Try new experience
with our app

INSTALL

REALIVE 

BAB 2: Bastian dan Antoni

Barangkali, masa kecil adalah masa-masa paling mahal di antara seluruh perjalanan waktu yang dilalui manusia. Pada masa itu hampir setiap detik kehidupan dipaksa untuk selalu tertawa bahagia. Menikmati apa yang ada, melakukan apa saja, menertawai siapa saja, tanpa peduli tentang imbas dari apa yang mereka lakukan. Masa kecil adalah masa saat manusia bisa terbang bebas dan lepas.

Begitu juga yang terjadi pada Bastian dan Antoni. Dua bocah kurang beruntung yang dipertemukan oleh takdir itu selalu menjalani hari-hari mereka dengan bahagia. Setiap pagi, keduanya berangkat sekolah bersama teman-teman mereka, berjalan beriringan melewati pematang sawah, jembatan, jalan setapak hingga tepi perkebunan tebu dan cokelat. Sesekali mereka bercanda sambil melemparkan guyonan-guyonan receh yang kompak membuat mereka tertawa bersama.

Saat di sekolah, mereka sering bermain gobak sodor di halaman yang dipenuhi rumput, jika tanah sedang becek, mereka memilih bermain petak umpet yang selalu membuat sang penjaga kewalahan dan dipenuhi gelepot, atau sekadar bermain kelereng di halaman belakang sekolahan untuk mengisi waktu. Permainan-permainan seru itu baru berakhir saat bel panjang menggema.

Lalu sepulang sekolah, mereka biasanya menyusun rencana bermain sambil berjalan pulang. Permainan yang sering mereka lakukan sepulang sekolah adalah mencari belalang di kebun-kebun milik warga. Belalang-belalang hasil tangkapan dimasukkan ke botol bekas air mineral yang sudah dilubangi. Nanti setelah sampai di rumah, belalang-belalang itu digoreng dan dijadikan lauk untuk makan siang.

Namun, siang itu Bastian hanya duduk termenung di samping dipan bambu. Pandangannya sayu menatap pekarangan yang dipenuhi pohon tebu.

“Kenapa kamu?” tanya sebuah suara.

Bastian menoleh lalu menatap bibi dari pihak Ibu yang dipanggilnya dengan sebutan Emak. Emak adalah orang yang merawat Bastian sejak kecil. Saat Bastian berumur dua tahun orangtuanya yang tinggal di kota terpaksa menitipkan dia kepada Emak karena alasan ekonomi sedang sulit.

Emak kebetulan belum punya anak, setuju untuk membantu merawat Bastian dan menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Meski Emak terkadang suka marah-marah, Bastian tidak pernah membenci wanita itu. Justru sebaliknya, kasih sayang untuk Emak semakin berlimpah.

Ndak³ apa-apa, Mak.” Bastian menghela napas, lalu membenamkan kepalanya di antara kedua lutut yang dinaikkan ke atas kursi.

“Kalau ndak apa-apa, kok, tumben ndak main?”

“Lagi ingin di rumah aja,” ucap Bastian seraya bangkit sembari menghela napas berat. Ia melangkah masuk menuju kamarnya dan mengunci pintu.

Sebenarnya Bastian bukan tidak ingin bermain. Ia hanya sedang pusing memikirkan tugas sekolah yang tadi diberikan guru. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, sang guru  memberikan pekerjaan rumah untuk menggambar wajah Ibu, lalu menuliskan pengalaman yang paling berkesan dengan sosok pemilik surga di telapak kakinya itu.

Saat itu juga Bastian merasa bingung sekaligus sedih. Ia berjalan pulang sendirian, lalu duduk di atas rumput saat melewati kebun, memikirkan wajah Ibu yang tidak pernah diingatnya lagi. Tiba-tiba Bastian tersadar dari lamunan. Ia bergegas keluar dari kamar lalu berlari menuju rumah Antoni.

Antoni sedang mengangkati kayu bakar saat Bastian datang. Bocah berkulit gelap dengan rambut bergelombang itu terkejut saat melihat Bastian berlari-lari mendekat ke arahnya.

“Ada apa, Bas? Kenapa lari-lari?” tanya Antoni bingung.

“Tugas ... hah, tugas Bahasa Indonesia bagaimana?” tanya Bastian sambil mengatur napas.

“Ya ndak gimana-gimana,” balas Antoni sambil mengerutkan dahi.

“Kamu bisa menggambar ibumu?”

“Kemungkinan bisa. Nenek punya fotonya.” Antoni menimpali dengan nada santai.

“Kalau cerita …”

“Ceritanya ngarang saja. Toh guru juga ndak akan tahu.”

Bastian terbelalak kaget. Mengarang? Bagaimana caranya? Selama ini ia selalu bersikap jujur dan apa adanya. Lalu bagaimana caranya mengarang? Akhirnya Bastian pulang ke rumah dan kembali merasa kecewa saat bertanya kepada Emak perihal wajah ibunya.

“Ndak tahu, lupa.” Jawab Emaknya itu, singkat, padat, dan menyayat.

Selain persoalan tentang ibu yang menemukan jalan buntu, muncul permasalahan lain yang membuat Bastian tambah putus asa. Ia terdiam menatap sikap Emak yang tiba-tiba berubah dingin. Emak adalah orang yang selalu Bastian percaya. Lewat mulut Emak pula Bastian memercayai bahwa setiap orang berhak untuk bermimpi dan mengubahnya menjadi nyata.

Itu sebabnya Bastian merasa sangat sedih saat melihat Emak sering menganggapnya tidak ada, terlalu fokus dengan pekerjaannya sebagai penjahit hingga terkadang lupa bahwa ada anak yang merindukannya, membutuhkan perhatiannya. ***

Suatu hari saat libur panjang menjelang kenaikan kelas, Bastian dan Antoni, yang akan segera naik ke kelas lima, merencanakan sebuah kegiatan. Mereka mulanya berniat mengadakan kemah di kawasan kebun singkong milik nenek Antoni yang terletak cukup jauh di tepi hutan, tetapi ternyata tidak mendapat restu.

“Daripada kemah-kemahan yang nanti dikira ndak ada kerjaan lain, mending bersih-bersih pekarangan, tuh!” ucap Emak sambil berkacak pinggang.

Bastian bete begitu juga dengan Antoni. Sebagai gantinya, mereka berlari ke lapangan dan merebahkan tubuh di sana.

“Bas, kamu punya cita-cita?” 

“Punya.”

“Apa?”

“Aku ingin ...”

***

Saat sudah masuk SMP, Bastian dan Antoni masih kerap bermain bersama. Hanya saja, jenis permainan yang mereka mainkan sudah tidak seperti dulu. Mereka tidak lagi main petak umpet, gobak sodor, balapan perahu dari daun saat arus sungai sedang deras, atau sekadar menggelindingkan kelereng.

Mereka kini lebih sering bermain layang-layang, menangkap ikan di sungai yang mulai mengering di musim kemarau, atau menjelajah kebun sembari mencari kayu bakar dan mengumpulkan buah ciplukan.(5)

“Ton!”

“Hm?”

“Katanya besok Minggu ada orang kota berkunjung ke kampung kita.”

“Orang kota? Ngopo?[1] Tanya alamat?” tanya Antoni sambil menarik daun pisang yang sudah mengering untuk mengikat kayu bakar yang dikumpulkannya.

“Hush! Ngawur.[2]

“Terus?”

Sik[3], apa, ya, namanya? Lupa aku.”

Ra genah!”[4] umpat Antoni dengan nada sewot. Perasaannya sedang kesal karena menyadari sandal jepit yang dipakainya tiba-tiba putus.

31

“Oh, KKN. Iya, KKN.”

“KKN?”

“Iya. Kuliah Kerja Nyata, kalau ndak salah.”

“Maksudnya orang kota kuliahnya pindah ke kampung kita?”

Yo mbuh[5]. Tadi pagi aku dengar Emak ngobrol sama Pak Lurah. Katanya disuruh datang ke balai desa. Penyuluhan ... penyuluhan gitu.” Bastian menjelaskan sambil mematahkan ranting panjang yang baru saja didapatkannya.

“Jadi anak kuliahan enak kali, ya. Keren.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Antoni. Bastian, yang sedang mengencangkan simpul pada kayu bakarnya, menoleh sekilas lalu tersenyum sambil mengangguk.

“Tapi, orang kayak kita apa bisa kuliah? Bisa masuk SMA saja kayaknya sudah bejo[6] banget.” Antoni memasang wajah sayu, mematahkan harapannya sendiri.

“Siapa tahu ... ada rezeki nyasar[7] dari langit,” timpal Bastian sambil mendongak.

“Rezeki dari langit gundulmu!” seru Antoni sambil melempar kayu kecil yang baru saja digunakannya untuk menggaruk punggung. Setelah kayu yang dikumpulkan sudah cukup banyak, keduanya lalu berjalan beriringan menuju rumah masing-masing.

Sementara itu, di atas sana, sebuah cerita besar baru saja selesai dituliskan oleh langit. Cerita yang pelan-pelan akan mengubah nasib mereka.[]

***
 

[1] “Orang kota? Kenapa? ... ”

[2] “Hush! Sembarangan.”

[3] “Sebentar ... ”

[4] “Tidak jelas!”

[5] “Ya tidak tahu ... ”

[6] beruntung.

[7] tersesat.