Try new experience
with our app

INSTALL

Mythical Relics of Pandora 

APOLLO'S ROSE

PAPAN berulir besi hitam dengan ukiran nama “Pandora” di tengahnya itu membuat Desmond terkesiap. Padahal, ia yakin sebelumnya tak ada pintu di dinding jalan itu. Setelah nyaris putus asa mengelilingi kota berjam-jam, akhirnya ia berdiri di depan toko barang antik tersebut. Badannya 
yang ceking tampak layu kelelahan, bukan hanya karena pencariannya, tapi juga beban mental yang kini dipikulnya. 

Meskipun batin dipenuhi keraguan, pria itu membuka pintu Pandora perlahan. 
“Selamat datang di Pandora! Ada yang bisa kami bantu?” sambut seorang wanita yang berpenampilan elegan, berambut putih, mata sayu, senyum dingin, dan ... berseragam putih layaknya suster. 

Huh? Suster?

Desmond kembali menatap ke arah papan toko, memastikan dirinya berada di toko barang antik, bukannya di rumah bordil.

“Apakah Tuan ingin membeli? Menjual? Atau ... Tuan cukup bernyali untuk mencuri?” tanya wanita tersebut yang kian mendekat, intimidatif.

Tepat di pertanyaan terakhir, Desmond sontak menelan ludah. Wanita itu membuka matanya, menampilkan pupil yang putih berkabut.

“Tenang saja, Tuan, Anda berada di tempat yang benar,” tutur bocah laki-laki berambut pirang dari balik ruangan. Usianya mungkin sekitar tujuh tahun.

“Sudah kubilang, Agnes, hobi cosplay-mu itu membuat orang salah kaprah!” lanjut bocah tersebut.

“Oh, diamlah, Adam! Daripada kau menggerutu, lebih baik siapkan teh untuk pengunjung!” balas Agnes dengan nada kesal sembari duduk di sofa ruangan utama.

Tak berapa lama, teh sudah tersaji. Agnes beserta Desmond duduk bersama di sudut toko, sedangkan Adam berdiri di sisi meja. Pria itu memperhatikan gerak-gerik Agnes dengan saksama

Bukankah dia buta? Tapi mengapa dia bisa begitu mudah meraih cangkir teh, batinnya melontarkan banyak pertanyaan.

“Jadi, Tuan?”

“D-Desmond. Namaku Desmond.”

“Baiklah, Tuan Desmond. Apa yang bisa kami bantu?” tanya Agnes sambil menatap wajah Desmond lekat-lekat. 

Tak tersirat ancaman dari kalimat Agnes, tetapi Desmond masih tertegun tiap melihat pupil yang berkilau layaknya mutiara tersebut. Sejenak ia ragu, menundukkan wajah sembari menerawang, mengamati tiap buku beraksara kuno asing yang tersimpan di atas rak, serta sederet barang antik yang menampilkan aura berbahaya. Tempat ini seperti yang dibayangkannya, tapi ia tak tahu apakah ini keputusan tepat.

“Tuan?”

“Ah, iya! M-maaf, aku melamun.”

“Anda memiliki masalah?”

“Sejujurnya ... iya. Perusahaan kami hendak melakukan proyek besar. Kesalahan administrasi membuat perusahaan kini berada di ujung tanduk. Kami berisiko kehilangan profit tujuh puluh persen karena kebodohanku! Sedangkan di sisi lain, besok aku harus mempresentasikan proposal!” racau Desmond. Kata pertama yang ia lontarkan seolah mendobrak gerbang keraguannya.

“Psikiater bilang bahwa aku mengalami gangguan kecemasan akibat tekanan pekerjaan. Aku tak lagi sanggup menghadapi ini semua. Bukanlah kejutan aku akan jadi kambing hitam jika proyek ini gagal,” rintihnya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah membuat fisiknya kian menyusut.

“Ini sungguh konyol,” lanjutnya yang menyadari apa yang sudah ia bicarakan. “Untuk apa aku berada di sini? Kenapa aku begitu bodohnya percaya rumor bahwa toko ini bisa membantuku? Kalian berdua pasti berpikiran yang sama.”

“Tak ada yang salah dari meminta tolong, Tuan Desmond,” ujar Agnes seraya menyesap teh. “Adam, ambilkan barang di rak sebelas, baris ketiga.” 

Tak butuh waktu lama, Adam kembali dan meletakkan sebuah ornamen logam pipih bermotif mawar.

“Ini Mawar Apollo,” ucap Agnes.

“Apollo? Maksudmu seperti Dewa Matahari?”

“Oh, bagus sekali Anda mengetahuinya. Selain Dewa Matahari, dia juga Dewa Ramalan. Konon, seorang pengabdi Apollo memohon kepada Persephone untuk dilahirkan kembali menjadi mawar di kebun Olympus. Namun, Persephone menolak. Melihat pengabdiannya, Apollo iba dan meminta kepada Hap ... maksudku Hephaestus untuk menempakan mawar logam untuknya.”

Wow, itu terdengar seperti dongeng, batin Desmond skeptis.

“Letakkan Mawar Apollo ini di bawah bantal sebelum Anda tidur. Aku berjanji esok pagi kecemasanmu akan sirna.” Wow, sekarang ini terdengar seperti penipuan.

“Jadi, berapa yang harus kubayar untuk ini?” tanya Desmond memastikan kecurigaannya.

“Anda tak perlu membayar untuk saat ini, Tuan Desmond,” jawab Agnes menampilkan ekspresi dingin. “Namun, berjanjilah satu hal, Tuan. Jika masalahmu tuntas dan kondisimu membaik, segera kembalikan ornamen ini kepada kami.”

Desmond sedikit terkejut bahwa ia tak harus membayarnya. Walaupun skeptis, tetapi pada akhirnya Desmond menerima ornamen tersebut. Jangan pertanyakan sikap orang yang putus asa. 

Sebelum pria itu menghabiskan teh dan keluar dari toko, Agnes kembali menekankan, “Ingatlah janji Anda, Tuan Desmond.”

*

“Aku pasti sudah gila,” gumam Desmond seraya menatap ornamen tersebut, “tapi tak ada ruginya mencoba.”

Malam itu, Desmond mendapatkan tidur ternyenyak yang sudah lama tak ia rasakan. Dalam lelapnya, ia bermimpi bahwa presentasi proposalnya berjalan lancar dan disetujui semua atasan. Saat pagi, seperti ucapan Agnes, ia terbangun dengan merasa lebih baik dan kepercayaan diri yang tinggi. Pada awalnya ia menganggap semua hanya karena mimpi semata.

Namun, alangkah terkejutnya Desmond ketika ia mempresentasikan proposalnya, semua berjalan sesuai seperti mimpi yang ia alami. Respon atasannya, segala pertanyaan yang dilontarkan, bahkan sampai warna dasi yang mereka kenakan. Semua sama persis dengan mimpinya.

Desmond kini menyadari bahwa Mawar Apollo menampilkan masa depan melalui mimpi. Selama beberapa hari ke depan Desmond mengalami momen terbaik. Ia bisa mengantisipasi kendala logistik yang akan datang, memenuhi keinginan klien tanpa banyak berkorban, seluruh proyeknya berjalan lancar sesuai prediksi. Mengetahui hari esok membuat kecemasannya kini perlahan sirna. Desmond sebenarnya ingat bahwa ia harus mengembalikan Mawar Apollo, tetapi ia selalu berkilah.

Satu hari lagi. Aku butuh satu hari lagi.

Hingga ia lupa akan janjinya. Kini ia justru mengeksploitasi Mawar Apollo. Ia memanfaatkan kemampuan melihat masa depan demi keuntungan pribadi. Pria itu menggunakannya untuk memanipulasi harga pasar saham, bahkan berjudi di pacuan kuda. Desmond tak lagi bisa hidup tanpa Mawar Apollo. Ia tak lagi bisa menghadapi hari esok tanpa mengetahuinya terlebih dahulu.

Sampai suatu malam, Desmond terbangun akibat mimpi buruk. Sebuah truk berkecepatan tinggi nyaris menabrak dirinya di jalan yang sepi. Namun, belum sempat truk itu menghantam, Desmond sudah terbangun karena kegelapan yang menyelimutinya.

Desmond memaksa dirinya untuk kembali tidur. Ia harus tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, adrenalin dan kecemasan mencegahnya untuk kembali terlelap. Ia meraih pil tidur dengan panik.

Satu butir, tak ada efeknya. Dua butir, masih terjaga. Tiga, empat ... bahkan lebih.

Malam itu, Desmond tak lagi bermimpi.

Mereka yang mengenal Desmond menduga bahwa ia bunuh diri. Kecemasan dan tekanan profesi membuatnya menelan pil tidur. Akan tetapi, bagi Agnes dan Adam, kebenarannya bukan seperti itu. Mereka yang mengintip takdir, ternyata berakhir dipermainkan olehnya.

*

“Kenapa selalu seperti ini, sih?” gerutu Adam sembari merapikan rak di ruang penyimpanan.

“Keserakahan manusia tak ada batasnya, Adam,” balas Agnes sembari menyesap tehnya dengan elegan.

“Jika manusia memang sebodoh itu, seharusnya mereka tak datang ke Pandora!”

“Tak ada yang salah dari meminta tolong bila putus asa, Adam. Tapi, jika kau mulai mengeksploitasi kebaikan, bukankah itu menjijikkan?”

Agnes tersenyum tipis, tapi Adam tak membalas karena ia kesulitan meletakkan Mawar Apollo di tempat semula. Sekarang, apakah kau berani membuka pintu Pandora? Tempat impian dan mimpi buruk menjadi nyata. Meskipun kau tahu, ada harga yang harus ditebus untuk itu semua.

***