Contents
BALAKOSA
Bab 1: MENGINJAK TANAH PARA DEWA
Angin bertiup kencang di laut saat sepasang suami istri berpelukan menatap lampu yang berkelap-kelip di kejauhan. Wajah sang suami tampak tegang. Ia terus-terusan mengusap kepala istrinya. Mulutnya sejak tadi berkomat-kamit membaca doa. Ia berdoa, kepada siapa pun penguasa di langit agar kaki mereka bisa menginjak tanah di seberang sana. Kapten kapal memberitahukan lewat pengumuman, bahwa dalam sepuluh menit mereka akan mendarat di Pulau Dewata. Para penumpang tampak semringah, tapi mereka tidak tahu, apa pun bisa terjadi dalam sepuluh menit.
Hujan mendadak turun. Langit malam melepaskan
kilatnya. Lautan yang awalnya tenang mulai terusik. Gelombanggelombang tinggi menggoyang kapal. Awalnya tampak seru, sebagian penumpang malah tertawa-tawa saat kapal mereka sedikit oleng ke kiri dan ke kanan dimainkan gelombang. Ah, sebentar lagi juga sampai, sepertinya seru ada sedikit riakan dari laut sebagai bumbu perjalanan. Begitu barangkali pikir mereka. Hanya Hanggono Sastrowiharjo dan istrinya, Kumala Devi, pasangan yang tegang sejak awal naik kapal, berpikiran berbeda. Mereka, terutama sang suami, tahu dengan pasti apa yang menyebabkan air laut di Selat Bali ini bergejolak.
Hanggono makin mengeratkan genggamannya kepada tangan Kumala. Hatinya terus-menerus memohon agar mereka masih memiliki cukup waktu dan usia untuk menginjak tanah di seberang sana.
“Mas,” ujar Kumala menatap Hanggono dalam, saat hantaman gelombang mulai bisa membasahi geladak kapal feri ini. Hanggono tidak menjawab, ia mencium puncak kepala istrinya. Matanya berkaca-kaca. Gelombang yang tadinya hanya menggoyang ringan sekarang mulai mengganas. Kapal terombang-ambing memecah air. Kapten mengumumkan agar semua penumpang yang ada di luar untuk masuk ke kapal. Keceriaan berganti ketegangan.
Satu per satu penumpang yang ada di luar masuk ke dalam kabin kapal di lantai dua. Kabin itu cukup luas, dengan kursi yang berderet beberapa baris. Masing-masing baris terdiri-dari kursi dengan rangkaian 3-3-3. Di depan terdapat sebuah mini bar dan toilet di samping kiri dan kanan. Beberapa televisi menggantung di dinding dan langit-langit menampilkan film lama dengan Jean Claude van Damme sebagai pemainnya. Kaca-kaca besar berbentuk kotak terpampang menjadi jendela di dinding berwarna cokelat tanah.
Dari dalam kabin, lampu Pelabuhan Gilimanuk sudah tampak jelas. Kapten menenangkan para penumpang. Tidak lama lagi kapal akan berlabuh. Namun, cuaca yang kurang baik ini membuat mereka sulit merapat ke pelabuhan. Di luar, angin semakin kencang. Kaca kapal yang tebal berderak-derak dihantam-hantam angin dari luar. Para penumpang duduk diam di kursi masing-masing. Tidak ada yang berani bersuara keras, masing-masing mereka berbicara dengan berbisik. Dek bagian bawah tempat mobil-mobil terparkir sudah basah oleh air laut yang masuk. Kapal feri dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ini hanya tinggal merapat, tapi sepertinya sulit.
Jeritan seorang anak kecil memecah keheningan para penumpang yang sedang dicekam rasa tegang. Ia mengaku pada ibunya melihat wajah wanita menyeramkan menempel di jendela kapal dan hilang saat percikan air laut menghantam jendela. Tangisnya pecah. Beberapa penumpang yang mulai resah mendesak agar si Ibu mendiamkan anaknya. Hanggono melihat ke jendela, petir di luar sambung menyambung. Gelombang besar kembali menghantam kapal. Lalu di situlah Hanggono melihatnya, melayang di kegelapan malam. Anak kecil itu tidak bohong.
Sosok wanita dengan rambut panjang dan sorot mata merah menyala muncul bersamaan dengan ombak yang menerjang. Setiap kali percikan ombak menghantam kaca, airnya menyerupai sosok wanita yang seolah merayap di kaca mencari jalan untuk masuk. Sorot matanya tajam menatap ke arah kursi Hanggono dan istri.
“Ada apa?” tanya Kumala melihat Hanggono yang terpaku menatap jendela.
“Mereka menemukan kita,” jawab Hanggono.
“Tidak mungkin, kita sudah sampai ke seberang.”
“Ya, tapi kita masih di air, belum menginjak tanah. Apa pun masih bisa terjadi.”
“Mereka ... sekuat itu?”
Hanggono tidak menjawab. Wajahnya pucat, bukan hanya karena takut akan keselamatan diri dan istrinya, tapi ia juga mabuk laut. Kombinasi yang tidak menguntungkan di saat seperti ini.
Kilat menyambar lagi, kali ini sepertinya sangat dekat. Suara petirnya mampu menggetarkan kaca jendela kapal. Lalu semuanya terpekik. Lampu kapal padam. Mesin kapal mati. Keadaan jadi gelap gulita. Anak-anak kecil berteriak ketakutan. Beberapa orang dewasa juga ikut berteriak. Memaki-maki entah menyalahkan siapa. Sisanya, semakin diam, tenggelam dalam doa-doa mereka. Berharap semua ini cepat berakhir.
Para petugas awak kapal turun membawa lampu-lampu darurat. Walau tidak cukup, tapi lumayan memberikan cahaya. Para pramugari feri mencoba menenangkan beberapa penumpang yang mulai panik. Dari luar, kemilau lampu-lampu pelabuhan seperti sudah terjangkau tangan. Sedikit lagi.
Hujan masih turun, gelombang tak lagi sebesar tadi. Kapal feri ini terayun-ayun mengikuti gelombang. Kapten memberitahu jika gelombang aman maka pelabuhan akan kirim kapal untuk menarik feri ini merapat.
Bukan berita yang mereka mau tapi harapan untuk segera merapat masih ada. Sekarang dengan gelombang yang mulai tenang dan listrik yang padam penumpang mulai kepanasan di dalam ruangan. Beberapa mencoba keluar tetapi dilarang petugas karena dek masih licin dan basah. Dengan alasan panas dan pengap salah seorang penumpang memaksa membuka pintu. Perbedaan tekanan membuat angin kencang dan air hujan langsung menerobos masuk. Butuh dua orang untuk bisa menutup pintu rapat kembali.
Bersamaan dengan tertutupnya pintu, lampu darurat padam. Entah kenapa Hanggono merasa hawa ruangan perlahan menjadi dingin. Penumpang yang tadinya kegerahan sekarang meringkuk di balik jaket. Beberapa orang bahkan mengeluarkan kabut putih tipis dari mulutnya. Hanggono melirik jam tangannya, pukul 23.11 malam. 49 menit lagi tepat 24 jam mereka melakukan pelarian ini. Tujuan mereka sudah ada di depan mata. Begitu dekat, tapi begitu jauh. Gelisahnya semakin menjadi-jadi. Kumala yang ada di sebelahnya menyenderkan kepala di bahunya dan menguap berkali-kali.
Di sudut ruangan, saat cahaya kilat dari luar menembus jendela. Hanggono melihat sosok wanita di kegelapan. Wanita itu berdiri di pojok ruangan saat semua penumpang lain duduk. Dari tindak tanduknya jelas sekali bukan penumpang kapal ini. Wanita itu perlahan berjalan ke arahnya. Hanggono melihat sekeliling tidak ada yang peduli, sepertinya hanya dia yang melihat wanita ini. Sosok tersebut berhenti di depannya. Rambut panjang menutupi wajah, baju terusan hijau, kaki yang tidak memakai alas menampakkan kuku hitam yang panjang. Ia melirik ke samping, istrinya tertidur.
“Tulung, Ojo ditatoni. Aku sing mbok karepke ....”2[1] Hanggono memelas dengan suara lirih.
“Semua harus mati ....” Suara wanita itu seolah berada di tempat yang jauh sekali.
“Dia tidak bersalah.”
“Dia mengandung keturunanmu, maka dia harus mati.”
Hanggono tercengang mendengar berita dari mulut wanita di depannya ini. Sebuah kabar yang bahkan dia sendiri belum tahu. Wanita itu mengangkat tangannya. Kuku-kukunya memanjang, bau amis menusuk penciuman. Hanggono tahu percuma melawan. Ia juga tidak bisa lari ke mana pun. Ia menutup mata pasrah. Dengan satu gerakan cepat, lima kuku panjang dihunjamkan ke jantung Hanggono. Benda hitam runcing itu menusuk kulitnya.
“Alhamdulillah!” teriak beberapa penumpang.
Lampu kapal menyala. Ruangan kembali terang. Penumpang riuh dengan perasaan lega. Hanggono membuka mata. Pria ini melihat sekitarnya, semua tampak normal. Ke mana pun ia memandang, wanita menyeramkan tadi tidak ada. Sedikit kelegaan terembus dari napas beratnya. Ia membangunkan Kumala. Mesin kapal mulai menyala dan mereka bergerak menuju pelabuhan untuk merapat.
Tanah Bali terhampar di depan mereka, beberapa meter lagi menunggu untuk dipijaki. Dengan itu berakhir pula semua ketegangan malam ini. Para penumpang sudah berdiri merapat di depan tangga. Khas orang Indonesia, walau perintah turun belum diberikan dan kapal belum merapat sempurna, antrean sudah berjubel di depan pintu untuk berebut turun duluan. Hanggono merapikan jaket kulit cokelatnya, mengambil koper di bagasi kabin kapal dan bersiap turun. Kumala menguap sambil menutup mulutnya. Ia memegang tangan Hanggono dan bersandar di bahu.
Kapal Feri Bali Indah menurunkan jangkar. Tali raksasa dikaitkan ke tiang besi di pelabuhan. Kemudian pintu besar diturunkan menjadi jalan bagi mobil-mobil untuk bergerak ke luar. Diawali dengan permohonan maaf atas keterlambatan berlabuh, Kapten kapal memberi izin agar penumpang bisa segera turun. Yang memiliki kendaraan lewat bawah dan penumpang tanpa kendaraan turun lewat jembatan di lantai dua yang terhubung dengan terminal pelabuhan.
Meskipun gerimis masih turun, udara malam yang berat dan berangin menyambut mereka saat keluar dari kapal. Hanggono dan istrinya bertumpuk dalam antrean yang memaksa untuk secepatnya keluar. Ia melihat ke samping. Hujan membuat laut beriak kecil. Menatap gelombang-gelombang kecil yang menggoyang-goyang kapal membuatnya mual. Ia menatap ke depan melihat jembatan penyambung antara kapal dan anjungan pelabuhan.
Jembatan penghubung sepanjang dua setengah meter itu lantainya terbuat dari besi tipis dengan penyangga dari besi dan besi pegangan yang sama-sama sudah berkarat. Besarnya hanya selebar dua orang dewasa dan mereka akan berdesak-desakan di sana. Di bawah jembatan itu masih ada laut. Hatinya mulai tidak enak. Kepadatan manusia, jembatan yang kecil, hujan, gelombang laut di bawah. Ia merasa ada yang tidak beres. Apalagi, usaha terakhir wanita itu untuk mengakhirinya gagal.
Giliran mereka akhirnya tiba untuk menaiki jembatan penghubung. Rasa tidak enak itu semakin besar. Hanggono berdoa dalam hatinya agar dirinya selamat sampai di seberang. Keringat dingin mengucur saat kakinya mulai memijak jembatan penghubung. Tangannya menggenggam erat besi pegangan.
Saat dua kakinya naik, jembatan goyang. Semua orang terpekik dan berpegangan.
Di bawah sana, air laut perlahan surut. Membuat kapal ikut tertarik walau tertahan tali dan jangkar. Goncangannya membuat panik karena kapal bergeser. Semua yang ada di jembatan diam tidak bergerak, mereka berpegangan erat sekali pada teralis jembatan. Setelah dirasa aman, perlahan para penumpang kembali bergerak maju. Hanggono melangkahkan kakinya. Licinnya jalan membuat orang-orang melangkah perlahan.
Dari arah laut, sebuah riakan kecil bergerak cepat dan bergulung menjadi sebuah gelombang besar bergerak ke arah pelabuhan. Tidak terdeteksi gelapnya malam dan tertutup badan kapal, gelombang setinggi tiga meter menghantam bagian samping kapal. Membuatnya oleng dan bergeser. Pekik histeris memecah kesunyian malam saat beberapa orang di jembatan dan yang masih di kapal terlempar ke dalam laut. Beberapa kendaraaan yang lewat bawah juga terdorong ke laut bersama penumpang di dalamnya karena posisi kapal yang lepas dari penghubung. Suasana seketika heboh. Jerit minta tolong terdengar di mana-mana. Para petugas darat panik dan sibuk berkoordinasi mengatasi bencana dadakan ini. Sirine tanda bahaya berbunyi meraung-raung. Awak kapal juga ada yang histeris, tidak siap dengan bencana ini.
Jembatan penghubung setinggi tiga meter dari laut itu patah terkena tekanan daya tarik dan dorong kapal membuat orangorang di atasnya jatuh dan bergelantungan di udara. Hanggono pucat, kopernya terjatuh ke laut dan mengapung sementara tasnya masih tersandang di punggung. Ia tergelincir tapi sempat memegang sebelah tangan Kumala. Kumala bertahan dengan berpegangan pada besi pengaman dengan tangan satunya. Di bawah, gelombang tinggi menghantam-hantam pinggiran dermaga seolah bersiap menyambut Hanggono dan menelannya.
“Sayang, bertahan, jangan lepaskan! Pegangan! Tolong, tolong!” Kumala berteriak memohon ada yang membantunya. Namun, tangannya semakin licin dan pegangan Hanggono terlepas. Ia meluncur bebas ke bawah. Tubuhnya menghantam air dengan keras. Ia berenang secepatnya ke atas, mengerahkan seluruh tenaga. Kepalanya muncul di permukaan air. Setelah menghirup udara cukup banyak ia melihat kopernya yang mengapung, lalu bergegas berenang mengambilnya. Para petugas melemparkan ban apung pada penumpang yang jatuh. Salah seorang dari mereka melempar ban yang diikat ke arah Hanggono. Dengan susah payah Hanggono menggenggamnya dan ia pun ditarik.
Ia memberikan kopernya kepada petugas, lalu saat akan mengangkat tubuh dari air, sebuah tangan dengan kuku hitam muncul dari belakangnya. Tangan kurus itu mencengkeram kepala Hanggono lalu menariknya kembali ke dalam laut. Air asin memenuhi tenggorokan pria malang ini. Paru-parunya berupaya mencari oksigen. Tangannya gelagapan mencoba melepaskan cengkeraman. Tapi tangan makhluk itu mencengkeram kuat hingga kuku-kukunya menusuk kulit kepala. Rasanya perih dan panas. Hanggono ingin berteriak, tapi yang ada mulutnya semakin kemasukan air.
Satu dorongan air terasa di sampingnya, ada yang terjun tapi ia tidak tahu siapa. Sosok itu melakukan sesuatu dan air menjadi panas. Hanggono merasakan cengkeraman di kepalanya melemah ia membebaskan diri dan berenang ke arah ban yang mengapung. Ia merasakan tarikan dari ujung lainnya. Saat ditarik Hanggono merasakan pelukan di pinggangnya. Tiga petugas mengangkatnya ke atas bersama seseorang yang tak lain adalah Kumala.
Sebuah gelombang pasang besar menghantam pinggir dermaga saat Hanggono menginjakkan kakinya di tanah Pulau Dewata. Kapal feri miring hingga beberapa derajat akibat terjangan gelombang tersebut. Orang-orang yang melihat tidak bisa bergerak karena tidak tahu harus berbuat apa. Namun, setelah itu laut kembali tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya kapal yang masih bergoyang-goyang menjadi bukti sisasisa kejadian luar biasa tadi. Hanggono tahu pengejarnya telah gagal. Dan gelombang pasang tadi adalah usaha terakhir mereka untuk membunuhnya. Ia memeluk istrinya dengan erat. Tepat pada 23 Februari 1998 pukul 00.00 Hanggono memulai hidup barunya di tanah Para Dewa.[]
[1] “Tolong, jangan dilukai dia. Aku kan yang kalian mau ....”