Try new experience
with our app

INSTALL

BALAKOSA 

Bab 2: SEGALA HAL BARU

Hanggono dan istrinya duduk di sofa sebuah ruangan yang cukup luas. Badan mereka basah dan hampir semua isi koper dan tas mereka juga basah. Untungnya barang-barang penting terbungkus plastik. Petugas pelabuhan meminjami mereka handuk untuk sekadar mengeringkan badan. Selain mereka ada beberapa korban lain yang tidak terluka parah juga berada di sana. Keduanya masih shock dengan apa yang mereka alami beberapa jam lalu. Tidak ada percakapan di antara pasangan ini. Tidak ada yang mau membahas apa yang baru saja terjadi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan sendiri. Kelelahan yang menumpuk dari mental dan fisik membuat mereka tertidur di kursi ruang tunggu.

Silaunya cahaya matahari pagi dari celah jendela membangunkan Hanggono dari mimpi. Sepersekian detik matanya beradaptasi, sebelum ia tersadar bahwa semua ini nyata. Kejadian semalam, pelariannya, dan tempat ini, yang sama sekali asing baginya. Ia melihat Kumala masih terlelap dengan bersandar di bahunya, lelap sekali seperti menikmati mimpi. Dengan perlahan ia meletakkan kepala istrinya pada handuk pinjaman dari petugas yang ia tumpuk seperti bantal dan berdiri. Ia berjalan ke pintu dan menikmati hangatnya matahari pertamanya di Pulau Dewata. 

Jam tangannya menunjukkan pukul 06.10 tapi di luar matahari sudah terang. Hanggono sadar dan memajukan jamnya satu jam lebih cepat. Jam segini, pelabuhan sudah mulai ramai. Bus-bus antarkota dan truk-truk pengangkut barang serta mobil-mobil pribadi yang ingin menyeberang sudah memadati area pelabuhan. Tidak ada yang aneh dari situasi ini. Kejadian semalam sepertinya hanya dianggap kecelakaan biasa oleh petugas. Tidak ada yang tertuduh karena ini hanyalah kecelakaan karena “peristiwa alam”. Meskipun ada kerugian materi dan korban, ajaibnya tidak ada yang terluka parah. Walaupun tahu siapa pelakunya, tidak mungkin juga bagi Hanggono menjelaskan bagaimana mereka melakukannya. Ia bisa dianggap gila.

Meski tidak parah, beberapa orang dirawat di rumah sakit akibat “kecelakaan” tersebut. Sejumlah kendaraan rusak parah. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Cukup beralasan, karena jiwa yang diminta sebenarnya hanya milik Hanggono dan anak yang dikandung istrinya. Hanggono tersadar, ia belum menjelaskan hal ini kepada sang istri. Apakah Kumala tahu bahwa ia sedang mengandung? Tidak ada perubahan pada istrinya sesuai tanda-tanda kehamilan. 

Istrinya hamil, mereka berada di tempat yang sama sekali baru baginya. Tidak punya pekerjaan, tidak punya kenalan. Bagaimana ia akan menghidupi keluarga kecilnya. Pikiran ini terlintas di benak Hanggono. Namun, semua ini lebih baik daripada tetap di keluarga besarnya, ia akan memulai segalanya dari awal. Hanggono sudah bertekad untuk meninggalkan kehidupan lamanya apa pun yang terjadi, termasuk meniggalkan semua kemewahan yang seharusnya ia miliki. Usianya 25 tahun dan untuk pertama kalinya, ia berada jauh dari rumah. Tanpa ditemani pesuruh ayahnya, tanpa orang-orang yang biasa mengawalnya.

Sebuah tangan melingkari pinggangnya dari belakang dan memberikan sebuah pelukan hangat dan menenangkan. Diikuti kepala yang menempel di punggungnya.

“Kamu lihat apa?”

“Matahari pagi, ternyata di sini mataharinya beda.”

“Bedanya?”

“Mataharinya lebih terang karena dia jadi saksi awal kisah aku dan kamu di pulau ini.”

“Pagi-pagi kamu udah gombal.” Kumala mencubit pinggang suaminya.

“Habisnya, aku lapar dan kamu tidurnya nyenyak sekali. 

Aku yo ora tega bangunin bidadari tidur, nanti cantiknya luntur.” Kumala tertawa kecil mendengar gombalan suaminya. Tawa yang ia butuhkan setelah kejadian semalam. Pria dengan rambut acak-acakan ini tahu benar bagaimana membuatnya lupa akan masalah-masalahnya.

“Aku serius lapar, nih. Kita sarapan, yuk?”

“Oke, sambil jalan kita cari wartel ya, aku mau telepon Pak Kamajaya dulu. Mengabarkan kita sudah di Bali.”

“Sepertinya di depan ada. Kamu duluan ke sana. Aku bawa koper dan tas.” Hanggono membereskan barang-barang mereka.

Setelah melaporkan kondisi mereka yang cukup baik pada petugas, Hanggono berjalan ke pintu keluar. Angin pelabuhan berembus pelan menyambut Hanggono keluar dari ruang tunggu pelabuhan. Tangannya sibuk menarik koper menuruni tangga dan meyandang tas sekaligus. Ia menunggu Kumala keluar dari wartel. Lalu bersama mereka menuju penjual nasi campur yang ramai oleh para sopir dan calon penumpang. Warung ini terletak di area penjualan makanan atau pujasera. Selain nasi campur ada lagi beberapa penjual makanan lainnya. Semuanya padat dijejali pembeli. Sambil menunggu pesanan, Hanggono mendengarkan percakapan dua orang Bali dengan dialek yang asing di telinganya.

“Kau tahu? Semalam katanya, ada kapal oleng niki.” Pria pertama menyalakan sebatang rokok.

“Yang benar, Bli?”

“Serius. Katanya, gara-gara gelombang tinggi, sampai miring kapalnya. Orang-orang pada jatuh ke laut. Untung saja tidak ada yang mati.”

“Kok bisa ya, Bli? Tidak biasanya laut sini ada gelombangnya, kan?” tanya Pria dua sambil meminta korek untuk ikut menyalakan rokok.

“Itulah yang aneh. Kata salah satu petugas, ada penumpang melihat hantu di kapal itu.” Asap rokoknya mengepul dari selasela mulut saat pria satu yang kelihatannya lebih tua bicara.

“Ah jangan becanda lah, Bli. Tyang, kan mau tugas kapal itu nanti. Lagi pula apa hubungannya antara hantu dan gelombang pasang.”

Tiange, kan cuma dengar aja. Tidak perlu takut lah iba.”

Hanggono mendengarkan percakapan tersebut. Walau kurang jelas, tapi ia bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Apa lagi kalau bukan kejadian semalam. Kumala, yang mengerti apa yang dipikirkan Hanggono, menggenggam tangan suaminya itu dengan lembut. Hanggono menatap mata istrinya dan menghela napas. Ia sadar pergi ke sini untuk memulai sesuatu yang baru, tidak ada gunanya memikirkan hal yang telah lewat. 

Senyum keduanya merekah saat dua porsi nasi campur berisi sate lilit, kentang, urap dan sambal mampir ke depan mereka. Wanginya membuat perut meronta-ronta minta segera diisi. Rasanya unik di lidah Hanggono yang terbiasa dengan masakan jawa yang gurih. Pria asli Jawa Timur yang tidak terbiasa makanan pedas ini, bercucuran keringat saat menghabiskan makanan di depannya. Hal baru lainnya yang nikmat di pulau ini. 

“Gimana? Enak?”

Sedhep, tapi pedas sekali, enggak tahan aku.” Hanggono menghabiskan es teh manis ke tiganya.

“Enggak apa-apalah, sekali-sekali.”

“Takut mules, nih. Pak Kamajaya gimana?”

“Tadi sudah aku telepon, yang angkat anaknya. Katanya, bapak sudah jalan dari jam 6 pagi. Yah dari Karang Asem ke sini, tiga jam lagi baru sampai.”

“Lama sekali. Mau ngapain kita. Aku yo jadi ngantuk habis makan.”

“Balik lagi ke ruang tunggu aja. Kita tunggu di sana. Biar enggak cari-carian kalau Pak Kamajaya datang.”

“Aku ikut saja.”

“Aku bayar dulu, ya.” Kumala berdiri menuju kasir.

Hanggono melangkah dengan malas kembali ke ruang tunggu. Perutnya kenyang dan pikirannya kosong. Ia melangkah tanpa melihat kiri-kanan. 

“Awas!”

Sebuah teriakan dan tarikan pada lengannya menyadarkan Hanggono dari lamunan. Sebuah bus yang akan ke luar pelabuhan nyaris saja menabraknya. Hanggono terduduk di jalan dengan wajah pucat.

“Kamu kenapa, sih? Sudah diklakson-klakson, kok, masih tetap jalan. Enggak dengar apa?” teriak Kumala. Napasnya naik turun karena baru saja berlari dari tempat sarapan.

“Aku enggak dengar. Sumpah, aku enggak dengar.” 

“Masa, sih. Itu bus sing gedhe gitu masa enggak liat.”

“Kalau kamu enggak teriak, aku enggak tahubus itu klakson.”

Hanggono memeluk istrinya. Ini menyadarkannya, walau peristiwa semalam sudah berakhir, maut bisa mengincar kapan saja. Tapi kali ini ia yakin, ini adalah kesalahannya. Tidak ada unsur-unsur gaib di sini. Tidur hanya dua jam bisa jadi salah satu penyebabnya. 

Pelabuhan mulai penuh. Orang-orang dengan berbagai urusan berlalu-lalang melewati ruang tunggu. Hanggono terdiam menatap orang-orang yang berseliweran di depannya. Walau mengantuk, ia tidak bisa tertidur. Sementara Kumala sudah terlelap kembali tidak lama setelah mereka duduk di sini. Mengingat-ingat lagi ke belakang, ia beruntung sekali bisa bersama wanita sawo matang ini. Karena jika melihat kelakuannya dulu, mendapatkan wanita ini adalah mukjizat paling besar baginya. 

Ia mengelus-elus rambut sang istri tercinta.

“Mal, apa pun yang terjadi jangan tinggalkan aku, ya,” ucapnya pelan. 

Yang dituju hanya mendengkur halus menikmati lelapnya. Sebuah bayangan menghalangi cahaya di depannya. Hanggono menoleh. Seorang bapak-bapak usia 40-an dengan baju kemeja cokelat dan memakai udeng, berdiri di hadapannya.

“Ya? Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Kamu pasti Hanggono ya, suaminya Dayu Kumala?”

“Pak Kamajaya?”

“Benar.”

“Mal, Mal, sayang bangun. Pak Kamajaya sudah datang.”

***

Hanggono menikmati embusan angin Bali yang hangat. Matanya, tidak berhenti menikmati semua pemandangan indah yang tersaji. Sawah nan hijau, para gadis Bali yang sedang bercengkerama, dengan kebaya dan rambut terurai mereka. Suasana pagi yang santai, jauh dari kata hiruk pikuk. Semua yang ada di pulau ini, seolah berjalan dengan waktu yang lambat. Orang-orang bergerak tanpa terburu-buru. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, tapi kehidupan di Bali sepertinya baru saja akan di mulai. Warung-warung kecil baru mulai buka, sedangkan toko-toko besar masih tutup. Yang paling mencolok tentu saja berbagai bangunan khas adat Bali seperti candi mini, kain corak catur serta gapura-gapura yang unik.

Keindahan ini sejenak membuatnya lupa akan alasan mengapa ia dan istrinya berada di pulau ini. Mungkin, memutuskan untuk pindah ke sini bukanlah hal yang buruk. Kumala yang duduk di kursi penumpang belakang bercakapcakap dengan Pak Kamajaya yang menyetir. Mereka tertawatawa menggunakan bahasa Bali yang hampir tidak dipahami Hanggono. Perlahan pandangannya mulai meredup. Angin seolah meminta matanya untuk menutup. Kepalanya berat, kantuk mulai menguasai. Tidak lama, kepalanya terkulai di bangku. Semua lelahnya berkumpul memaksa untuk dilepaskan. Tubuhnya menyerah, meminta untuk diistirahatkan. Tidak berapa lama ia terlelap, antara sadar dan tidak, Hanggono melihat dirinya sendiri tertidur. Istrinya menatap ke depan tanpa bergerak. Pak Kamajaya juga menyetir dengan diam dan pandangan lurus ke depan.  Di luar, orang-orang berhenti bergerak. Binatang, tumbuhan, dan pepohonan tidak ada yang bergerak satu pun. Angin juga tidak terasa. Ia melihat ke luar, roda mobilnya bergerak tapi tidak maju sedikit pun. Lalu ia menyadari satu hal.  Semesta berwarna oranye. Semua benda yang ia lihat, mengeluarkan aura yang berwarna oranye. Ia melihat ke atas. Sebuah kubah oranye menyelubungi pulau ini dari batas laut hingga ke langit dan sampai sejauh matanya memandang. Di balik kubah, ia melihat ratusan sinar hitam dari berbagai arah menghantam, mencoba menembus tanpa hasil.

Tepat di bagian kubah di atas mobil mereka, sebuah sinar hitam menyerang titik yang sama. Terus-menerus tanpa jeda. Saat matanya terpaku pada sinar tersebut, Hanggono perlahan merasa tubuhnya melemah, menua. Ia tidak tahu waktu sudah berjalan berapa lama. Ia merasa sudah seperti berhenti bertahuntahun di titik yang sama, lama sekali. Ia melihat wajahnya di kaca spion, tampak seperti bapak-bapak berumur 40 tahun. Suara berderak keras datang dari langit, kubah itu perlahan retak. Hanggono pucat. Satu sinar hitam berhasil lolos dan langsung mengarah ke dirinya. Ia tidak bisa menghindar, tubuhnya kaku. 

Hanggono berteriak melolong, kesakitan, saat sinar tersebut menembus kepalanya. Rasanya panas, dan sangat pedih. Kepalanya seperti ditusuk ratusan paku secara bersamaan. Sakitnya tidak tertahankan hingga membuat tubuhnya terguncang-guncang. Kemudian, dia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya pada kesadaran.

Hanggono membuka mata. Ia melihat mata-mata penuh ketakutan menatap dirinya. Ia melihat sekeliling. Sadar mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di pinggir jalan. Ia melihat Kumala berbicara padanya dengan ekspresi khawatir. Namun, tidak ada suara yang bisa ia dengar. Telinganya berdenging. Hanggono meluruskan duduknya. Ia mengusap wajahnya yang penuh keringat. Perlahan dengingan itu hilang dan semuanya menjadi jelas kembali. Semua suara seperti berebutan masuk dalam indra pendengarannya.

“Kamu kenapa, Han? Sayang? Jawab aku!” Kumala berteriak-teriak panik.

“Emang kenapa? Kok, kamu panik gini? Apa yang terjadi?” Hanggono kebingungan melihat ekspresi istrinya.

“Kamu enggak sadar? Kamu menjerit keras sekali! Mata kamu putih! Aku pikir kamu ‘diserang’ lagi! Aku tuh takut sekali.” Kumala terisak.

“Aku enggak apa-apa kok, ojo nangis wis.” Ia mengusap-usap kepala Kumala. 

“Mimpi buruk, ya?” tanya Pak Kamajaya.

Hanggono hanya mengangguk.

“Sebentar lagi sampai, kalian bisa istirahat.” Ia menyalakan mobil dan melanjutkan perjalanan.

“Udah, gak apa-apa kok, aku tadi cuma mimpi.” Hanggono berbisik di telinga istrinya.

Walau meyakinkan diri itu cuma mimpi, tapi Hanggono tetap terpikir apa artinya. Mimpi ini terasa sangat nyata. Karena rasa sakit di kepalanya masih tersisa. Setidaknya mimpi tadi membuat rasa kantuknya hilang tak berbekas. 

Mobil memasuki sebuah perkampungan di daerah Karang Asem, di dekat kaki Gunung Agung. Hawa gunung yang sejuk mengingatkan Hanggono pada rumah lamanya di daerah Batu, Malang. Di dekat perkampungan terdapat banyak proyek galian dan truk yang lalu-lalang membawa bahan bangunan. Melewati beberapa jalan sempit akhirnya mobil Kijang kapsul tahun 1988 ini berhenti di sebuah rumah sederhana. Rumah petak tipe 45 bercat putih, dengan sedikit halaman dan garasi mobil. Rumah ini berdiri di lingkungan yang antar-rumah saling berdempetan.

Kamajaya mematikan mesin dan mengajak keduanya turun.

“Kita sudah sampai, ini rumah saya. Kalian bisa istirahat dulu sebentar dan makan siang. Setelah itu nanti akan saya antar ke rumah kalian. Ayo mari turun dulu.”

Hanggono menggerakkan tulangnya yang kaku akibat kurang istirahat. Kumala turun lebih dulu dan ia menyapa istri dan anak Pak Kamajaya. Hanggono menyusul menyapa mereka. Kedua tuan rumah menyambut mereka dengan ramah dan mempersilakan mereka masuk untuk makan bersama. Sudah pukul setengah tiga siang, pantas asam lambungnya mulai naik. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka diminta untuk bergabung di ruang makan. Ayam betutu, sate lilit, urap, dan sambal sudah tersaji di meja. Aromanya menggelitik hidung. 

Walau pedas, Hanggono tidak menolak saat diminta menambah nasi. Entah kenapa ia merasa cocok dengan makanan Bali, padahal ini hari pertama ia mencobanya. Menjelang sore, Pak Kamajaya mengantar mereka naik lebih ke atas lagi dari perumahan yang ada saat ini. Jalur ini tidak bisa ditempuh dengan mobil. Hanya bisa dengan motor atau jalan kaki. Sepuluh menit berjalan, di ujung jalan sebuah rumah petak sederhana tampak berdiri sendiri. Berdiri di tanah yang lumayan datar, kontras dengan sekelilingnya yang penuh batuan dan tanah yang tidak rata. Bagian belakang rumah dipenuhi pohon-pohon yang tidak besar tapi berjejer sangat banyak.

“Rumah ini dulunya bekas mandor proyek di sini. Tapi sejak proyeknya beres, sudah lama tidak ditempati. Saya harap kalian berdua betah di sini.” Pak Kamajaya membuka pintu rumah.

“Istri saya baru membersihkan semuanya. Beberapa bagian mungkin harus diperbaiki. Tapi untuk sementara saya rasa ini cukup.” Ia menyerahkan kuncinya pada Hanggono.

“Kalian silakan istirahat. Saya pulang dulu. Besok kita ngobrol-ngobrol lagi.” 

“Terima kasih atas bantuannya, Pak Kamajaya”

“Tidak usah sungkan. Saya permisi dulu.”

Kumala dan Hanggono memasuki tempat tinggal baru mereka. Rumah ini kosong dengan perabotan seadanya. Memiliki jendela yang lumayan besar. Cat putihnya sudah terkelupas di beberapa bagian tapi dindingnya masih kokoh tanpa retakan. Ada dua kamar di sana, satu kamar mandi dan dapur. Hanggono mengecek keran air yang berfungsi dengan baik. Kumala memeriksa kamar utama yang berisi tempat tidur busa dengan seprai yang baru diganti. Lemari di sudut ruangan dan meja rias kecil semuanya dari kayu. 

Kumala terpekik kecil saat sebuah tangan memeluknya erat dari belakang. Hanggono membisikkan sesuatu pada telinga Kumala yang membuat wanita ini menggeliat kegelian. Respons ini malah membuat bibir Hanggono menelusuri lekuk telinga hingga leher dan tengkuk belakang Kumala. Tidak tahan dengan perlakuan suaminya, Kumala berbalik dan mendaratkan ciuman panas di bibir si pria. Saling balas ciuman pun terjadi. Perlahan tubuh mereka bergerak ke arah ranjang tanpa melepaskan ciuman. Hanggono menjatuhkan dirinya ke kasur sambil tetap memeluk dan mencium Kumala. Tangannya mulai bergerilya mencari titik-titik sensitif si wanita.

Mendadak Kumala bangkit.

“Loh, kok berhenti?”

“Udah ah, aku enggak mau. Soalnya, kamu BAU!” Kumala tergelak lalu berlalu mengambil pakaian di koper dan menuju kamar mandi. Hanggono mencium ketiaknya. Baunya membuat ia sadar belum mandi dua hari.

Hanggono mengembuskan napas berat melepaskan gairah yang tertahan. Ia baru sadar, rasanya nikmat sekali berbaring di kasur yang empuk. Mulai hari ini ia akan tinggal bersama istrinya di tempat yang segalanya baru. Ia gamang tapi juga penasaran dan senang, menanti apa yang akan menunggu mereka esok hari. Mulutnya tersenyum menatap langit-langit. Hidup ternyata tidak seburuk itu.

“Tunggu!” Ia berteriak bangkit dan mengambil pakainnya. 

Lalu menyusul Kumala ke kamar mandi.[]