan wajah Nisa.
“Waalaikum salam. Nissa sedang di rumah. Mau saya panggilkan biar Nisa kemari, atau Kak Yu aja yang main ke rumah. Biar lebih tenang ketemu sama Nisa -nya. ” Lelaki itu menjawab, lalu mengajukan penawaran. Ia tetap memberikan jawaban walaupun sedari dulu senyumnya hanya muncul dalam hitungan jari.
“A ... ” Maysarah dibuat bingung dengan dua penawaran untuk hal yang berakhir sama. Dirinya akan melalui sesuatu sendirian.
“May .... ” teriakan itu terdengar tanpa adanya tanda – tanda. Manakala Maysarah masih dikepung kebimbangan. Wanita yang di nanti itu telah datang membawa satu kotak bekal, botol minum penuh, dan kudapan ringan.
“Ini, Bi, sarapannya. Tadi sudah Ummi siapkan.” Ungkap Nisa. Langsung menghampiri suaminya, walaupun itu melewati Maysarah yang tengah menantinya.
“Syukron, Ya Ummi.” Bisik lelaki itu pelan, sembari menyungging ke arah Nisa.
“Eh iya, ada apa nih, May? Maaf agak pelupa Aku nih! “ Sapa Nisa akhirnya setelah muncul senyum suaminya yang juga membuat Maysarah bingung menyembunyikan ekspresinya.
“Em iya, maklum kok. Oh iya, ayo kita berangkat ke rumah Ai! “
“Aduh ... belum izin sama suamiku. Bentar, ya! Doain biar dibolehin!” jawab Nisa yang langsung memutar badannya. Wajahnya berpaling tak lagi sepenuhnya menatap Maysarah.
“Khairunnisa .... Kan Aku bilangnya sedari habis isya! ”
“Aku takut ganggu, Soalnya beliau kelihatan lelah banget.”
Ungkap Nisa yang telah menjauh. Meninggalkan Maysarah yang tak mungkin bertanya dengan teriak – teriak. Lalu hanya merespons dengan monolog lirihnya, “Ya ampun, sama suami sendiri aja sampai nyebut beliau. ”
Maysarah selebihnya memilih menunggu di dalam mobilnya. Bergumam sampai ia duduk persis di kursi kemudi.
Baru tuntas Maysarah bergumam. Matanya tak sengaja mendapati Nisa erat memeluk suaminya. Dibalas dengan ciuman di ubun – ubunnya. Dipeluk lebih erat untuk waktu yang cukup lama.
“Ya Allah .... Udah nikah berapa tahun sih. Kok masih-”
“Kak Yu, titip Nisa ya .... Hati – hati bawa mobilnya, jangan ngebut.”
Ungkap lelaki yang bunyi langkah mendekatnya tak sempat Maysarah dengar. Begitu juga Nisa yang sudah duduk rapi di dalam mobil, lengkap dengan sabuk pengaman yang sudah dikenakannya dengan sangat baik.
***
“Assalamuaikum .... “ Mata tuan rumah berbinar manakala dari dalam ia mendengar. Senyum itu terpancar bersama kaki yang semangat menelusur. Wanita itu langsung saja menghambur. Ada sesuatu yang terlupa dan ia tak sadar.
“Salam kamek, tak di jawab, nih?” Bisik dua wanita itu dengan irama dan intonasi yang sama.
“Waalaikum salam. Ya Allah ... Sampai lupa Aku. Kalian kenapa mau datang tak beri kabar. Aku kan jadi tak punya persiapan apa – apa. Ya masak teman datang tak ad-.”
Ocehan Suhaila tak bisa berlanjut. Maysarah langsung memotong ucapan itu. Memberi bisikan yang membuat Nisa ikut cekikan, “Uwak ini ... Begitu dikasih ingat langsung bicara banyak. Lancar seperti burung piaraan yang telah berlatih untuk berlomba! “
“Bfff ... Tega sekali lah May, nih. Kawan sendiri di anggap sama dengan peserta kontes. Binatang yang pandai nyerocos pula.” Timpal Nisa, seolah mengritisi pendapat Maysarah tetapi ikut tertawa seperti Maysarah juga.
Menyembunyikan senyumannya, Suhaila memilih jalur damai. Diajaknya dua orang yang membuatnya terpojok itu diam. Dibiarkan saling menanti, sementara Suhaila memilih segera siap. Keluar dengan senampan minuman.
“Apa kabarmu, Ai?” Sapa ke dua wanita itu kegirangan. Mendapati Suhaila cepat kembali. Sambil menjawab, Suhaila mencoba tenang. Tangannya menyodorkan minuman hangat yang baru siap. Melanjutkan dengan menanyai tentang kedatangan yang tanpa kabar. “Alhamdulillah sudah ada kemajuan. Kenapa tak berkabar kalau mau betandang ke rumah ini.”
Maysarah, kemudian mengambil sesuatu. Menampilkan sebuah tas yang tak bisa menyembunyikan isinya. Mempersembahkan satu kantong plastik besar. Kepada temannya yang kini bergelar orang tua tunggal. Sambil menjawab, cepat – cepat Suhaila menerima pemberian itu. “Apa nih, repot-repot segala?”
“Buat Si Dino, Dana, dan Dina. Mumpung tadi pas mampir supermarket. Lagi banyak diskon. “ terang Maysarah yang kini mencicipi segelas teh. Lalu diam – diam memberi Nisa isyarat. Wanita dengan baju kebesarannya itu membuka obrolan.
“Jadi bagaimana keadaanmu, Ai. banyak tempahan orang-orang?”
“Alhamdullilah, cukup untuk makan dan biaya sekolah anak.”
Suhaila menyahut seiring kakinya tetap berjalan. Membelah tirai —keluar dengan makanan lain di tangan. Tanpa menunggu yang ditanya duduk, Nisa mengangguk -ikut senang-. Sementara Maysarah langsung menyambar. Mengeluarkan ucapan senada, dengan bahasa tubuh Nisa. Berkata dengan kalimat yang agak pendek, “Itu yang terpenting!”
'Lain kali kalau datang ke sini tak perlu kalian repot - repot. Tak perlu membawa apa - apa. Kalian datang ke sini saja tuh. Aku senang nian."
Setelah hening yang tidak sebentar, Suhaila akhirnya berucap. Membawa perubahan pada raut wajah Nissa dan Maysarah yang berusaha disembunyikan. Saling berisyarat diam – diam.
***
Setelah sesuatu yang menyenangkan dan masih terkenang. Di ruangan dengan kran yang airnya mengalir, di sinilah Suhaila berada. Membersihkan gelas-gelas, dan piring yang sedikit berminyak.
Senyumnya melebar, meskipun tengah melakukan hal yang melelahkan. Suasana tadi, masih begitu jelas di ingatan. Tawa Suhaila masih saja menerobos. Ketika teringat bayang – bayang tingkah laki Nissa dan Maysarag
Seperti tadi saja ... Kalimat yang ke luar masih sama. Serangkai kata yang masih satu jenis dengan ucapan Nana tempo hari. Suhaila syarafnya saat itu langsung menegang ketika mendapatinya. Namun entah mengapa, ada yang beda saat kalimat itu diutarakan Maysarah -wanita yang kalau dilihat dari profesi, meskinya sangat – sangat serius-.
“Eh, Suhaila.. apo dak galak kamek tu zuat lagi” Pertanyaan ini nyata – nyata membahas -adakah niat Suhaila untuk menikah lagi-. Mendengarnya kali ini Suhaila justru mengawali tanggapan dengan tawa keras. “Ah ... kamu May, ada-ada saja. “
“Tau gak, Khairunnisa? Ternyata sudah ada yang melirik sahabat kita ini loh,”
“Masa sih ...? Hebat sekali Uwak ini,” sahut Nisa yang kini mulai ikut – ikutan tak mau diam. Menggoda Suhaila, hingga sang janda mengulum senyum penuh misteri. Maysarah bahkan masih tertawa kecil. Ketika dua teman lainnya, memilih memegangi perut.
Tawa mereda, rasa ingin tahu menyambut. Suhaila tak mampu menyembunyikan rasa sesungguhnya. Ia mulai menyelidiki dengan melempar ungkapan ingin tahunya, Ish ... Kamu tau darimana sih, May ...?"
“Lah, kita ini, aku dan si dia. Cuma beda beberapa gang saja. Masa’an aku gak tau cerita yang sedang beredar. Malahan ada yang langsung datang ke rumahku untuk menanyakan hal itu.”
Tampaknya berita yang dibawa Maysarah benar-benar baru. Sebuah informasi yang sangat fresh. Nisa yang tadinya ikut membuat Suhaila menjadi sasaran. Membuat wanita itu tersenyum malu-malu sendirian. Kini terpancing, menanggapi bahan obrolan dengan segala bentuk keingintahuannya, “Loh, kok bisa gitu, May?”
“Iya, karena orang-orang kampung kan tau. Kalau Aku dan Suhaila sahabat dekat.”
“Siapa sih orangnya...?”
Akhirnya Suhaila yang berusaha terdiam. Benar-benar tak kuasa menahan lagi. Dilemparkan pertanyaannya. Namun, berusaha menampilkan ekspresi terdatarnya. Berharap, posisi terpojoknya segera berakhir.
“Ish... penasaran kan...? Ini yang tiba-tiba mau tahu nian kenapa, ya? Memang sekedar mau tahu atau yang pakai nian nih, ” jawab Maysarah sembari menepuk punggung kedua sahabatnya. Melempar senyum terhadap Nisa. Mengajak wanita berhijab lebar itu berjamaah, menertawakan ekspresi Suhaila.
Nisa memaksa membungkam mulutnya yang tak tahan untuk tertawa lebar. Wanita ini memilih memegangi perut. Sementara, si komando aksi merapatkan kedua bagian bibirnya. Sampai, terdengar udara yang menerobos pertahanan. Dan akhirnya tawanya tak lagi terbendung. Memancing Suhaila spontan menanggapi rasa ingin tahunya yang tak mendapat jawaban.
“Gak- Jadi... nanya. “
Tawa itu benar- benar masih jelas membayangi Suhaila. Ekspresi Nisa yang sampai memegangi perut. Maysarah yang semakin menjadi-jadi gema tawanya.Sampai tiba – tiba sebuah obrolan terdengar sangat jelas.
“Suhaila sendiri mana bisa mendidik anaknya. Lihat saja semenjak Bambang sakit, Dina enggak pernah tuh dia ajari ikut ke surau. Apalagi sekarang Bambang sudah tidak ada. ” Teriak seseorang yang suaranya sangat familier dan paling kencang di waktu belanja di tukang sayur.
“Malang nian nasibnya anak macam Dina tuh.” Sambung seorang yang seperti tengah berbisik namun suaranya sampai juga di rumah Suhaila
“Kalau abang – abangnya kan dulu Bambang yang ajarin. Bambang memang bodoh, apa dia enggak mempertimbangkan dulu. Madrasah pertama seorang anak itu kan ibunya.”
“Astaghfirullah al adzim ....”
Mata Suhaila terasa panas dan mulai kabur pandangannya. Air matanya pun kini telah mengalir .Tangannya terus menggosok – gosok. Membersihkan gelas-gelas, dan piring yang sedikit berminyak.
Namun, tiba – tiba saja sebuah momen kecil terkenang. Ketika tanpa sengaja, terpampang lembar huruf hijaiah. Dari lembar buku pelajaran milik Dino. Juga pertanyaan Nisa tentang Dina. Momen dan cara ia menjawab masih sangat jelas.
“Anak cantik, mau ikut Abangnya pergi mengaji ya? ” Mata Suhaila yang sempat terpejam masih bisa menangkap bayangan dengan amat jelas. Senyum tulus Nisa masih terpancar jelas saat Dana dan Dino berpamitan. Sementara si kecil menggeleng cepat.
“Sampai kapan, ya? Dina akan berani ikut mengaji di surau. Abang – Abangnya dulu tiga tahun sudah minta didaftarkan. Sedangkan si kecil sudah hampir menginjak angka lima usianya. Sudah waktunya, tapi bagaimana caranya? Aku tak mungkin keras. Tetapi terlalu sabar tak baik pula. Ya Allah .... “
***