Contents
Love in The Thin Air
1. Mahameru
(Juni)
Pil Joo
Pil Joo mengintip melalui celah tangan yang menutupi matanya. Seorang gadis biasa. Tidak cantik seperti harapannya. Pil Joo pikir jika penolongnya cantik, paling tidak bisa jadi obat bius alami bagi nyeri sangat yang terasa.
Tunggu dulu!
Pil Joo mengintip lagi. Wajah itu terasa tidak asing.
“Tahan ya,” suara gadis itu memenuhi gendang telinga Pil Joo. Terdengar lembut menenangkan.
Selain nilai penampilan yang biasa, Pil Joo juga sempat tidak yakin gadis itu bisa menangani luka yang sedang dialaminya. Apalagi dia terlalu berisik banyak bertanya, dan bicara. Namun dibalik semua itu dia cekatan. Tahu yang harus dilakukan agar lukanya tidak bertambah parah. Melihat sisi lain tersebut, Pil Joo pasrah jiwa raga.
Sambil menahan sakit Pil Joo mengingat kembali rentetan peristiwa sebelum dirinya celaka. Saat sedang swafoto di atas air terjun, tiba-tiba tubuh Pil Joo terasa ringan melayang. Namun itu hanya terjadi beberapa detik. Selanjutnya dia merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Terlebih bagian kaki kiri terasa seperti mati rasa dan ditusuki ribuan jarum.
Pil Joo mencoba melihat kakinya yang ngilu luar biasa. Dia pun menjadi ngeri sendiri mendapati tulang kering bagian kiri telah berwarna merah dengan semburat warna putih mencuat.
Kilasan kejadian yang tadi membuat dirinya celaka melintas. Saat tubuhnya telah terhempas, dia hanya bisa berseru meminta bantuan.
“Tolong!” teriak Pil Joo yang jatuh pada lereng tebing sebelah kanan air terjun. Beruntung dia tidak terlontar ke bebatuan dengan kucuran air yang akan segera melibas tubuhnya pada batuan berikutnya. Turun sampai kolam, raganya sudah pasti telah binasa.
Satu dua orang terlihat merayap naik. Bagaimana pun letak Pil Joo jatuh memang agak susah dari jangkauan pendaki lain yang sedang mandi atau berendam air panas.
Empat orang berhasil mencapai posisi Pil Joo, seorang pria berambut panjang sebahu, seorang dengan baju kotak-kotak berkulit gelap, seorang dengan tubuh yang kekar. Terakhir rekannya sendiri Fendi yang tergopoh-gopoh mendekat.
Wajah keempatnya terlihat jeri sekaligus iba. Mereka tampak bingung dengan luka di kaki Pil Joo yang memang terlihat seram. Celana pendek yang Pil Joo kenakan tidak bisa menutupi luka yang menganga.
“Kalian bisa bantu menurunkan dia.” ucap Fendi pada pendaki yang berhasil menjangkau Pil Joo.
“Ini harus ditangani dengan benar, agar lukanya tidak menjadi parah.” kata pria berambut gondrong. “Kakinya tidak boleh banyak gerak itu.”
“Tapi harus segera dievakuasi.” kata si baju kotak-kotak.
“Jadi kita harus gimana?” Fendi terlihat semakin cemas. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana cara membawa Pil Joo turun. “Adakah yang bisa memberinya pertolongan pertama?” tanya Fendi pada pendaki yang ada di situ.
“Aku coba panggilkan temanku,” ucap pria gondrong terus melesat turun dengan pergerakan yang cepat.
“Kalau gitu, aku ambilkan air untuknya dulu.” ucap si baju kotak-kotak.
“Terima kasih,” ucap Fendi lalu berjongkok mencoba menenangkan temannya bersama seorang yang bertubuh kekar. “Jangan panik, tarik nafas dalam-dalam.” ucapnya memberi saran.
Pil Joo akhirnya cuma meringis menahan sakit yang luar biasa. Dataran yang tidak rata membuat tubuhnya setengah miring dan tidak nyaman. Agak menyesal kenapa tadi nekat ingin berpose di atas tebing air terjun. Fendi bahkan telah mengingatkan berbahaya.
Tak lama kemudian pria itu telah datang dengan seorang gadis mungil berjilbab. Napasnya tampak sedikit tersengal karena berlari dan memanjat tebing. Dia pun segera mengatur lalu lintas udara lewat mulutnya agar teratur sebelum memberikan banyak instruksi pada temannya yang segera cepat tanggap melaju turun.
Dan kini gadis itu, dengan sabar tengah merawat lukanya. Meski terlalu banyak tanya tentangnya.
***
(Juni)
Sebulan sebelumnya….
“Serius?” Mata Sin Chan berbinar. “Tapi aku nggak ada dana nih, hehe...”
“Itu udah aku perhitungkan. Aku kan selalu menemukan ide cerdas. Yah, kamu bisa berkontribusi melalui alat-alatmu. Gimana? Sekalian buat promosi?” balas suara di seberang.
Sin Chan tertawa keras. “Kamu ini bisa ajah. Jadi kapan kita tamasya ke sana?”
“Bulan Juli, pas libur sekolah. Jangan lupa siapkan fisikmu.”
Sebagai bos bimbel franchise yang berinduk di Jepang, Rexa sebenarnya bisa bebas kapan pun ingin libur. Tetapi Rexa termasuk orang yang disiplin, tak sembarang dia berkeliaran saat anak buahnya bekerja untuknya.
“Siap grak!” seru Sin Chan penuh semangat.
“Oke, udah dulu. Koordinasi lengkap menyusul.” Rexa mengakhiri percakapan mereka.
“Ya, aku tunggu.” ponsel dimatikan.
Gerak selanjutnya Sin Chan menuju ruang berlabel ‘Merapi’ memeriksa peralatan pendukung pendakian seperti tenda dome, alat masak trangia, sleeping bag, webbing, matras, lentera dan tas carrier. Semua alat-alat itu bermerk Mahameru. Dan alat-alat di gudang tersebut sebagai inventaris jika mereka ingin berkegiatan di luar sekaligus untuk promosi.
Basecamp Mahameru merupakan rumah bagi peralatan pendakian dengan merk Mahameru yang sudah berdiri kurang lebih lima tahun. Sin Chan dan Anggara bekerja sebagai part timer. Maklum status mereka masih mahasiswa. Dan seorang lagi Royan kakak angkatan di MAPA sebagai pengelola yang bertanggungjawab langsung pada bos besar. Royan yang lulus dua tahun lalu bisa dibilang sebagai manajer dari Mahameru.
Untuk pembagian tugas secara bergantian menyesuaikan jadwal kuliah antara Anggara dengan Sin Chan. Bila keduanya kuliah maka Royan akan menunggui sendiri Basecamp Mahameru. Terkadang Royan juga harus bolak-balik Jakarta-Purwokerto berurusan dengan pusat Basind_Basecamp Induk Mahameru. Mengingat jaman sekarang serba online penjualan barang pun tidak tergantung dari toko saja. Biasanya Anggara akan dapat tugas tambahan mengirim paket ke pelanggan yang membeli lewat web Mahameru, FB, WA atau ruang berjualan daring yang bertebaran via aplikasi.
Basecamp Mahameru 3 terdiri dua lantai, lantai bawah memiliki luas 4 x 8 meter terbagi menjadi tiga ruang tersekat tripleks. Satu ruang terluas tempat display peralatan diberi nama Jaya Wijaya. Dua ruang lain yang dibagi dua masing-masing memiliki nama Merapi dan Argopuro. Merapi merupakan gudang penyimpanan, Argopuro untuk tempat sholat atau beristirahat, ruang Argopuro juga terdapat toilet. Kadang Royan dan Anggara menginap dan tidur di ruang itu.
Lantai dua Basecamp Mahameru memiliki tangga di luar. Satu buah ruang berlabel Padang Cantigi berdiri tegak dengan luas separuh dari lantai bawah. Sisanya dibiarkan terbuka. Tidak tahu kenapa si pemilik membangun rukonya semacam itu. Yang pasti ruko ini menarik perhatian bos besar. Apalagi harganya cocok.
“Wah, kurang trangia.” gumam Sin Chan sambil keluar dari ruang Merapi.
Di luar ternyata Anggara sudah duduk manis depan tablet yang tidak pernah lepas dari tangan. Sepertinya tugas mengelola website cocok buat Anggara yang suka berselancar di dunia maya dan bermain game online. Sin Chan kadang tidak mengerti apa asyiknya bermain game online semacam itu. Game-game yang selalu membuatnya pusing kalau melihat. Memang bertolak belakang sekali dengan hobi lain Anggara yang suka bercumbu dengan tebing.
“Ang, kamu pinjam trangia?”
“Bos Roy, kali. Dia kan yang paling sering keluar bawa alat.” sahut Anggara tanpa melepaskan pandangannya dari layar tab.
“Ya ya....” balas Sin Chan lalu memencet-pencet gawai. Rasa penasarannya harus terjawab. Dia lalu mengirim pesan pada Royan.
Sambil menunggu balasan dari Royan, Sin Chan membuka web mereka di komputer meja kasir. Sekalian buka facebook dan memeriksa adakah chat masuk pada ruang belanja daring yang mereka ikuti.
“Ang, ada pesanan tapi belum kamu confirm lho.”
“Kapan, tadi baru saja aku buka, belum ada yang order.”
“Stop dulu mainnya urusi pelanggan.”
“Tanggung nih. Kamu kan bisa?”
“Heh, dasar!” keluh Sin Chan lalu mengklik tombol pesanan diterima untuk selanjutnya agar si pemesan mentransfer sejumlah uang sesuai harga barang. “Jangan lupa cek uang transferan.”
“Iya, palingan nggak langsung transfer.” Anggara masih fokus pada permainannya.
“Kelak kalau kamu udah menikah, istrimu bisa ngamuk-ngamuk kalau kamu masih tekun bermain game.”
“Aduh!”
“Kenapa?” tanggap Sin Chan.
“Aku kalah.” ucap Anggara sambil meremas rambutnya yang belum kena pisau cukur sebulan.
“Haha... kubahagia.” seru Sin Chan membuat Anggara tambah suram.
Bersamaan dengan itu denting ponsel berbunyi. Balasan pesan dari Royan terpampang.
Royan: Kemarin aku memang pinjam, tapi trus dipinjam anak MAPA. Kalau nggak salah Gatra.
Sin Chan: Oke, nanti aku cari. Lain kali yang tertib ya, Kak.
Sin Chan menambahi emoticon senyum mengerling.
Siap Bos!
Balas Royan membuat Sin Chan mengernyit. Lalu membalas; ‘Ampun, Bos!’ dengan gambar tangan menangkup.
Sebenarnya ingin marah, karena Sin Chan paling tidak suka model meminjam berantai macam itu. Bisa jadi tidak ada yang bertanggungjawab karena melontar pada peminjam berikutnya. Lebih gawat lagi kalau peminjam selanjutnya tidak terdeteksi. Melayang lagi deh, satu trangia inventaris. Tapi masa iya marah sama bos sendiri. Kualat, bisa nggak dibayar gaji bulanan nanti.
“Ang, kalau mampir kandang MAPA, tolong tanyain trangia kita ya.” kata Sin Chan saat Anggara tidak tampak fokus pada layar laptop.
Maksud kandang MAPA itu ya sekretariat dari kelompok pecinta alam mereka. Sesepuh pendiri MAPA sejak awal menyebut sekretariat dengan sebutan kandang. Mungkin karena logo mereka adalah elang makanya seolah anggota MAPA adalah elang-elang yang suka melanglang namun pada masanya mereka kembali ke kandang. Kok bukan sarang? Sepertinya terdapat maksud agar sifat-sifat liar si elang dapat teredam bila masuk kandang. Begitulah, tidak ada yang tahu pasti.
“Mau buat apa?” tanya Anggara kembali fokus ke tabletnya.
“T-Rex ngajak aku dan Dante ke Rinjani.”
“Rinjani? Kapan?” Anggara menegakkan kepala memandang Sin Chan.
“Sekitar bulan Juli. Katanya mau reuni tim putri MAPA pi 35.” Sin Chan menanggapi tetapi arah pandangannya ke jalan depan basecamp sambil menyilangkan tangan di depan dada.
“Cuma bertiga?” Anggara penasaran. Terlihat dari matanya yang tidak fokus lagi ke tablet.
“Kamu mau ikut?”
Anggara menggeleng. “Kalau aku ikut siapa yang jaga Mahameru?”
“Kak Royan?”
“Kayak nggak tahu si Bos aja. Mana betah dia dikurung di sini. Dia pasti memilih ikut kalian kalau ada penawaran.” balas Anggara meletakkan tabletnya ke meja.
“Sayangnya kami cuma ingin naik bertiga.” tandas Sin Chan menoleh pada Anggara.
“Saranku sih, mending kalian jalan-jalan ke mall atau di tempat piknik biar pada segera ketemu cowok idaman.” tawa Anggara menggema.
“Ya, cowok idaman mah, bisa nemu di mana aja kali. Siapa tahu salah satu dari kami ketemu mereka di gunung.” tanggap Sin Chan sambil memutar-mutar kursinya ke kiri dan ke kanan.
“Iya, ketemu saudara tua. Monyet.”
“Kamu monyet!” balas Sin Chan tak mau kalah seiring menampakkan deretan gigi yang tidak rapi.
“Mau lewat mana?” tanya Anggara tidak membalas olok-olokan Sin Chan.
“Naik lewat jalur umum, Sembalun. Mungkin turunnya baru lewat Senaru. Tapi entah ya, belum ada koordinasi lebih lanjut.”
“Oh...” Anggara manggut-manggut. “Aku mau cari makan dulu. Nitip?”
“Iya, menu biasa.” sahut Sin Chan. “Jangan lupa, sekalian mampir kandang cari trangia.”
“Kalau sempat dan nggak lupa.” Anggara melangkah ke pintu. “Aku mau sekalian jemput Risna di kampus soalnya.”
Sin Chan mengangguk-angguk. Makan siangku bakalan telat, deh.
Selanjutnya terdengar gerung motor dipacu keluar area parkir Basecamp Mahameru. Sin Chan mulai sibuk kembali dengan komputer melongok draft skripsinya.