Contents
BALAKOSA
Bab 3: BERITA UNTUK KUMALA
Kicauan burung dan sinar mentari pagi membangunkan pasangan ini dari tidur lelap mereka. Hanggono melihat jam, pukul 9.30 pagi. Mereka pulas tertidur setelah beberapa hari yang berat. Kumala bangkit lebih dulu. Setelah mendaratkan ciuman pagi di kening Hanggono, ia beranjak ke dapur. Hanggono masih menikmati sisa-sisa kantuknya sambil menatap ke luar jendela. Langit terlihat jernih dan awan tampak begitu dekat. Apa yang akan aku lakukan dari sekarang? pikirnya. Siang ini mereka ada janji untuk bertemu dengan Pak Kamajaya. Tapi jika dipikir-pikir ia sendiri baru bertemu dengan pria ini kemarin. Semua kontak lewat istrinya. Ada hubungan apa mereka?
Bau wangi kopi diseduh merebak di rumah sempit ini. Hanggono tidak tahan untuk tetap tiduran. Ia bangkit menuju dapur. Di sana Kumala sedang menghangatkan makanan. Hanggono memandangi istrinya. Inilah berumah tangga yang sebenarnya. Senyumnya mengembang. Ada rasa hangat dan kebahagiaan walaupun kondisi mereka serba tidak menguntungkan. Ia cuci muka dan duduk di depan meja kecil di dapur, tempat Kumala meletakkan secangkir kopi dan sisa makanan semalam di sana.
“Tadi malam itu tidurku paling nyenyak kayanya seumurumur. Sumpah, enggak berasa tiba-tiba udah pagi,” ucapnya sambil menyeruput kopi.
“Pantas, semalam aku cubit-cubit kamu enggak bangun.” Kumala ikut duduk di kursi.
“Ngapain kamu cubit-cubit? Bukannya tidur.”
“Habisnya dingin, mau minta peluk,” jawab Kumala manja.
“Suruh siapa, tidur cuma pakai daster?”
“Kan, biar gampang kalo lagi mau.”
Hanggono tertawa kecil. Sambil bercanda mereka menghabiskan sarapan seadanya.
Setelah selesai ritual pagi, Hanggono ke luar rumah. Masih ada beberapa jam sebelum tiba waktu bertemu Pak Kamajaya. Ia mengelilingi pekarangan sekitar rumahnya. Ke mana pun mata memandang, hanya rumah mereka satu-satunya di situ. Di seberang rumah mereka terbentang tanah luas yang berbatu-batu, nyaris tidak ditumbuhi apa pun selain rumput. Di kejauhan ia bisa melihat Gunung Agung berdiri gagah. Agak ke kiri sedikit, tampak asap-asap dari pabrik sementara penggalian pasir di kaki gunung. Di sebelah kiri, terdapat rumah jalan buntu yang masih belum digarap. Di bagian belakangnya, banyak pohon-pohon berdiri berjajar hingga jauh ke dalam hutan. Sebelah kanan jalan setapak menuju perumahan penduduk.
Hanggono heran, kenapa rumah ini yang dipilihkan untuk mereka. Apa cuma ini yang tersedia? Puas jalan-jalan sekeliling rumah ia kembali. Kumala sedang membongkar-bongkar koper dan menyusun barang-barang bawaan mereka yang tidak seberapa. Beberapa baju bahkan masih lembap.
“Setelah dari rumah Pak Kamajaya, kita ke pasar. Mau?”
“Boleh, sekalian ada beberapa barang yang harus kubeli.”
“La, aku, mau tanya sesuatu. Boleh, enggak?”
“Ya boleh toh. Mas, mau tanya apa?”
“Kamu kenal Pak Kamajaya di mana?”
“Panjang ceritane. Sini, kamu duduk. Tak ceritain.”
Hanggono duduk di ranjang. Kumala membereskan sisasisa barang lalu duduk di depan suaminya.
“Kamu tahu, kan aku yatim piatu. Jadi, kedua orangtuaku aslinya dari Jawa Tengah, Semarang. Kakekku dari bapak berasal dari Bali, nenek orang Jawa. Cuma mereka meninggal saat bapak masih kecil. Karena ada kerjaan orangtuaku pindah dan menetap di Bali. Aku lahir di sini. Dulu kami tinggal di Denpasar. Nah, Pak Kamajaya ini dulu tetangga sebelah rumah. Namanya Gede Agung Putu Kamajaya dan istrinya Ni Gusti Made Sarasvati. Aku manggil dia Gung Aji, yang artinya ‘Bapak’.. Dia dan istrinya baik sekali. Mereka sangat akrab dengan keluarga kami. Saat orangtuaku kerja, aku dititipkan ke rumahnya. Mereka tinggal berdua saja karena tidak punya anak. Jadi aku udah dianggap seperti anak mereka sendiri. Saat orangtuaku kecelakaan, aku tinggal dengan mereka. Saudara-saudara yang di Jawa enggak ada yang mau mengurusku.”
Pandangan Kumala menerawang. Hanggono memegang tangan istrinya.
“Yah, singkat kata dengan sedikit warisan keluarga, aku hidup dengan mereka. Saat aku SLTP, akhirnya mereka punya anak sendiri. Aku memutuskan tinggal di indekos saat masuk SMU. Begitu kuliah, aku pindah ke Malang. Saat aku indekos, mereka baru pindah ke Karang Asem sini. Aku berutang banyak kepada mereka. Banyak nasihat dan ilmu Pak Kamajaya dan istrinya yang kujadikan pegangan hidupku. Kalau enggak ada mereka, entah udah jadi apa aku waktu itu. Sendiri di tempat asing.”
“Aku dengar Pak Kamajaya kalau bicara sama kamu manggilnya Yu, itu apa, kependekan dari nama depan kamu Ida Ayu?”
“Ya, itu panggilan singkatan untuk namaku, Ida Ayu disingkat Dayu atau Yu saja. Itu semacam panggilan di Bali.” terang Kumala.
Hanggono terdiam mendengar penjelasan istrinya. Ternyata masih ada hal yang belum dia ketahui tentang wanita yang ia cintai ini. Ia menarik Kumala untuk duduk di pangkuannya. Keduanya bertatapan lama. Ia mencium kening istrinya beberapa kali, kemudian memeluknya erat. Beberapa menit mereka tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Masingmasing punya pemikiran tersendiri yang mungkin belum saatnya dibagi.
Lalu tangan Hanggono turun dan meremas bokong istrinya.
Sontak semua lamunan itu buyar.
“Heh! Nakal, ya. Mau ngapain?”
“Ya, nganu ....” Hanggono tersenyum tengil.
“Enggak! Udah jam berapa ini? Ditunggu Pak Kamajaya.”
“Sebentar aja kok, masih sempat iki.”
“Sebentar-nya aku, karo kowe ki bedo. Enggak mau. Aku belum mandi.”
“Ya udah, sini aku temanin mandi.”
“Enggak, enggak mauuu ....”
***
Siang itu keduanya menuruni jalan setapak yang menghubungkan rumah mereka dengan penduduk sekitar. Sepanjang jalan, tidak ada satu orang pun yang mereka temui. Namun, mereka pikir ini bukan suatu yang aneh, karena memang rumah mereka terletak di jalan buntu. Merek terus melangkah sambil menikmati kicauan burung liar dari hutan di kiri-kanan mereka.
Setelah beberapa waktu, akhirnya rumah penduduk pertama terlihat. Seorang wanita yang sedang menjemur pakaian, terkejut melihat mereka turun dari jalanan atas. Matanya terpaku mengikuti mereka yang terus mendekat.
“Mau ke mana, Cai?” tanyanya saat kedua orang itu sudah dekat.
“Ke rumah Pak Kamajaya. Bu,” jawab Kumala.
“Oh, kalian baru dari atas sana?” perempuan itu bertanya lagi dengan pandangan menyelidik.
“Iya, kami baru pindah, Bu, tinggal di atas.”
“Di sebelah mana?”
“Itu, di rumah bekas mandor lama.”
“Hah, mandor lama?”
“Iya.”
Si ibu tampak bingung mendengar ucapan Kumala. Tapi ia hanya mengangguk-angguk dan mempersilahkan pasangan itu melanjutkan perjalanan. Kumala dan Hanggono saling pandang, tidak mengerti kenapa ibu itu tampak seperti terkejut mendengar tempat tinggal mereka. Semakin lama akhirnya rumah-rumah semakin banyak. Setelah beberapa kali belokan, akhirnya mereka tiba di tujuan.
Bu Sarasvati menyambut mereka dan mempersilahkan keduanya duduk di ruang tamu. Kumala langsung berinisiatif untuk membantu di belakang. Hanggono memperhatikan keadaan rumah dengan saksama. Rumah ini tidak jauh beda besarnya dengan rumah yang ia tinggali. Perabotnya sederhana tapi bernuansa etnik khas Bali. Di satu sudut ada tempat untuk sembahyang lengkap dengan dupa, sesajen dan kain bercorak papan catur. Sudut itu membuatnya teringat pada satu tempat serupa di rumah keluarganya. Hanya saja sesajen di rumahnya dibuat dengan tujuan yang berbeda.
Cukup lama ia menunggu hingga Pak Kamajaya datang. Pria beruban tipis itu tampak agak lelah saat turun dari mobil tuanya. Ia menyambut Hanggono dan permisi ke kamarnya untuk berganti pakaian. Lalu, Kumala memanggilnya untuk makan siang di ruang tengah. Kemarin ia tidak menyadarinya, betapa hangat suasana makan di rumah Pak Kamajaya ini. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sekalipun di rumah keluarganya. Di sini makananannya sederhana, tapi mereka sangat menikmatinya dan bisa makan sambil tertawa-tawa.
Setelah makan ia dan Pak Kamajaya duduk di ruang depan.
Mereka bicara santai sambil mengisap rokok.
“Jadi apa rencana kamu berikutnya?”
“Saya mau cari kerja, Pak.”
“Kerja apa?”
“Apa pun, yang penting enggak jauh-jauh dari rumah.” “Kalau kerja angkut-angkut mau? Kamu bisa bawa mobil?”
“Angkut-angkut, maksudnya kuli, Pak? Bisa, saya bisa bawa mobil.”
“Iya, ini penggalian daerah sini, kemarin lagi cari tambahan sopir. Saya bisa kenalin kamu ke pimpinan proyeknya kalau kamu berminat. Jangan harap gajinya akan besar. Tapi, setidaknya untuk hidup di sini, cukup lah.”
“Sekarang saya sih apa saja mau Pak, yang penting ada pemasukan.”
“Ya, apalagi sebentar lagi kamu akan punya anak.” “Kok, Bapak tahu?” Kening Hanggono mengernyit.
“Ya, udah nikah kok masa enggak mau punya anak.”
“Kirain, Bapak tahu kalo Mala sudah hamil.”
“Siapa yang hamil?” Kumala menyela sambil membawa cemilan.
“Ya, kamulah, Yu, siapa lagi ....” jawab Pak Kamajaya.
“Aku enggak merasa hamil kok. Gung Aji ngarang nih.”
“Masa aku ngarang? Suamimu sendiri yang bilang, loh.”
“Ngarang tuh dia, Gung Aji. Tahu dari mana? Emangnya dia cenayang?”
Hanggono hanya bisa cengengesan. Tidak mungkin ia membocorkan dari mana dia tahu kepada semua orang di sini. Obrolan pun berlanjut dengan cerita-cerita ringan hingga sore menjelang.
Kumala dan Hanggono meminjam mobil Pak Kamajaya untuk belanja ke supermarket. Saat membeli beberapa pakaian, tanpa sadar mereka melewati bagian baju bayi. Hanggono terpaku melihat model-model baju bayi yang lucu. Pikirannya menerawang. Sebentar lagi ia akan jadi ayah.
“Bikin dulu anaknya, Mas, baru liatin baju-bajunya.” Mala menyadarkan Hanggono dari lamunannya.
“Oh, anaknya udah ada kok,” jawab Hanggono tanpa sadar. Kumala menarik lengan suaminya.
“Maksudmu apa sih? Anak siapa?”
“Ya anak kitalah, masa anak orang lain.”
“Yang hamil siapa? Wong aku baik-baik aja. Belum ada tanda-tandanya.”
“Nanti aku ceritain. Yuk, kita bayar dulu. Kamu udah ambil semua yang kita perlukan?” Hanggono berlalu tanpa menatap wajah istrinya.
Kumala merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Jantungnya langsung berdegup-degup kencang. Ini pasti ada sangkut pautnya lagi dengan keluarga suaminya. Mereka pulang tanpa bicara sepatah katapun. Bahkan saat berjalan ke rumah, tidak ada yang mau buka suara duluan. Keheningan mereka bercampur dengan kesunyian suasana menjelang malam. Perempuan yang tadi pagi bertemu mereka, melihat pasangan itu berjalan ke atas. Ia bergidik sendiri membayangkan ada orang tinggal di sana.
Kumala memasak makan malam, sementara Hanggono memasang lampu dan gembok di beberapa pintu. Setelah beres-beres, mereka makan dalam diam. Setelah makan Kumala membersihkan meja. Saat ia akan masuk kamar, tangannya dipegang oleh Hanggono.
“Ada yang mau aku ceritakan kepadamu.”
Keduanya kembali duduk berhadapan di meja makan. Hanggono mencoba mencari kata yang baik untuk memulai ceritanya.
“Kamu tahu, kan kenapa kita harus pergi dari rumahku? Ternyata akibatnya lebih besar daripada yang aku perkirakan. Bukan hanya aku yang menjadi incaran, tapi juga dirimu. Saat kita di kapal, saat aku pasrah dan menerima nasib, aku memohon pada makhluk itu agar kamu jangan diganggu karena kamu tidak ada hubungannya dengan masalah keluargaku. Tetapi, dia tidak mau karena ... karena kamu, kata mereka sedang mengandung bayi kita.”
“Tapi bagaimana mungkin? Aku belum merasakan perubahan apa pun.” Kumala bersikukuh dengan pendapatnya.
“Aku juga tidak tahu, tapi jelas sekali iblis wanita itu mengatakannya padaku. Aku rasa tidak mungkin mereka sengaja mencari alasan seperti itu hanya untuk membuatmu terlibat. Kamu tidak ada hubungannya dengan semua ini.”
Kumala hanya diam mencoba mencerna kata-kata Hanggono. Ia hamil. Seharusnya ini menggembirakan. Tapi kehamilan ini justru membahayakan nyawanya. Apa salah dia dan bayinya? Gila! Keluarga Sastrowiharjo memang gila.
“Aku merasa Pak Kamajaya juga tahu tentang kehamilanmu.
Apa dia punya kemampuan juga?”
“Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Dari ucapannya tadi siang. Dia bisa tahu kamu hamil, padahal aku tidak bilang apa pun. Kamu bilang alasan sebenarnya kita pindah kemari?”
“Tidak, kenapa?”
“Aku juga merasa, dia tahu yang sebenarnya.”
Kumala tidak menjawab. Dia masih tidak percaya bahwa ia akan menjadi ibu. Tapi, jika apa yang diceritakan Hanggono benar, Pak Kamajaya adalah peluang terbesar mereka untuk bisa hidup selamat di pulau ini.
Sementara itu dari dalam hutan, makhluk-makhluk berwujud hitam besar berjalan bergerombol, perlahan turun dari puncak gunung.[]