Contents
Wanita Berhati Emas
Inginku
Maaf, Mas. Kali ini aku tidak mematuhimu. Mau memberikan anakku pada Sera? Enak saja!
Di tengah teriknya mentari hari ini, mataku memandang tepat ke arah pagar pembatas ruko tempat Alena kursus piano, memperhatikan kawanan anak-anak seumuran Alena keluar dari pagar. Kunantikan buah hatiku keluar dari sana. Akhirnya penantianku selama kurang lebih dua jam usai sudah.
"Ah, itu, dia!" Kakiku melangkah cepat menghampiri Alena. "Alena! Sini, Sayang!" pekikku seraya melambaikan tangan dan berjalan mendekatinya.
Alena seketika terdiam, raut wajahnya yang semula ceria berubah pias. "Alena, itu siapa?" Ibumu, ya?" tanya seorang gadis kecil di sebelahnya.
"Itu, itu, bibikku, kok," ucap Alena dengan mulut mungilnya yang langsung membuat perasaan senangku seketika memudar. "Ibuku itu cantik, bukan seperti dia."
"Alena!" Tanpa kusadari, tiba-tiba saja Sera sudah berada di sebelahku.
Alena langsung berlari menghampiri Sera yang baru saja tiba. Ia menarik tangan wanita cantik itu, lalu mengajak masuk ke dalam mobilnya.
***
"Hallo, iya, Mas?"
"Runa, tadi Sera ngasi tau, kalau tadi saat dia menjemput Alena dia ketemu kamu. Dan gara-gara kamu Alena jadi nangis. Benar begitu?!" Suara tajam Mas Kahfi di ujung telepon membuatku seperti dihakimi layaknya seorang penjahat.
"Tadi aku cuma mau menjemput Alena aja kok, Mas.."
"Kamu itu bandel banget si dikasi tau! Disuruh pulang bukannya pulang, malah diem di sana. Kamu sengaja mau membantah saya? Mau mempermalukan Alena?"
"Bukan begitu, Mas. Tadi itu ...."
"Halah, kamu itu memang ya, nggak pernah berhenti bikin aku kesal!" tukas Mas Kahfi memotong kalimatku. Ia lalu memutus panggilan.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Alena dan Mas Kahfi belum juga pulang. Sajian makan malam yang sudah kusiapkan sedari tadi pun kini sudah tak hangat lagi. Mataku yang sudah terasa seperti memakai lem perekat tetap kupaksakan untuk terbuka.
Kucoba menghubungi Mas Kahfi sejak sore tadi. Ia bilang kalau sepulang dari kantor, ia akan menyusul Alena ke rumah Sera. Tapi kenapa harus sampai selarut ini?
Tak berapa lama, terdengar mobil memasuki halaman. Bergegas aku menuju ke pintu. Mas Kahfi yang baru saja selesai memarkirkan kendaraan merahnya lalu ke luar dan memutar ke pintu sebelah kiri. Ia kemudian mengendong Alena yang sudah tertidur. Gadis kecil itu sudah tidur terlelap.
"Kenapa malam sekali pulangnya, Mas?"
Mas Kahfi hanya diam, ia melewatiku begitu saja, lalu menuju kamar Alena dan menidurkan Alena di atas ranjang.
Setelahnya Mas Kahfi kemudian beranjak menuju kamar.
***
"Mas, menurut Mas, gimana kalau aku operasi plastik aja?" ucapku sehati-hati mungkin pada Mas Kahfi yang baru saja selesai mandi. Wangi shampo lidah buaya yang terasa menyegarkan membuatku hening seketika. Terlebih saat memandang wajah tampannya melalui cermin besar yang ada di sudut kamar.
Ia memutar tubuhnya, lalu menatap tajam padaku. "Apa katamu?"
"Aku ingin operasi plastik, Mas." Tiba-tiba saja keinginan itu datang, setelah melihat sikap Alena kemarin padaku. Apa benar wajahku sebegitu menakutkan baginya, sampai ia tidak mau mengakuiku sebagai ibunya sendiri? Bahkan ia lebih suka memanggil Sera sebagai ibu.
"Ga usah aneh-aneh, kamu! Lagi pula, walaupun nanti wajahmu sudah tidak semenyeramkan sekarang, perasaanku padamu tetap tidak akan berubah. Saat ini kita masih bertatus suami istri, murni hanya karena masalah warisan almarhum papa. Itu aja! Dan satu lagi, kalau kamu mau operasi, gunakan uangmu sendiri! Aku tidak mau membuang-buang uang hanya untuk sesuatu yang tidak penting seperti itu!" bentak Mas Kahfi lalu pergi sambil membanting pintu kamar.
Tampaknya Mas Kahfi masih sangat kesal dengan kelakuanku yang tidak mau menuruti perintahnya tadi dan malah membuat Alena bersedih. Mas Kahfi bahkan memilih menenangkan dirinya di ruang kerja dari pada masuk ke kamar dan beristirahat di sana. Sepertinya ia sedang ingin menghindariku. Ya, sudah biarkan saja dulu.
Dulu Mas Kahfi pernah berkata bahwa ia sama sekali tidak mengerti kenapa Papa Asmoro tega menjodohkannya dengan perempuan sepertiku. Satu-satunya yang ia syukuri dalam pernikahannya denganku adalah karena kehadiran Alena, putri tunggalnya yang sangat dia sayangi. Ia bersyukur bahwa Alena tidak mewarisi wajah burukku. Ah, andai saja Mas Kahfi tau kenyataan yang sebenarnya.
Bersambung.