Try new experience
with our app

INSTALL

Wanita Berhati Emas 

Ke Tempat Kursus

Mataku terpejam. Kepalaku sudah membayangkan apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan. Bukan karena sakitnya, tapi lebih kepada rasa malu karena harus terjatuh di depan Sera, saingan terberatku. 

Namun, kok, aneh. Tubuhku tidak terasa sakit sama sekali. 


"Kamu itu, selalu saja ceroboh." Suara Mas Kahfi sudah menggema di telingaku. Wajahnya pun tepat berada di depan mukaku tepat saat aku membuka mata. Dengan kedua tangannya dia menangkapku tepat sebelum tadi aku benar-benar jatuh. 


Perlahan-lahan, Mas Kahfi membantuku untuk berdiri. 

"Makasi, Mas."

Lekas aku pergi dari hadapan Mas Kahfi. Tak kupedulikan sorot mata Sera dan Mama Amanda yang memandangiku setajam silet. Mukaku saat ini pasti sudah seperti kepiting rebus. Jantungku saja sudah berdentum kencang. 


***


Setiap hari Sabtu pagi, Alena mengikuti kursus piano. Anakku itu memang pandai sekali memainkan alat musik perkusi itu. Terkadang aku sampai terbuai saat jari-jari mungilnya menari di atas tuts memainkan sebuah lagu. Namun, tentu saja aku hanya bisa menikmati permainan pianonya dari jauh. Alena lebih suka meminta Mas Kahfi atau Sera untuk duduk di sebelahnya saat ia tengah bermain. 


"Mas, apa boleh aku minta sesuatu?"

tanyaku pada Mas Kahfi yang baru saja selesai mandi.


"Hmm."


"Apa hari ini aku boleh ikut mengantar Alena?"  


Iring semut di atas mata Mas Kahfi seketika merapat. "Ngapain mau pake nganter Alena segala? Udah kamu di rumah aja," ujarnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin. 


"Ya, sekali-sekali, Mas. Aku kan belum pernah menemani Alena kursus piano. Sebagai ibunya, ingin juga rasanya melihat tempat Alena menghabiskan sebagian besar waktunya," tukasku dengan kalimat yang sudah kutata sebaik mungkin. 

"Boleh, kan, Mas? Kali ini aja, Mas."


"Oke. Cuma kali ini. Tapi sebelum itu, kamu tanya Alena dulu, minta izin dia baik-baik, kalau Alena ga mau, ga usah maksa!"

Setelah selesai mematut diri, Mas Kahfi langsung keluar kamar, menuju ruang makan. Aku yang ditinggalkannya begitu saja di kamar masih dapat merasakan aroma parfum maskulin yang Mas Kahfi kenakan pagi ini. 


Langsung kuhampiri Alena ke kamarnya. Nampak gadis kecil itu masih sibuk menata rambut panjangnya. "Sini, Nak, biar ibu bantu." Kuambil sisir dari tangan Alena lalu menyisiri rambutnya dengan penuh kasih. "Hari ini rambutnya mau diapakan Alena? Kalau ibu ikat dua aja gimana? Mau nggak? Pasti Alena akan terlihat makin cantik."


"Terserah," jawab Alena sembari tangannya memainkan boneka pemberian Sera. 


Gadis kecil di depanku sudah terlihat semakin mempesona. Jika diperhatikan lebih lanjut garis wajahnya memiliki kemiripan dengan wajahku, tentu saja mirip dengan wajahku sebelum memiliki luka seperti sekarang. Dulu Papa Asmoro pun pernah menyatakan hal serupa. 


"Dah, siap. Anak mama cantik sekali," pujiku pada gadis kecil itu seraya mengusap pelan kepalanya. 


"Oh, iya, Alena, ada yang mau ibu tanya. Apa boleh ibu ikut nganter Alena ke tempat kursus?"


Alena merengut. "Mau ngapain?"


"Ya ... ibu cuma mau lihat tempat Alena kursus aja, kok. Ibu, kan, belum pernah ke sana. Boleh, ya, Sayang? Kata Papa, kalau Alena setuju, baru ibu boleh ikut."


Alena mengangguk pelan. Saking bahagianya, mataku sampai berkaca-kaca. Akhirnya aku bisa melihat tempat Alena kursus. 


***


"Run, nanti kamu tunggu aja di deket mobil, ga usah ikutan nganter Alena sampai pagar segala," ujar Mas Kahfi yang sedang fokus menyetir. 


"Loh, kenapa, Mas?"


"Kamu kan cuma ingin tau Alena kursus di mana. Buat apa pake nganter ke pagar segala? Lagian kasian Alena kalau sampai teman-temannya nanti melihat kamu." Kata-kata setajam belati dari mulut Mas Kahfi kembali membungkamku. 


Aku sadar memang wajahku ini membuat takut sebagian orang, makanya aku tak pernah lupa untuk menutupinya dengan selendang saat sedang berada di luar rumah. Termasuk saat ini, aku juga mengenakan selendang di kepala. 

Sebenarnya Papa Asmoro dulu pernah menawariku untuk melakukan operasi plastik di wajah. Tapi aku tolak, karena menurutku belum perlu. Pikirku saat itu, aku akan menunggu keputusan Mas Kahfi saja. Jika ia yang menyuruh, tentu aku akan langsung mengiyakan. Lagi pula operasi plastik kan membutuhkan biaya yang sangat besar. 


"Iya, Mas."


Mobil berjalan perlahan memasuki kawasan pemukiman yang sangat mewah. Tidak jauh dari gerbang utama, kami akhirnya tiba di salah satu ruko tiga lantai yang sangat megah. Pagar tinggi bercat biru lautnya berdiri angkuh menyambut semua murid yang datang. Ditambah lagi dengan hiasan berbagai ornamen bebatuan di dinding, semakin memperindah eksterior gedung itu. Banyak kendaraan roda empat yang lalu lalang mengantarkan anak mereka, sebaliknya jarang sekali terlihat kendaraan roda dua. 


Mas Kahfi memarkir mobil tak jauh dari pintu masuk. Setelah ia mematikan mesin, cepat-cepat kurapikan kembali letak selendangku, baru setelahnya keluar mobil dan membantu Alena turun. 


Mataku seketika berbinar ketika mengetahui bahwa putriku bisa kursus di tempat semewah itu. Tanpa sadar kakiku berjalan melangkah mengikuti Alena dan Mas Kahfi menuju gerbang. "Eh, kamu mau kemana? Diam saja di sana!" Mas Kahfi berbalik badan demi hanya untuk memotong langkahku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah, melihat Alena memasuki tempat lesnya dari jauh saja.


***


Saat aku tengah menunggu Mas Kahfi keluar dari pagar, datang sekawanan pemuda berpenampilan preman menghampiri. "Bu, sedekahnya, Bu. Asem ni mulut, udah lama ga ngerokok," ucap salah satu pemuda itu.


Aku hanya membalasnya dengan senyuman, tanpa menjawab apapun. Sama sekali tidak berniat memberi. "Yah, Bu. Kita, tu, mau duit, bukan senyuman. Masa naik mobil bagus gini, ga ada duit," cibirnya. "Mana?" tangan salah seorang pemuda itu sudah memegang tanganku. 


"Ok, sebentar." Baru saja akan mengeluarkan uang dari dalam dompet, Mas Kahfi tiba-tiba sudah berada di belakangku. 


"Heh, lepasin! Ngapain kamu pegang-pegang? Mau saya panggilin satpam?" ancam Mas Kahfi kepada mereka. 


"Jangan dikasih, Run. Kebiasaan nanti, paling kalian pakai buat rokok, kan! Sudah sana kalian pergi!" Dengan bersungut-sungut mereka akhirnya pergi menjauh. 


"Kamu itu ga usah sok baik pake mau ngasih uang segala ke mereka. Kebiasaan nanti!" ucap Mas Kahfi dengan kasar. 


"Tapi ...."


"Makanya tadi aku bilang kamu ga usah ikut, di rumah aja. Kayak gini, kan, jadinya. Untung tadi aku cepat datang. Sekarang kamu langsung pulang aja. Nggak usah nunggu sampai Alena pulang. Aku sudah menelepon Sera. Dia yang nanti akan menjemput Alena," titah Mas Kahfi lagi. 


"Tapi, kenapa harus Sera, Mas? Aku ini ibunya Alena, biar aku tunggu saja sampai Alena pulang nanti."


"Kalau aku bilang pulang, ya, pulang!"


"Tapi, Mas ...."


"Kamu ini kenapa nggak ngerti, si, dikasih tahu. Udah sana pulang!" Selesai berbicara, Mas Kahfi langsung masuk mobil dan meninggalkanku di sana. 


Tapi aku malah tersenyum lebar. 


Bersambung.