Contents
Jerat Serpihan Surga
Tamu Untuk Suhaila
Jari yang mulai mengerut kulitnya, tak henti menggaruk – garuk kepala. Tak dapat dihitung ia hilir mudik -dengan langkahnya yang tak sekeras dulu-. Disambangi dan kembali segera ditinggalkan, toko kelontong yang berada pada bagian luar rumah.
Ia tak sedang mengurusi toko kelontong itu, ada beberapa karyawan di sana. Pikirannya hanya resah. Terbayang perasaan salah satu putrinya yang kini harus seorang diri. Membesarkan tiga anak – anak yang belum tahu apa – apa.
“Bi, ada apa? Dari tadi ke luar masuk bae?” tanya wanita yang karena pekerjaan menjadi dekat dengan perempuan itu.
“Aku ingin tengok Ai, lah. Mau tahu kondisi dia. Tak tenang Aku teringat dia terus!” ungkap wanita yang setelah sekian kali baru mengenakan hijab hingga separuh badan.
“Bi. Saya turut prihatin, atas yang menimpa Kak Ai.” Wanita yang mendengar cerita, mendahului tanggapannya dengan berbelasungkawa. Kemudian terdiam sejenak. Menatap perempuan tua yang telah rapi dengan baju perginya.
“Ini, Bibi jadi mau pergi, kah?” tanya wanita yang sudah lama menjadi kepercayaan keluarga ibu Suhaila. Wanita tua itu mengangguk. Sempat terbengong beberapa kali. Sampai akhirnya ia benar – benar mengutarakan rasa penasarannya.
“Bagaimana Kamu bisa tahu, Aku mau pergi?”
“Pertama Bibi sudah tampak cantik, dan siap. Lalu, tadi Bibi bilang mau tahu kondisi Kak Ai.” Wanita yang dimaksud langsung tersenyum tipis. Mengangguk menyepakati, dan kembali diam. Sementara pemberi tanggapan segera mengambil celah. Ia, menambahkan ucapannya. “ Tapi ... Mau dengan siapa lah. Bibi berangkat? Kak Zul kan tengah seminar di Kota. ”
Sosok berumur itu seketika segera kembali ke dalam rumah. Meninggalkan wanita yang berbicara dengan wajah sedihnya. Ia duduk lemas di kursi. Matanya berembun, lengkap dengan dada yang bernapas dengan berat.
Ai ... Mek rindu Kau. Mek tak bisa untuk tak cepat ada di dekat kau. Tujuh hari Kau harus bertarung dengan hal yang sama sekali tak dimau. Sementara Mek hanya bisa tiga hari bersama Kau kala itu. Ai itu semua membuat perasaan Mek semakin gagal menjadi seorang ibu.
“Bi, jadi enggak ke rumah Kak Ai? Saya antar, kebetulan hari ini matic-ku tengah ada di rumah. ”
Tawaran itu seketika menyudahi curahan hati wanita berwajah masam. Ia seketika melompat, tersenyum secepat itu. Bahagia seperti anak kecil yang mendapatkan cokelat tiba – tiba.
***
Langkah tenang tetapi tak melamban itu telah sampai di samping Suhaila. Wanita dengan usia sepanjang umur NKRI itu memegang pudak putrinya. Sontak, Suhaila yang pendengarannya terganggu bunyi mesin jahit, menoleh dengan cepat.
“Ya Allah .... Mek. Mek kemari sama siapa?” sergah Suhaila yang langsung menyerbu punggung tangan sang ibu. Senyum itu mengembang menanggapi wajah berbinar sang zuriat.
“At Ibu ... ” sapa si bungsu, belum bisa memanggil sang nenek dengan benar (atok ibu). Gadis kecil itu seketika membatalkan aktivitasnya. Mencoret dinding berbahan kayu – memberinya warna merah muda- dengan pensil. Ia memilih tenang di pangkuan sang nenek.
Langsung pada poin. Ibu Suhaila mengutarakan apa yang membuatnya tak duduk tenang. Kecemasannya tentang Suhaila dan anak – anak, juga pabrik ban yang mungkin lebih baik jika Suhaila bekerja di sana. “Kamok dan budak-budak, apo dak papo, Ai? Tinggal di rumah ini? Apa tidak sebaiknya kamu pindah saja ke rumah Mek. Sekalian pindah kerja di pabrik ban?”
“Enggak apa-apa, Mek. Biarkan saja Ai membesarkan anak-anak di sini. “ Jawaban klasik itu seketika membuat wajah berumur itu ragu. Sebelum rasa itu terungkap dengan kata. Cepat – cepat Suhaila membuat semuanya segera jelas. “Di sini kan daerah perkotaan, Mek. Jadi banyak orang-orang yang menempah jahitan. Insya Allah ... Ai bisa membesarkan anak-anak dari hasil pekerjaan ini. “
Suasana menghening sesaat. Kemudian curahan hati kembali terungkap. “Amek cumo cemas bae.” Nada ucapan yang disertai pegangan hangat di pundak membuat Suhaila mencuri – curi pandang. Mengabadikan ekspresi sang ibu yang mengundang rasa sedih, namun memupuk rasa cinta.
“Enggak apa-apa Mek, di sini penghasilan Ai memang bukan yang sangat besar. Tetapi Insya Allah cukup, ” terang Suhaila berupaya menampakkan keyakinan penuh.
Tak memberi jeda, secepatnya diimbuhkan kalimat. Jawaban yang didesain untuk menurunkan kecemasan dari wajah tua. Ekspresi muka yang tak akan berhasil mengelabuhi mata orang dewasa mana pun. “Umek, tak perlu cemas, Ai kan tak banyak tanggungan juga. Rumah, Alhamdulillah milik sendiri. Ai itu hanya perlu memikirkan biaya untuk sehari-hari saja, enggak ada yang lainnya.”
“Umek, macam mana? Sehat kan?” Topik begitu saja Suhaila alihkan sebelum suasana terlalu menghening. Membuat sang ibu berkesempatan mencemaskan keturunannya di kampung penuh deretan hunian ini.
“Alhamdulillah sehat.”
“Jangan terlalu capek, Mek. Biarkan wong bagawe bae yang ngurusin toko. Umek ngawasin aja, kasih tahu kalau ada yang kurang tepat. “
Berbalik... kini Suhaila yang menasihati sang ibu. Melampiaskan segala rasa yang terdorong beragam bentuk kekhawatirannya -kerap Suhaila dengar ibunya itu suka mengurus toko sendiri, meski sudah ada pegawai-. Sebuah rasa yang berhasil ditampilkan dengan cukup sempurna. Berucap seolah rasa khawatirnya di dalam kondisi normal (dikatakan dengan tubuh yang masih sambil bekerja).
“Mek harus bergerak Ai. Kalau diam, tambah sakit badan ini. Malah enggak sehat badan Umek nantinya!“ bantah ibu Suhaila. Kini melangkah menuju dapur rumah. Meninggalkan Suhaila. Dengan upayanya, menyuapkan nasihat yang bisa berterima di hati sang ibu.
***
Napas sedikit terengah-engah, dengan tenang Suhaila menurunkan si bungsu dari gendongan. Tentunya setelah amat berhati-hati. Melepas kain yang ia kenakan untuk menggendong Dina. Anak kecil yang kini terpejam. Tenang tanpa merasakan ada sesuatu yang mengusik. Dibaringkanlah anak yang usianya belum menyentuh angka lima di sebuah kasur.
Cepat-cepat Suhaila melangkah mengandalkan ujung telapak kakinya. Tanpa berlama-lama segera membawa secangkir air. Sebuah wadah yang kosong dalam waktu begitu singkat -diteguk cepat tanpa sisa-.
“Eh Mamak sudah pulang rupanya? “ sapa anak laki – laki itu dengan wajah santunnya. Tiba – tiba ia muncul dari pintu kamar dengan sarung, kaos, dan songkok hitam yang masih melekat.
“Iya baru sampai, kan Mamak hanya menanti dari ujung gang depan itu. Lalu sampai Atok Ibu dapat ojek.” Terang Suhaila menjelaskan terhadap si sulung. Pikiran Suhaila berbicara ketika Dino hanya memasang wajah maklum. Nak ... sekarang memang Kamu tak menuntut penjelasan. Tetapi mungkin saja. Nanti ketika dirimu telah dewasa, Ibu akan kamu gugat. Kamu diam saat ini, itu Mamak yakin karena saat ini Al Habib Ahmad tak mungkin sudah mengajarkan fikih nikah terhadapmu.
Suhaila kembali bertanya. Ketika waktu melamunnya mendapat lambaian tangan. Anak yang dipikirkannya ternyata masih tetap berdiri. “Abang Dino bangun? Terkejutkah?”
“Enggak, Abang belum tidur. Tadi dengar juga waktu Mamak buka pintu. Tapi, Abang lagi berdoa buat Bapak,“ terang putra terbesar Suhaila berhasil merebut rasa bahagia sang ibu. Membuat Suhaila merekahkan bibir sembari mengusap poni putranya.
“Oh iya Atok Ibu tadi bagaimana, sudah dapat transportasi? “
“Mamak pulang, Setelah kendaraan Atok Ibu berangkat tadi. “ Tangan Suhaila menggiring Dino kembali ke kamar. Ketika bibirnya memberikan penjelasan. Diisyaratkan sang putra untuk bersama dengannya, duduk di tepi kasur. Ungkapan beriringan dengan tatapan mendalam itu mulai tersampaikan. “Oh iya, Abang Dino yang rajin mendoakan Bapak ya? Ajak Adik-adiknya juga ya!”
Malam kembali menyepi. Menyisakan Suhaila yang terkenang sebuah cerita. Kisah yang berkali – kali terlantun dan membuat ia khatam di luar kepala. Tentang wanita dengan sepuluh keturunan. Anak pertama dan terakhir ditakdirkan tak lama di dunia. Lalu tersisa delapan anak manusia yang semuanya kini telah menjadi orang.
Sembilan puluh persen jalan hidup sang ibu kini terwariskan kepadanya. Ia seorang penjahit. Juga ditinggalkan sang suami. Saat anak – anak belum menggapai asanya.
“Tapi apakah waktu itu umek mengabaikan hak tubuhnya juga, ya? Rasanya mana mungkin wanita tegar itu. “ Saat berdialog dengan dirinya sendiri. Tiba – tiba saja Suhaila terpikir nasihat Nisa.
Kemudian Suhaila berargumen mengajak jiwanya untuk merapatkan suatu hal. “Ini sudah saatnya menata semuanya kembali. Mungkin akan berat. Tetapi, bukan berarti tidak mungkin. Hal pertama adalah disiplin dengan semuanya — caranya mengenang. Ada tongkat estafet yang meski terus berjalan. Ini bukan tentang suami yang dengan mudah terlupakan. Apalagi kehidupan yang terasa lebih bahagia, saat orang telah menjadi janda -ditinggal pergi suami yang sangat berdedikasi-”
Selepas keputusan yang amat singkat dan cepat. Suhaila meluangkan waktu untuk memandangi foto almarhum. Ia tersenyum, dengan hatinya yang masih suci, tanpa ternoda dengan memikirkan selain Bambang sebagai lelakinya.
Malam ini kesedihan itu masih tetap bertamu. Ketika bayanganmu menyinggahi rasa rinduku. Kamu tidak melihat air mataku, bukan berarti Aku telah berpaling, dan merasa mudah melupakanmu. Namun wanitamu ini tengah bangkit, berpikir memenuhi kebutuhan anak-anak aku dan kamu. Sampai semuanya bisa melanjutkan hidup, setelah Aku ditakdirkan menyusulmu.
Dert ... Dert ... Ponsel Suhaila tiba – tiba bergetar di waktu semalam ini. Panggilan kontak -bernama May- itu hendak dijawabnya. Namun entah kenapa seketika terputus bahkan sebelum Suhaila berkata “Halo”.
Ada apa dengan mu, May. Jangan buat Aku yang belum bisa ke luar rumah ini cemas. Jangan biarkan temanmu yang baru berpikir memulai hidup stabil. Kembali menjadi orang yang zalim terhadap hak tubuh sendiri.