Contents
REALIVE
BAB 3: Perihal Nama dan Kisah yang Terlupakan
Ketika takdir menjalankan perannya, sering sekali manusia dibuat tertatih-tatih untuk bisa membiasakan diri. Perbedaan kenyataan dengan harapan sering sekali membuat keadaan yang sudah runyam menjadi semakin tidak keruan. Seperti pagi ini, misalnya, saat daftar panjang pekerjaan yang seperti tidak pernah berkurang, harus dialihkan demi titah Pak Lurah untuk berkumpul di balai desa.
Tempat sempit dengan dinding yang separuhnya masih berupa anyaman bambu itu terlihat penuh sesak. Sementara warga yang hadir saling berlomba menggumamkan entah apa, menciptakan dengungan mirip lebah yang semakin lama semakin tidak jelas.
Bastian yang ikut datang bersama Antoni dan teman-teman lain berusaha menyelinap ke depan saat mendengar suara krusek-krusek dari pelantang suara yang dipegang kepala desa. Setelah memberikan sambutan yang terasa dibuat-buat, Pak To, selaku Kepala Desa mengenalkan para mahasiswa dan mahasiswi yang baru tiba selepas subuh tadi.
Bastian yang mengintip sambil berjinjit di antara warga yang saling impit, memekik pelan saat merasakan lengannya ditarik cukup kuat. Dirinya yang hampir jatuh terjengkang langsung mengomel tidak jelas saat menyadari siapa yang menarik tangannya.
“Mau ke mana?”
Antoni yang begitu bersemangat terus menarik tangan Bastian. Tidak peduli bahwa sang pemilik mulai meringis kesakitan. Tarikan itu baru merenggang saat tubuh mereka berada di barisan depan. Keduanya langsung berjongkok dan mengamati deretan orang-orang dengan jas warna krem di hadapan mereka.
“Lihat! Benar, kan? Orang kuliahan itu keren.”
Bastian hanya terdiam, tidak berniat membalas ucapan Antoni. Sepasang matanya fokus mengamati wajah-wajah muda di depan sana yang tersenyum, entah pada siapa.
Orang kuliahan? Apanya yang keren? Mereka sama seperti anak sekolahan pada umumnya, kok. Bastian menatap dengan wajah datar, menggumam tidak jelas.
Setelah Pak Lurah selesai mengenalkan para mahasiswa, satu per satu barisan berjas yang berjumlah sepuluh orang itu menjelaskan program-program yang akan mereka jalankan selama KKN. Program-program yang katanya bisa membantu menyejahterakan kampung.
“Bas ....”
“Apa?”
“Kamu paham program-program mereka?”
“Sitik[1].”
“Kamu yang cerdas saja hanya paham sedikit, bagaimana dengan warga kampung, ya?”
“Hush! Warga kampung kita pinter-pinter, lo.”
“Sok tahu.”
Bastian tertawa sambil menatap Antoni. Pertemanan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun itu sedikit banyak membawa pelajaran berharga bagi Bastian.
Bastian masih ingat saat beberapa orang mulai mempertanyakan nama ia dan Antoni yang katanya tidak cocok diucapkan oleh lidah ndeso[2]. Ia hanya tertawa dan menganggapnya angin lalu. Namun, entah kenapa hal itu tibatiba kembali mengganggu pikirannya.
Bastian tahu dari Emak jika nama “Bastian” itu pemberian dari kedua orangtuanya yang tinggal di ibu kota. “Bastian” berarti memuja. Nama itu dipilih saat sang Ayah sedang tergilagila kepada Ibu. Bastian sempat tertawa mendengar cerita Emak. Bastian berasumsi bahwa dasar kedua orangtuanya dalam memilih nama itu sepele sekali.
Sementara Antoni pernah bercerita bahwa nama “Antoni” mulanya adalah nama sang Ayah yang sudah lama meninggalkannya. Ayah Antoni yang juga bernama Antoni itu kabur saat diminta untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya yang tidak senonoh dan membuat kekasihnya hamil.
Kejadian itu katanya sempat membuat kampung geger dan menolak untuk menerima pendatang dari kota. Orang-orang kampung menganggap bahwa orang kota itu pembawa petaka. Asumsi sembarangan yang diucapkan begitu saja semakin dikuatkan saat Antoni lahir. Sang kekasih alias ibu kandung Antoni yang sejak awal sudah sangat tertekan, akhirnya memilih untuk bunuh diri usai melahirkan. Kejadian mengerikan ini sempat membuat kampung diliputi perasaan mencekam dalam kurun waktu lima tahun lamanya.
“Bas, peningkatan keterampilan itu misalnya seperti apa, ya?” tanya Antoni. Bastian yang sedang melamun seketika terkejut. Ia tidak menduga bahwa sejak tadi Antoni ternyata menyimak pembicaraan di depan sana dengan cermat.
“Coba tanya, Ton.”
“Isin aku.”[3]
“Malu bertanya sesat di jalan, lo.” Bastian menimpali sambil menggerakkan alisnya turun naik, menggoda Antoni.
“La, ini ndak lagi jalan, kok. Lagi duduk,” balas Antoni sambil tertawa cukup keras.
Suasana tiba-tiba hening. Di depan sana, seorang mahasiswa yang memegang pelantang suara sedang menatap ke arah mereka.
“Coba yang kaus biru, namanya siapa, Mas?” Antoni langsung gemetar. Ditariknya tangan Bastian untuk meminta bantuan.
“Jawab saja,” ucap Bastian lirih.
“Antoni, Kak.”
“Oke, Mas Antoni. Apakah Anda punya keterampilan khusus? Atau hal-hal khusus yang disukai?”
“Keterampilan khusus itu seperti apa?” tanya Bastian sambil mengangkat tangan.
Perhatian sang mahasiswa yang tadi tertuju pada Antoni kini beralih menatap Bastian. Dipandanginya Bastian cukup lama sebelum akhirnya menjawab.
“Keterampilankhusus merupakanketerampilan yang dimiliki individu yang hanya di gunakan sebagai sarana atau fokus untuk mengembangkan bakat,” ucap mahasiswa itu sambil menatap Bastian. Sementara yang ditatap hanya menganggukangguk pura-pura mengerti.
***
“Selamat siang, Pak.”
Bastian yang sedang asyik termenung sambil menatap para karyawan yang lalu-lalang seketika tersentak dan menoleh kaget. Di belakangnya seorang resepsionis karyawan bagian tersenyum lalu membungkukkan badan.
“Ya, ada apa?”
“Tadi sekretaris Anda menghubungi dan menyuruh Anda kembali ke ruangan.”
“Ah, katakan saja bahwa saya sedang bersenang-senang,” timpal Bastian.
“Maaf, Pak. Saya hanya menyampaikan. Kalau begitu saya permisi dulu.”
Setelah karyawannya pergi, Bastian segera keluar dari ruangan besar yang dijadikan sebagai tempat produksi. Tak lama, akhirnya Bastian memutuskan untuk kembali ke ruangannya setelah merasakan firasat yang aneh.
“Ada apa?” tanya Bastian saat melewati meja sekretarisnya.
“Anda ditunggu seseorang.”
“Siapa?”
“Pimpinan The Moon, Bapak Antoni Jaya.” Bastian terdiam. Antoni Jaya, ya ....
***
Perkenalan mahasiswa yang dilanjutkan dengan penyuluhanpenyuluhan tentang peningkatan kualitas daerah itu masih terus berlanjut. Bastian dan Antoni yang kembali berada di antara kerumunan mulai merasa bosan. Bagi mereka semua ucapanucapan yang didengar terasa seperti pidato kepala sekolah saat upacara bendera, panjang dan susah dipahami.
“Bas, pulang, yuk!” Antoni yang mulai kehilangan semangat kembali menggeret tangan Bastian.
“Ini belum selesai.”
“Biarin!” Antoni terus menarik tangan Bastian dan menyelinap ke belakang kerumunan. Langkahnya berhenti saat tiba di bagian belakang balai desa yang lengang.
“Kok berhenti?” tanya Bastian bingung melihat tingkah
Antoni.
“Sebenarnya aku masih penasaran. Orang-orang kota itu mau ngapain ke sini.” Antoni menoleh ke kanan, menatap kerumunan dari tempatnya berdiri.
“Maksudnya?”
“Bukankah warga kita antipati dengan orang kota? Lalu kenapa sekarang sangat antusias? Mereka ndak dibayar untuk melakukan itu, kan?”
“Hush! Omonganmu, Ton. Jangan berprasangka buruk, ndak baik.”
Bastian menatap kerumunan. Kepalanya ikut berpikir dan menduga-duga, kapan tepatnya kebencian yang dulu terasa seperti tembok tebal itu akhirnya runtuh.
Yah! Ada satu potongan cerita yang terlupakan oleh mereka dan barangkali juga oleh warga kampung. Potongan kisah hitam putih yang pernah dibawa oleh laki-laki dari kota dan berhasil mengubah cara pandang warga kampung.
Potongan kisah yang pernah memecah belah dua bocah yang kini sedang menatap ke arah kerumunan warga yang antusias bertanya. Kisah tentang laki-laki yang menyamar sebagai orang gila.[]
***
[1] “Sedikit.”
[2] Kampungan.
[3] “Malu aku.”