Contents
Mythical Relics of Pandora
PROLOG
SEANDAINYA Enrique bukanlah senior semasa kuliah, mungkin Dominic enggan menerima permintaannya untuk bertemu di muka umum. Walaupun mereka pernah berada di kampus yang sama, tetapi nasib mereka berakhir berbeda. Dominic menjadi pengusaha perlente berlimpah harta, sedangkan Enrique hanya pecundang semata.
Melihat etiket perjamuan Enrique yang menjijikkan membuat Dominic sempat menyesali keputusannya. Bagaimana pria itu melahap setiap hidangan dengan rakus layaknya celeng kelaparan membuat Dominic tak berhenti mengeluh dalam hati.
Berhentilah minum, Sialan! Ini sudah botol anggur ketigamu!
“Ah, rasanya lumayan juga untuk restoran sekelas ini,” ungkap Enrique usai menghabiskan makanannya. Sementara Dominic yang kehilangan selera tak mampu menelan lebih banyak. Cukup anggur merah yang kini mengisi perutnya.
“Hal penting apa yang ingin kau bicarakan? Jangan membuang waktuku lebih lama, Enrique.” Dominic meliriknya.
“Berikan aku 50 ribu dolar.”
“Kau meminta bertemu hanya demi meminjam uang?”
“Kau salah, bukan ‘pinjamkan’, aku bilang ‘berikan’. Informasi yang akan kukatakan kepadamu seharga lima puluh ribu dolar. Itu nominal yang kecil untuk pengusaha kaya sepertimu, bukan?” tanya Enrique, memamerkan deretan giginya yang tak rata.
“Informasi apa?”
“Kau masih mencintai Rachel?”
Dominic mendelik, menampilkan emosi yang tertahan, tetapi Enrique bergeming menghadapi tatapannya. Liontin yang menempel di kulit dada Dominic terasa dingin.
“Berhati-hatilah dengan kalimat selanjutnya, Enrique.”
Rachel adalah kekasihnya semasa kuliah, setidaknya dulu. Kawan-kawan kampusnya menganggap mereka pasangan sempurna. Fisik yang setara elok dipandang, serta jalinan kasih yang kian mesra. Bukan lagi kejutan bahwa mereka berikrar janji suci saat dewasa.
Namun, bahtera rumah tangga mereka kini karam di tengah jalan. Asmara yang dulu bergelora tertiup padam akibat kesepian. Ripuh di dunia karier membuat Dominic abai pada kondisi keluarga. Secara fisik, griya yang dulu mungil kini memang tampil megah. Secara batin, jarak mereka merenggang dipisahkan ruang hampa. Sampai suatu hari, Dominic mendapati wismanya tak lagi berpenghuni. Rachel angkat kaki, hanya meninggalkan liontin di ranjang yang sepi. Dominic baru menyadari bahwa rumah tanpa Rachel bukanlah sebuah “rumah” lagi.
Alangkah bodohnya Dominic yang justru mengimingimingi Rachel dengan aset kekayaan seandainya dia bersedia kembali. Tak juga bercermin, introspeksi diri sendiri. Perlahan, cinta sejati itu menjelma menjadi obsesi yang menghantui. Baginya, kini Rachel tak lebih dari trofi yang menjadi ambisi.
“Jika kau ingin Rachel kembali, aku punya solusinya,” ungkap Enrique.
“Apa itu?”
“Kau bersedia membayar?”
“Itu tergantung apa informasinya.”
Dominic meletakkan sikunya di meja dan menangkupkan kedua tangan. Enrique paham akan gestur itu. Di satu sisi Dominic tak bisa lagi dipaksa bernegosiasi, sedangkan di sisi lain gestur itu artinya pria itu tertarik dengan penawarannya. Enrique celingak-celinguk waspada, seolah hendak membongkar rahasia negara.
Hanya ada seorang pelayan yang sedang merapikan meja sebelah. Itu tidak masalah.
“Kau tahu … tentang Pandora?” bisik Enrique yang kembali menoleh ke arah pelayan tersebut.
Sebenarnya, pemuda itu mendengarnya tanpa sengaja, tapi ia tak tertarik.
“Tidak pernah,” jawab Dominic.
“Serius? Cih, sesekali keluarlah dari kantor, Dom,” cibir Enrique.
“Langsung saja ke intinya.” Dominic tak mengacuhkan sindiran itu.
“Pandora adalah toko barang antik mistis, berisi berbagai artefak dewa-dewi di luar nalar manusia. Percayalah kepadaku, mulailah mencari toko itu dan pintunya akan muncul secara ajaib! Semua masalahmu akan tuntas dalam sekejap! Membuat mantan istrimu kembali? Itu hal yang mudah!” jelas Enrique.
Dominic menatapnya dengan sinis, menganggap Enrique sudah mabuk berat.
“Dari mana kau mendengar rumor dungu seperti itu?”
“Seorang bartender pernah menceritakannya kepadaku.”
Kini mata Dominic menyiratkan rasa iba, melihat pria dewasa berusia kepala tiga yang masih saja percaya dongeng.
Ini sungguh konyol.
“Dulu aku juga skeptis sepertimu, Dom. Tapi, aku serius. Pandora memanglah nyata, dan dia bisa membantumu.”
Enrique memandangnya lekat-lekat, tetapi Dominic sudah muak dan memalingkan wajah.
“Cukup! Ini omong kosong!” bentaknya seraya berdiri.
“Tunggu.” Enrique menghentikannya. “Bagaimana kalau kita bertaruh?” “Maksudmu?”
“Kita bertaruh apakah aku bisa membuatmu percaya. Jika gagal, kau akan mendapatkan 50 ribu dolar dariku. Tapi, jika aku berhasil, maka kau yang harus membayarku, termasuk tagihan restoran ini. Bagaimana?” ajaknya.
Enique sungguh nekat karena faktanya saat ini ia sama sekali tak mengantongi uang. Namun, ia cukup yakin bisa memenangkan pertaruhan ini.
“Itu terdengar menarik.”
Dominic kembali duduk, sementara Enrique terkekeh karena berhasil menjeratnya. Enrique lalu mengeluarkan sebuah kacamata hitam berbingkai emas dari saku kemejanya. Ia menjelaskan bahwa kacamata itu merupakan artefak dari Pandora. Sejak dulu ia menyadari bahwa fisiknya bukanlah tipikal idaman wanita. Leher bergelambir, perut berlipat lemak, bahkan tubuhnya menguarkan aroma tak sedap. Akan tetapi, berkat kacamata tersebut, ia bisa memikat semua wanita.
“Pilihlah satu orang, Dom. Dari sekian banyak tamu restoran, pilihlah perempuan yang menurutmu paling menarik. Siapa pun itu, aku akan menaklukannya!” tantangnya dengan angkuh, kemudian terkekeh puas.
Mata Dominic menerawang, menilai wajah para pengunjung wanita yang mayoritas atraktif. Namun, hanya ada satu perempuan yang membuatnya terpukau. Wanita itu duduk di sudut ruangan, mengenakan gaun bahu terbuka berwarna merah maroon. Rambutnya hitam pekat dan bergelombang, parasnya tipikal ras Asia. Dominic sengaja memilihnya, selain karena pesona yang memanjakan mata, tetapi juga karena perempuan itu bersama pria lain yang kemungkinan besar kekasihnya. Bukan tergiur uang Enrique, Dominic justru lebih tertarik melihat pria itu dipermalukan.
“Perhatikan ini.”
Enrique lalu menghampiri perempuan itu sambil mengenakan kacamatanya. Tak hanya Dominic, pelayan muda yang di sebelah meja pun ikut tertarik. Jarak mereka dengan meja wanita itu cukup jauh sehingga percakapannya dengan Enrique tak terdengar. Namun, Dominic bisa melihat reaksi sang perempuan yang tersipu malu. Tak lama kemudian, sang tamu pria berdiri dan mencengkeram kerah Enrique, tetapi perempuan itu melerai mereka berdua. Usai tamu pria itu pergi dengan gusar, Enrique bercakap-cakap singkat dengan sang wanita. Tak lama, ia pun kembali ke mejanya lagi.
“Heh, Kacamata Narcissus memang tak pernah mengecewakan. Sudah kubilang ini perkara mudah,” ungkap Enrique yang meletakkan serbet ke atas meja.
“Mustahil!”
“Lihat, Nak.” Enrique memamerkan serbetnya kepada pelayan muda tersebut. “Aku berhasil mendapatkan nomor ponselnya!”
Pemuda itu hanya tersenyum canggung dan mengangguk. Melihat sang perempuan melambaikan tangan penuh goda ke arah Enrique membuatnya merasa jijik dan kecewa. Sementara itu, ia juga melihat manajernya sedari tadi mengawasi. Tak mau menimbulkan masalah, pemuda itu lanjut bekerja mengantarkan makanan pelanggan yang lain.
“Sekarang kau sudah percaya, Dom?” tanya Enrique yang membalas lambaian tangan perempuan itu dengan kecupan jauh.
Sang perempuan duduk sambil menggeliat dan menggigit jarinya. Dominic yang melihatnya seketika merasa mual.
“Sulit dipercaya.”
“Hey, jangan menjadi pecundang! Akui saja kekalahanmu!” balas Enrique jengkel.
“Apa yang kau lakukan padanya?”
“Sederhana saja. Kacamata ini memproyeksi preferensi pasangan yang diinginkan oleh orang yang kuajak berbicara. Wanita seperti dia hanya menjadi koleksiku yang lain,” ujarnya angkuh.
“Aku tak suka dengan nada bicaramu yang merendahkan seperti itu.”
“Kau iri?”
“Sama sekali tidak.”
“Oh, ya? Bagaimana kalau kacamata ini kugunakan terhadap Rachel?” gertak Enrique dengan senyum yang menyiratkan penghinaan.
“Tutup mulutmu!”
“Heh, tenang saja, Dom. Teknikku bisa membuat Rachel jauh lebih bahagia!”
“Bangsat kau!” raung Dominic murka.
Dominic yang spontan berdiri justru menyenggol pelayan muda sebelumnya yang saat itu membawa makanan. Suara piring pecah yang membahana berhasil memancing perhatian pengunjung restoran dan pekerja lainnya. Erupsi murka yang sudah di ambang batas, perlahan surut akibat tatapan orang-orang.
“Sudah cukup aku mendengar ocehanmu.” Dominic melempar berlembar-lembar pecahan seratus dolar. “Ambil saja ini untuk membayar tagihanmu!”
“Oh, bukankah kau harus membayar dia juga? Jangan lupa dengan piringnya!” gertak Enrique menunjuk ke lantai.
Begitu mudahnya Dominic mengeluarkan uangnya lagi, menaburkannya ke lantai lalu beranjak pergi. Melihat uang yang jatuh berhamburan dari atas kepalanya, membuat sang pelayan tersinggung. Tanpa ada kata maaf ataupun dilirik oleh kedua tamu tersebut, ia sadar bahwa dirinya tak signifikan. Bagi mereka berdua, ia tak lebih dari “korban” pertaruhan yang mudah dibungkam oleh uang. Martabatnya yang terluka membuat pemuda itu geram.
“Maaf, Tuan.” Pemuda berdiri dan melempar sisa makanannya ke punggung Dominic. “Setidaknya habiskan makanan Anda.”
Seandainya mereka berdiri di panggung sandiwara, mungkin lampu sorot sudah menyinari pemuda itu. Semua orang terkesiap, kecuali Enrique yang terbahak-bahak.
“Diamlah, Tuan.” Pemuda itu kini menyiram Enrique hingga tawanya terhenti. “Minum saja anggur Anda.”
“Vincent!” pekik manajer restoran yang melihat kelancangan pegawainya.
“Tenang saja, Pak. Kau tak perlu memecatku, aku memutuskan untuk berhenti!” gerutu Vincent seraya melepas rompi dan melemparnya ke lantai. Vincent puas sudah meluapkan emosinya, tanpa sadar bahwa ia sudah menjadi pusat perhatian.
*
“Maaf kawan-kawan, ini yang terakhir,” ucap Vincent saat memberikan sisa makanan kepada kucing-kucing di tempat parkir. Melihat mereka mengeong bahagia saja sudah membuatnya senang. Namun, ketika ia melirik isi dompetnya, Vincent menghela napas panjang.
Yeah, sepertinya aku harus tidur di taman lagi.
Tiba-tiba, ia melihat kedua tamu tadi keluar dari restoran diiringi manajer yang menunduk memohon maaf. Vincent sungguh membenci tipe manusia seperti mereka. Dominic yang mendewakan uang memang membuatnya muak, tapi tak ada yang lebih menjijikkan daripada Enrique. Manusia yang mencari jalan pintas dengan benda-benda magis demi meraih tujuan fana. Bantuan dari artefak Pandora berhasil menguak kebusukan hatinya. Dalam batin Vincent bersumpah sesial apa pun nasibnya nanti, ia tak sudi bergantung kepada Pandora.
***