Contents
Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)
4. THE LOST MAN
"Please, Jim ... Don't ever tease me like that."
Aku selalu ingat suara gumamannya saat tidur. Matanya terpejam, namun ia masih tersenyum saat aku menggoda dengan menggigiti cuping telinganya. Awalnya, ia tidak terpengaruh dan tetap acuh pada sentuhanku. Aku tahu ia lelah dan ingin tidur. Tapi sisi kekanak-kanakan pada diriku seolah tidak mengijinkan gadis berambut pirang dan berwajah bulat yang berada di pelukanku ini tertidur. Tidak, selama dari jendela apartemenku, bulan memperlihatkan keramahannya menyambut malam.
Aku menarik selimut yang menutupi punggung telanjangnya. Sampai kapanpun aku tidak akan bosan menatap kulit pucat dan seputih kapas itu. Pelan-pelan aku mencium punggungnya. Sudah berjam-jam berlalu namun aku masih mencium jelas aroma strawberry dari tubuhnya.
Rupanya bukan aku satu-satunya yang kekanak-kanakan di ruangan ini. Lihat siapa yang seperti anak kecil, seumurannya ia masih suka memakai sabun beraroma strawberry. Tapi itu yang kusuka darinya. Dia bisa memakai parfum semahal apa pun, sanggup membeli kosmetik seheboh apa pun tapi ia memilih tetap nyaman dengan wangi buah-buahan segar. Dan tentu saja wanginya begitu melekat di kepalaku. Aku tidak mungkin tidak menyukainya.
Kalau saja Jane tahu aku sangat merindukan wangi strawberry yang khas pada tubuhnya jika kami berjauhan.
"Jim ..., kapan kau menyerah dan jadi anak baik?" Masih dengan suara menggumam ia menggerakkan punggungnya sedikit bergeser. Aku tahu tubuhnya bereaksi dengan ciumanku di punggungnya.
"Never," jawabku. Lalu pelan-pelan aku membalik tubuhnya hingga aku bisa menatap keseluruhan bentuk wajahnya. Mata yang bulat menatapku lembut. Pipinya yang kemerahan saat kusentuh membuatku selalu percaya bahwa ia begitu bahagia bersamaku. Dan bibirnya ..., setiap detik, setiap menit, waktu dan jarak yang membuatku tak bisa bertatap muka dengannya, aku selalu tahu tak akan bisa mengenyahkan keinginan untuk selalu mengecupnya.
Ia masih memejamkan matanya. Namun senyumnya memberikan isyarat ia tidak keberatan aku mendaratkan ciuman di keningnya, pipinya, hidungnya, matanya bahkan lehernya.
"Jane ..." panggilku.
"Hmmm ..."
"Say you'll never leave me."
"I won't."
***
Pembohong.
You lied to me, Jane.
Kalau kau benar tidak meninggalkanku, kau pasti akan melarangku meninggalkan Skotlandia, meninggalkan seluruh kenangan tentangmu bahkan detail-detail kecil yang membuatku sulit untuk tidak menghubungkan denganmu.
Aku pergi ke tempat yang jauh, Jane. Bahkan kaupun tidak percaya bahwa aku akan memilih Indonesia untuk pelarianku yang terkutuk. Terkutuk bagiku karena terlalu pengecut mengantar dirimu ke tempat peristirahatanmu untuk terakhir kalinya.
Salahkah aku, Jane? Jika aku ingin merasa kau tidak selamanya pergi meninggalkanku. Kau hanya penasaran dan bertanya-tanya surga itu seperti apa, lalu kau hanya sedang melakukan tour ke surga sama seperti para rockstar yang meninggalkan rumah mereka hanya untuk tour dan konser yang mereka lakukan bertahun-tahun di seluruh dunia.
Dua atau tiga tahun tour berlangsung. Sama seperti halnya para rockstar yang lupa pulang karena menemukan kebebasannya bertemu dengan wanita-wanita cantik yang membuat mereka lupa dengan kekasih-kekasih mereka, kaupun demikian. Kau tidak kembali padaku karena kau merasa di tempat persinggahanmu sekarang, kau menemukan pria yang lebih tampan, lebih ramah dan lebih lucu dariku. Dan aku mungkin akan kecewa, namun jika itu membuatmu lebih bahagia, aku tidak akan melarangmu.
Ya. Aku lebih suka menganggap kau hanya lupa pulang dan menemukan cinta yang lebih baik dari cintaku. Dengan begitu aku tidak akan menderita. Menderita karena senyumanmu hanya menjadi pengisi ingatan di malam-malam sepiku. Menderita karena aku tahu di penghujung dunia mana pun, belahan waktu mana pun, kau tidak bisa kutemui lagi. Itu sama saja menyuruhku berhenti bernapas, Jane.
Oh tidak…
Now, I really can’t breathe.
Jane ..., where are you when I need you the most?
Aku tidak bisa bernapas ...
Tolong ...
“Can I help you, sir? Your face looks so pale.”
Aku menengadah dan mendapati pramugari mendatangi kursiku. Oh God. Aku baru ingat aku masih berada di pesawat menuju London. Aku benci saat aku mulai memikirkanmu, Jane. Membuatku sepenuhnya kehilangan kendali.
“Please ..., give me some water,” pintaku pada pramugari.
“Ok, sir. One moment, please ...”
Aku mengangguk. Pelan-pelan kukendalikan lagi pikiranku dan perlahan mengatur napas. Ini berat. Aku tidak suka jika serangan asmaku terjadi di dalam pesawat. Itu membuatku tampak lemah.
Aku menghabiskan sebotol air mineral yang baru saja disediakan pramugari. Syukurlah, sejauh ini aku berhasil mengendalikan pernapasanku. Aku punya alasan untuk tidak ingin membangunkan sosok yang sedang tidur di sampingku. Rasanya tidak lucu jika ia menilaiku tidak lebih dari sekedar pria lemah.
Lihat betapa munafiknya aku? Tiga gelas cocktail dan wine yang telah membuatku mabuk, berhasil menyulapku menjadi pria yang ramah menyenangkan dan terdengar begitu optimis menilai cinta di depan gadis yang sedang tidur ini. Andai saja gadis ini tahu, dibandingkan siapa pun yang ada di dalam pesawat ini, mungkin aku satu-satunya yang ingin meloncat keluar dari ketinggian 12.000 kaki ini.
I guess I’ve been too desperately looked for someone whom I could talked to. Hanya supaya pikiranku teralihkan dari kenangan-kenangan tentang Jane. Pembicaraan tentang berlian dan rencana pernikahan yang sekarang ini bagaikan omong kosong belaka. Sandiwaraku benar-benar sempurna.
Hanya sebulan aku menghabiskan waktuku di Indonesia. Seseorang kenalan lamaku bahkan tinggal di Ubud, sebuah tempat yang masih berada di wilayah Bali. A very nice place, I guess. Bali menjadi satu-satunya terapi jiwaku sebulan ini sejak kepergian Jane. Oh, I hate when I thought that Jane was died instead she’s far away from me.
Suasana yang sangat berbeda memang membuatku melupakan apa yang terjadi padaku. Tapi kesepianku membuatku dengan mudah dan tanpa peduli lagi menerima siapapun wanita yang mengetuk pintu kamarku. Dengan jiwa yang kosong, aku bercinta dengan pemilik tubuh, warna rambut dan nama yang tidak sanggup aku ingat lagi satu per satu.
Aku terlalu lama setia pada satu wanita. Mungkin saja aku butuh menemukan alasan kenapa wanita yang kucintai meninggalkan aku. Dan aku tidak menemukannnya, tidak kutemui secuil pun dalam diriku yang membuat Jane kecewa. Dan dengan bodohnya aku menciptakan alasan bahwa sudah sepantasnya Jane pergi. Apapun alasan yang membuatku merasa lebih baik dan layak merelakan jane pergi, maka akan kulakukan, termasuk tidur dengan wanita yang tak kukenal.
Namun makin lama aku hanya melukai kenangan Jane dalam diriku. Membuatku merasa telah berbuat tidak adil. Tapi aku terlalu takut kembali ke Edinburgh. Hari ini, alih-alih aku kembali ke Edinburgh, aku malah memilih terbang ke London. Bahkan Jane, kau mungkin akan menertawakan kepengecutanku.
"... Emmmh ... kurang ajar kau, Jody .....”
Aku menoleh ke sampingku. Ke asal suara gumaman yang ternyata adalah igauan gadis Indonesia ini. Igauan yang tidak menyenangkan sepertinya. Wujud kemarahan pada mantan kekasihnya mungkin, itu yang ia ceritakan.
Tidak seperti gadis Indonesia lain yang kutemui di Bali. Gadis ini sama sekali tidak terlihat ramah. Wajahnya murung dan menyimpan kekecewaan. Aku tidak terkejut kalau kata-kata makian yang keluar dari igauannya, mengingat ia begitu menahan diri saat menceritakan tentang kekecewaannya, tipikal gadis yang pura-pura kuat tapi sangat lemah di dalam. Sama sepertimu, Jane.
Sebelum aku pindah ke kursi di sampingnya, siluet gadis ini mengingatkan aku pada Jane. Tubuh orang Asia memang lebih pendek, namun bahunya yang ramping dan bentuk lehernya, begitu mirip dengan Jane. Mungkin itu satu-satunya alasan aku berkeras meminta pria botak itu berpindah kursi denganku.
Aku memandangi lekat wajah tidurnya. Dia cukup cantik. Kulitnya berwarna kuning nyaris menyerupai warna kulit wanita Jepang atau Korea. Namun ia tidak sipit. Jadi kupikir tipikal wanita Asia Tenggara dan wanita Asia Timur memang berbeda. Dan lehernya ... ya Tuhan sampai kapan aku bisa berhenti memandanginya? Aku begitu merindukan Jane dan aku mendapati begitu banyak kemiripan Jane dengan gadis ini selain wajah dan warna rambutnya. Tuhan, bolehkah aku menyentuh lehernya saja, semata mengobati kerinduanku pada tunanganku.
Stop it, Jim … apa yang akan kau lakukan mungkin akan berakhir dengan kau didorong keluar dari pesawat.
Rasanya aku mendengar Jane berkata seperti itu. Aku urung mengulurkan lenganku ke arah gadis itu. Alih-alih aku memperhatikan jemarinya yang bergerak sekilas. Jemari yang ramping dan kuku yang polos tanpa polesan cat kuku. Kukira gadis ini tidak terlalu suka berdandan. Lihat saja selain kukunya yang polos, wajahnya tidak terlalu berat karena make up. Bulu matanya cukup panjang, dan warna lipstiknya sedikit pucat.
Angin apa yang membuatku mengeluarkan cincin berlian itu dari kotak putih di sakuku, akupun tidak tahu. Sebentar saja, aku ingin melihat bagaimana cincin itu terlihat di jemari gadis itu. Aku mengingat-ingat siapa nama gadis ini. Siapa? Rina? Ah, bukan. Rena? Ya itu ... Renata.
Tuhan, kumohon jangan sampa Renata terbangun saat aku mencoba memasangkan cincin di jarinya. Pelan-pelan aku melingkarkan cincin bertatahkan batu termahal di dunia itu di jari manis sebelah kanannya.
Mengejutkan. Cincin itu begitu pas di jarinya. Tidak terlalu longgar dan juga sama sekali tidak kekecilan. Entah apakah pemandangan itu membuatku senang ataukah justru ingin menangis.
Oh, Jane ... apakah kau sedang menggodaku sekarang?
Apa kau belum cukup puas membuatku kehilanganmu sampai kau pun hadir dalam wujud gadis yang berbeda warna kulit dan kebangsaan?
Lihat cincin itu, Jane ... aku memesannya sesuai ukuran jarimu dan sekarang sangat pas dikenakan gadis bernama Renata itu.
She is you, Jane ...
Detik berikutnya aku sudah melupakan resiko kalau-kalau gadis itu terbangun dan nekat mencium telapak tangannya.
Aku tidak peduli.
***
Ok, kebodohanku dimulai saat aku menemukan cincin berlian milik Jane tidak ada di dalam kotak berwarna putih gading itu. Apa yang sudah kuperbuat hingga cincin itu lenyap dari tempatnya?
Dan kepalaku sakit mengingat-ingat apa yang kulakukan di pesawat.
“What’s wrong, Jim? Have you lost something?”
Kakak perempuanku, Julie, bertanya saat ia tiba-tiba masuk ke kamarku.
“I guess. Dan aku tidak bisa mengingat kemana perginya.”
“Apa yang hilang?”
“Ah itu ...”
Kata-kataku terhenti. Aku ingin menceritakan sesuatu namun aku tidak tahu harus mulai darimana. Apa aku harus mulai dengan kemana aku menghilang sebulan terakhir ini? Apa aku harus menceritakan aku mencari pelarian kesedihanku dengan meniduri gadis-gadis yang kutemui di Indonesia? Dan perlukah kuceritakan aku mabuk di pesawat dan tidak ingat siapa yang pernah kuajak bicara? Dan yang paling bodoh, apa yang kulakukan hingga cincin itu harus lenyap sementara kotak cincinnya masih ada padaku?
Aku pasti sudah gila.
“Tidak ... tidak apa-apa. Bukan sesuatu yang penting,” jawabku berbohong.
“Really? Are you sure?”
No. I’m not sure ... tapi, aku merasa sebaiknya aku melupakan cincin itu. Selain harganya, keberadaan cincin itu sudah tidak berguna lagi. Here, melihat kondisiku, mungkin ada baiknya kalau cincin itu benar-benar hilang.
Ya, sebaiknya aku tidak mengungkit lagi.
“It’s alright, Jules ...”
“Baiklah, Jim. Kalau kau sudah selesai, makan malam sudah siap. Turunlah kalau kau ingin bergabung makan dengan kami.”
Aku mengangguk menanggapi tawaran Julie. Aku menyesal telah membuat satu-satunya keluargaku yang tersisa menjadi repot karenaku.
Sejak aku pulang dari Bali, dan menghabiskan dua hari di London sebelum akhirnya pulang ke Edinburgh, aku memutuskan tinggal sementara di rumah kakak perempuanku. Sudah kubilang, untuk kembali berada di kota dingin ini aku sudah menyiapkan keberanian yang cukup besar, tapi tidak dengan pulang ke apartemen lamaku. Terlalu banyak kenangan tentang Jane dan semua barang-barang miliknya. Terlalu pedih menghirup sisa-sisa aroma tubuhnya dari sprei, bantal dan baju-baju yang ia tinggalkan di apartemenku. Dan kukira, merepotkan Julie dan menumpang tinggal di rumahnya sementara ia sendiri sudah repot mengurusi suami dan tiga anaknya adalah keputusan paling egois yang bisa kupikirkan.
Syukurlah Julie tidak keberatan dengan kehadiranku. Selain karena hanya disinilah aku merasa punya keluarga, aku menyukai lingkungan di rumah Julie. Terletak di kaki perbukitan Arthur’s Seat, sebuah tempat yang biasa disebut Duddingston. Meskipun dekat dengan pusat kota, tempat ini masih berupa pedesaan dan lingkungannya cukup tenang. Jendela kamar tamu yang kutempati bahkan tepat menghadap ke danau. Seandainya aku masih memiliki harapan untuk bahagia bersama Jane, sudah tentu menempati rumah yang memiliki nuansa seperti ini adalah impian kami. Aku bahkan berencana membeli cottage di sebuah desa yang agak jauh ke utara. Hanya selangkah lagi, selangkah bagiku menuju kehidupan yang sempurna. Dalam sekejap apa yang ada di depanku sudah tidak lagi terlihat. Kehilangan Jane membuat pandangan hidupku tak lagi sama.
“Uncle Jim, look at my pin ... Isn’t it beautiful?”
Jenny, putri bungsu kakakku berseru sambil menghampiriku yang tengah menuruni anak tangga. Ia menunjuk-nunjuk pada jepit berukuran besar warna pink yang ia kenakan di bagian belakang rambut ikal panjangnya yang berwarna coklat terang. Gadis kecil itu memang sangat manja padaku. Aku membiarkan tangan kecilnya menggandeng lenganku.
“Yes, Jenny .... You are pretty.”
Wajahnya cerah mendengar pujianku.
“Jen, duduklah! Percuma cantik kalau kau sangat berisik,” seru Julie yang tengah menata meja makan.
“Aku duduk kalau Paman Jim mau duduk di sebelahku.”
Jen berseru sambil menggiringku ke kursi tepat di sampingnya. Akupun tersenyum menyaksikan kepolosannya.
Cute. Jane juga sangat menyukainya, ia bahkan terang-terangan menginginkan anak seperti Jenny jika kami menikah. Bahkan nama mereka sedikit mirip, Jane and Jenny. Oh tidak, jangan merusak suasana malam ini dengan ingatan-ingatan muram tentang Jane. Aku tidak ingin membuat Julie mengkhawatirkan aku lagi.
“Jadi kemana saja kau selama sebulanan ini? Got yourself busy already?”
Edward, suami Julie tanpa basa-basi langsung menghujaniku dengan pertanyaan sarkastiknya. Aku lupa menyebutkan, satu-satunya hal yang kubenci saat aku berada di rumah Julie adalah, suaminya tidak pernah suka padaku, kukira begitupun sebaliknya.
“Kind of. I had my little business in Bali,” jawabku seperlunya.
“Urusan macam apa sampai-sampai seseorang lupa bahwa upacara pemakaman tunangannya sedang berlangsung?”
“Honey!!” sela Julie yang seperti halnya aku, sama terkejutnya dengan sindiran yang keluar dari mulut suaminya.
“It’s ok, Jules ...” ujarku mencoba tenang. “Aku percaya pemakaman tetap berjalan lancar tanpa aku. Aku lebih memilih tidak merusak acara pemakaman dengan suara-suara yang sepertinya akan membuatku merasa dikasihani. That’s it.”
“We know Jim ..., so don’t worry. Teruskan makanmu,” ujar Julie menengahi. Namun sepertinya itu membuat Edward tidak suka.
“How long have you been engaged with her? Apa masuk akal seorang laki-laki tidak mengetahu kondisi kesehatan calon istrinya?” tanyanya lagi yang membuatku tidak nyaman.
“Honey, please stop!!”
“What? I’m just asking a question.”
“Just ask a normal question …. This isn’t the right time for you being rude to Jim.”
Aku tidak berkomentar. Julie hanya bermaksud baik mengkhawatirkan keadaanku. Dan rasanya pertanyaan Edward selain ia memang sengaja bersikap kasar, aku tahu ia bicara sejujurnya. Calon suami macam apa aku, tidak mengetahu kondisi kesehatan orang yang kucintai? Ironis, aku tidak ingin dituding tidak tahu apa-apa perihal Jane, tapi ... sebulan ini pertanyaan itulah yang membayangi kehidupanku.
“Lupakan apa yang kubilang tadi. Jadi ... apa kesibukanmu sekarang? Kapan kau kembali ke apartemenmu? Besok? Lusa?”
“Oh God, Edward .... Could you please, just eat your dinner?”
“It’s alright. Mungkin ini kedengaran egois, Edward. Tapi untuk sementara aku tinggal di sini.”
“Sampai kapan?” tanyanya, sepertinya cukup terkejut. Jangan tanya, akupun juga terkejut karena sepertinya Julie belum menyampaikan hal ini.
“I don’t know … maybe ...”
“Ahhh, kau akan tinggal sampai musim panas? Sampai Festival Fringe tiba?”
Mulutku seakan terkunci.
“Aku lupa kau ini pianis dan penata musik yang cukup sibuk. Musim pertunjukan dan resital sudah tiba ya? Kau pasti sangat sibuk sekali.”
Aku tertegun sejenak setelah mendengar komentar Edward. Seakan kesadaranku baru saja dihantam dengan sebuah batu bernama kenyataan. Kenyataan tentang siapa aku dan apa yang kulakukan untuk bertahan hidup. Dan tak sejurus pun pikiran tentang pekerjaanku berhasil menguasai otakku. Seluruh emosi dan energiku dihabiskan hanya untuk memikirkan Jane. Cukup hanya Jane saja dan itu mampu membuatku sepenuhnya menjadi orang bodoh yang tak lagi punya pekerjaan.
“Benar juga, Jim. Sebentar lagi musim festival internasional itu. Apa kau yakin akan tinggal di sini? Kau tidak sedang mempersiapkan resital pianomu?”
Bahkan Julie pun ikut menginterogasi pekerjaanku.
“Aku masih belum tahu apakah aku akan bermain untuk resital piano musim panas ini,” jawabku singkat tanpa memandang sepasang mata Julie. Semoga ia paham aku tidak ingin membahas masalah ini sekarang.
Sekarang ini siapa yang bisa memikirkan resital? Bahkan untuk menyentuh tuts piano saja aku tidak yakin bisa.
“You’re not going to play? Jadi apa yang akan kau lakukan? Wondering around in our house?”
“Please, honey .... Jangan mulai lagi,” ujar Julie dengan tatapan yang mulai lelah karena ucapan suaminya padaku.
“Kau terlalu lunak pada adikmu, Julie. Kau tidak tahu seberapa pengecut dia lari begitu saja di hari pemakaman tunangannya. Lalu dia kembali ke Edinburgh dan datang ke rumah kita dalam keadaan mabuk semalam. Dan sekarang dia bilang tidak ingin melakukan pekerjaan yang dulu dia banggakan .... As an artist, a pianist. He’s just pathetic.”
Ini membuatku muak. Aku tidak tahan lagi. Berada di meja ini dan ruangan ini hanya membuatku ingin muntah. Dengan marah aku mengambil jaketku dan berjalan menuju pintu. Anywhere … anywhere would be better except here.
“Jim ...! Kembali, Jim ...! Kau belum habiskan makan malammu. Jim!”
“Uncle, Jim ...”
Bahkan Jenny pun memanggilku kembali. Tapi aku tidak ingin bicara dengan siapa-siapa sekarang. Maafkan pamanmu yang menyebalkan dan tidak berguna ini, Jen.
Jane…
Julie…
Jenny…
Kenapa pelan-pelan aku menyakiti kalian semua? Kenapa aku menjadi sebegitu tidak bergunanya di mata kalian?
***