Contents
BALAKOSA
PROLOG
Hanggono mencoba menarik udara ke dalam paru-parunya. Sekuat apa pun ia menghirup, udara seperti enggan masuk.
Truk itu melaju menembus jalanan di tengah hutan berkabut. Jalan raya Banyuputih di Situbondo malam itu sangat lengang. Dua orang yang berada di dalam truk memasang wajah waspada. Made yang mengemudikan truk sesekali melihat ke arah Hanggono yang duduk dengan muka pucat di sampingnya. Napas Hanggono pendek. Ia berusaha kuat, tapi Made tahu ada yang tidak beres dengan Hanggono.
“No, begitu ketemu rumah warga niki, kita berhenti dulu ya. Mukamu pucat sekali.”
“Jangan, Bli! Aku tidak apa-apa. Semakin cepat kita menyeberang semakin baik.”
Hanggono mengambil ponselnya, tidak ada sinyal. Made hanya diam tidak membalas lagi. Ia melihat ke kaca spion, tidak ada kendaraan lain di sepanjang jalan. Masih beberapa jam lagi sebelum mereka sampai ke Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang ke Bali. Truk pengangkut barang memasuki daerah hutan Alas Baluran. Kiri-kanan jalan hanya terlihat pepohonan tinggi.
Saat melewati belokan, Made melihat wanita dengan kebaya hijau dan rambut panjang terurai berdiri di pinggir jalan. Mereka beradu pandang. Wanita itu menatapnya tanpa ekspresi.
Bulu kuduk pria Bali ini meremang. Ia menekan gas lebih kuat.
Doa-doa ia panjatkan dalam hati.
“No, itu tadi ada ....”
Orang yang diajak ngomong hanya menatap kosong ke jalan di depan.
Mengebut dalam keadaan berkabut dan jalanan licin berkali-kali membuat truk mereka nyaris keluar jalur. Tetapi, setiap Made akan memperlambat kendaraan, Hanggono melarangnya. Kondisi Hanggono sudah mengenaskan, wajah pucatnya penuh bulir-bulir keringat. Tangannya mengepal erat seperti menggenggam sesuatu. Mulutnya tidak berhenti komatkamit, diselingi batuk yang semakin parah.
Suara berdebam menghantam atap truk. Made dan Hanggono terkejut. Mereka menunggu apa gerangan yang jatuh, hewan? Dahan pohon? Bulu kuduk mereka berkata lain. Sepasang tangan merayap turun dari atap ke kaca depan truk. Kuku-kuku runcing hitam menggores kaca hingga berjejak. Makhluk itu masuk ke dalam truk melalui kaca di samping Hanggono. Made panik, ia berteriak dan menginjak gas lebih dalam. Saat truk itu tergelincir miring, sosok wanita berbaju hijau merangkak keluar jendela dan menghilang.
Sebuah warung pinggir jalan tampak ramai menjelang tengah malam. Para sopir truk dan bus beristirahat sambil menikmati hidangan ringan. Tawa-tawa keras dari lelucon vulgar khas bapak-bapak terdengar kontras dengan sunyinya malam. Keramaian suara mereka terhenti, saat salah seorang dari mereka berteriak dan menunjuk ke arah jalan di kejauhan. Sontak semua kepala menoleh ke arah yang dimaksud. Sebuah truk tampak oleng ke kiri dan ke kanan seolah mencari keseimbangan.
Semua sopir dan pemilik warung bubar ketika truk tersebut rebah dan meluncur di jalan kosong nyaris menghantam warung. Percikan api berhamburan saat sisi samping truk bergesekan dengan jalan. Truk itu berhenti sepuluh meter dari warung, dengan asap tipis mengepul ke angkasa. Para sopir melongo masih mencerna apa yang baru saja mereka lihat. Sedetik kemudian mereka bergegas lari ke arah truk untuk melihat keadaan korban.
Sebuah jejak panjang membekas di aspal. Truk bertuliskan ‘pantang pulang sebelum kenyang’ di bagian belakang itu teronggok diam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Asap masih mengepul dari bawah truk yang miring. Para sopir yang datang bergerombol segera melongok ke dalam jendela pengemudi. Dua orang ditemukan tidak bergerak. Kondisi salah satu dari mereka sangat mengenaskan.
“Eh yok opo iki obah, Cuk! Isih urip iki, ayo ditulungi ojok meneng ae, dapurmu!”[1] Salah seorang sopir teriak saat melihat salah satu dari dua orang itu bergerak.
“Ayo tolong, tolong, masih hidup wong iki!” teriak yang lain.
Semuanya membantu mengeluarkan salah satu korban yang masih hidup. Malam yang sunyi berubah jadi tragedi. Asap mulai mengepul semakin besar. Percikan-percikan api bisa berkobar kapan saja. Semuanya bergegas menolong korban secepat mungkin.
Jauh di belakang keriuhan yang terjadi. Sesosok wanita berambut panjang dengan senyum lebar, berdiri tanpa alas kaki. Kepuasan tampak dari sorot matanya yang membesar. Tanpa disadari siapa pun sosoknya lenyap dari pandangan.[]
[1]“Eh yang ini masih bergerak, masih hidup ini. Ayo ditolong jangan diam saja.”