Contents
LOST (TAMAT)
Satu
Hubungan akan berakhir ketika kau memaknainya dengan kebosanan dan menghadirkan orang ketiga di dalamnya..
-untuk sebuah perselingkuhan-
"Kau! Wanita mana lagi yang kau tidurin semalaman?! Di mana perasaanmu!! Kau kira aku ini apa?" Wanita paruh baya itu memekik di depan suaminya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi sang istri.
PLAAAKKK!!
"Apa maksudmu? Kau jangan menuduhku!" bentak sang suami kalap.
Air mata sang istri menetes tanpa bisa ia tahan. Tangannya gemetar, menahan pedih dan dengingan-dengingan yang merembet ke telinganya, bekas tamparan suaminya. Ia mengaduh sakit.
Sang suami membanting vas bunga hingga pecah. Bantingan benda-benda terdengar memekakkan. Berkali-kali sumpah serapah dan makian terdengar menyesaki ruang tamu itu, seolah-olah semua kata-kata kotor itu adalah hal lazim yang pantas diucapkan orangtua seperti mereka.
"Kau kejam! Ceraikan aku sekarang juga! Aku nggak sudi mempunyai suami sepertimu!" sergah sang istri tak mau mengalah.
Mata sang suami memerah, bukan hendak menangis, tetapi karena menahan amarah yang sudah tersulut sampai ke ubun-ubunnya. "Pergi kau dari rumah ini!!" bentaknya mengusir.
Sang istri menatap suaminya nanar. "Baiklah. Aku akan pergi! Kau urus perceraian kita ini! Mulai sekarang, aku bukan istrimu!!" Ia berlalu dari hadapan suaminya.
Dari celah pintu kamar, ada seorang gadis yang memperhatikan pertengkaran itu sejak tadi. Ia memeluk erat adiknya yang berusia sekitar sepuluh tahun. Air mata tak henti-hentinya mengalir, meski ia tak ingin dan sangat membenci tangisannya. Gadis itu hanya mampu memaki keadaan. Menyalahkan semuanya pada hidup. Dan mencoba tak peduli, meski sebenarnya ia begitu tersakiti.
****
Tak ada yang tahu bagaimana hidup Daisy jadi begitu sulit. Ia tak pernah tahu bagaimana tulusnya cinta dan murninya sebuah kasih sayang. Baginya, cinta hanya bentakan, makian, amarah dan air mata. Tak ada sedikit pun kesan indah setiap kali ia mendengar kata itu. Untuknya, cinta hanya sebuah rasa yang menyedihkan.
Daisy hanya seorang gadis delapan belas tahun, saat ia mendengar sebuah tuntutan perceraian yang dituturkan ibunya. Ia hanya gadis yang berusaha berdamai dengan hidupnya, dan meyakinkan adiknya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski berulang kali ia mengutuki dirinya tiap kali menyebutkan kalimat itu. Bagaimana tidak? Ia tahu dengan jelas, kalau hidup mereka sama sekali tak baik. Bahkan mungkin tak akan pernah.
Jika melihat sosoknya dulu, seperti menyaksikan seorang gadis yang begitu muram. Ia sama sekali lupa cara untuk tersenyum. Ia tak pernah percaya semua kisah yang berakhir bahagia—lebih tepatnya, ia tak yakin ada sebuah kebahagiaan dalam hidup.
****
Siang itu terik membakar bumi Medan. Seperti biasa, cuaca menyengat di bulan Februari. Matahari seolah tak takut mati dengan membakar dirinya sendiri lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya.
Daisy sedang menunggu angkutan umum di halte pintu 4 Universitas Sumatera Utara. Ia mahasiswi semester dua Fakultas Farmasi USU.
Tak heran jika melihat gadis itu sendirian menunggu di halte. Bukan karena ia ditinggal teman-temannya pulang, hanya saja ia sudah terbiasa sendiri menjalani hari-harinya. Sudah sangat lama, Daisy menutup dirinya dan tak pernah tampak sebuah senyum mengembang di wajahnya.
Rimbun pepohonan di sepanjang jalan Dr. Mansyur membuat terik matahari siang itu sedikit terhalangi. Semilir angin bertiup, menerbangkan beberapa helai daun kering.
Daisy celingukan. Sesekali mendesah risau, kenapa angkutannya begitu lama datang? Padahal dia harus pulang secepat mungkin hari itu.
Daisy baru saja melihat siluet angkutan umum berwarna merah yang biasa ditumpanginya. Di saat yang bersamaan, ia melihat bapaknya sedang boncengan dengan wanita lain. Matanya cukup sehat saat itu untuk melihat bagaimana mesranya wanita itu melingkarkan tangannya di pinggang bapaknya. Ia melihat bagaimana tawa canda yang dipenuhi manja seorang wanita pada suaminya. Ia tahu dengan jelas kalau wanita itu bukan ibunya.
Dada Daisy menyesak seketika. Berulang kali ia memaki dan mengumpat. Ia kesal. Di depannya, ia melihat bapaknya sedang berselingkuh. Ia benci. Ia sangat membenci hal itu, juga bapaknya.
"Bu, Bapak selingkuh. Ibu benar, Bapak jahat.." Daisy menggumam pelan. Tangannya terkepal, meninju udara. Matanya memanas. Ia bukan sedih, hanya saja ia sangat kesal dengan bapaknya. Bapaknya jalan dengan wanita lain, padahal di saat itu status perceraiaan mereka belum selesai.
Itukah cinta? Menikah dengan orang yang kau cintai untuk selanjutnya kau selingkuhi? Saat ada makhluk yang lebih sempurna dari apa yang kau cintai dulu? Daisy menggumam dalam hati. Kesal.
****
Gemerlap Ibukota Jakarta mulai menarik jiwa-jiwa pengelana yang kesepian. Berbagai hiburan ditawarkan untuk memuaskan nafsu sesaat.
Lenguh klakson mobil dan motor masih menyemarakkan malam. Jakarta masih betah dengan gelar penuh kemacetannya.
Malam semakin meninggi. Namun Jakarta berdiri tegak seolah tak pernah tidur, tak pernah lelah menjalani hari demi hari. Di beberapa tempat, ia menawarkan diskotik dengan gemerlapnya. Penjaja cinta semalam tampak berdiri dan menawarkan jasanya bagi jiwa-jiwa yang tersesat.
Namun, semua gemerlap itu tampak dijauhkan dari rumah bercat hijau perumahan Jakarta Pusat. Seolah sudah menjadi sebuah penjara, tak pernah ada gemerlap apa pun yang terpancar dari dalam. Begitu senyap, meski terkadang terdengar cek-cok mulut. Seolah para penghuninya sudah terbiasa saling memboikot dan berdiam diri. Setiap kata yang terlontar, seakan menyulut sumbu pertengkaran.
"Danar! Kamu harus menikah! Umur kamu itu udah nggak muda lagi. Udah pantas untuk menikah," kata mama Danar malam itu—hal yang selalu membuat lelaki itu jenuh dan tak ingin pulang.
Danar, seorang manajer di Microsoft Corporation yang baru saja menginjak usia dua puluh delapan. Segudang prestasinya membuat ia menduduki jabatan tinggi itu di usia mudanya. Lelaki berkulit kuning langsat, yang selalu tampak rapi dengan setelan kemeja dan celana kepernya, selalu merasa menjadi nara pidana yang dituntut menyelesaikan hukumannya. Ya, bagaimana tidak? Di usia yang sematang itu, ia masih harus dituntut menikah—hal yang sebenarnya sudah ia pikirkan, namun belum ingin direalisasikannya.
"Ma, Danar itu lelaki. Nggak haruslah dipatokkan umur untuk menikah. Lagian Danar juga belum siap," ucap Danar dengan nada setenang mungkin. Meski sebenarnya ia sangat jenuh, namun ia tak pernah ingin melawan orangtuanya.
Mama Danar berdecak geram saat mendengar penjelasannya itu. "Apalagi yang membuatmu belum siap? Kamu mapan, berpenghasilan, bertanggung jawab, tampan. Apalagi yang kurang? Pokoknya kamu harus menikah. Kasihan Chrissy menunggumu sejak tahun lalu. Tapi karena sikap dinginmu itu, kalian belum juga bertunangan sampai sekarang!"
Tatapan sinis kedua orangtua Danar sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tuntutan akan pernikahan, sudah seperti mimpi buruk yang menjelma nyata di hidupnya. Ia tak pelak bisa menghindarinya.
"Ma, Danar bisa mencari calon sendiri. Mama nggak perlu repot-repot jodohin Chrissy buat Danar. Danar nggak suka dia, Ma.." Masih dengan kalimat yang lembut, ia berusaha menjelaskan. Namun, mamanya sudah terlanjur terobsesi akan pernikahannya dengan wanita blasteran itu.
"Nggak! Mama nggak akan merestuimu menikah dengan wanita lain selain Chrissy!" sergah Mama Danar, sebelum akhirnya ia beranjak dari hadapan lelaki itu, meninggalkannya dengan sebuah rasa yang sudah bercokol di hatinya sejak dulu.
****
Bapak Daisy baru saja pulang, saat ia mendapati putri sulungnya dan putra bungsunya duduk berdua di ruang tamu.
"Mana Ibumu?" tanya Agus—bapak Daisy—yang saat itu tampak kacau. Aroma alkohol tercium jelas saat ia bicara. Tak salah lagi, ia habis mabuk-mabukkan.
Daisy berdiri, melepaskan rengkuhannya dari bahu adiknya. "Ibu sudah pergi. Bukannya semalam Bapak yang mengusir Ibu?!"
Agus tak menggubris ucapan Daisy. Baginya, sebuah hal yang sangat menguntungkan jika istrinya sudah angkat kaki dari rumah itu.
"Siapa wanita yang Bapak bonceng tadi?" tanya Daisy.
Agus—yang baru saja membuka pintu kamarnya—menoleh ke arah si penanya lancang yang berani menanyakan hal itu. "Bukan urusanmu!!"
"Ternyata benar. Bapak berselingkuh!!" kata Daisy geram. Napasnya memburu. Hatinya benar-benar sakit jika mengingat pertengkaran demi pertengkaran hebat orangtuanya.
"Dasar anak tak tahu diri!!" bentak Agus. Lalu ia mendekati Daisy.
PLAAKKK!!
Sebuah tamparan mendarat dengan sukses di pipi Daisy. Semu merah membentuk lima jari tercetak jelas di wajahnya. Rasa pedih sekaligus dengingan-dengingan menyakitkan berdengung di telinganya.
"Itu pelajaran buatmu! Jaga mulutmu. Jangan lancang seperti Ibumu!!" Agus berlalu dari hadapan Daisy, lalu membanting pintu kamar sejadinya.
Nicko—adik Daisy yang sejak tadi menyaksikan pertengkaran itu—sesenggukan menahan tangis. Ia ketakutan.
Daisy mengusap air matanya yang sempat menetes, saat hatinya kepalang tanggung menahan sakit. Ia menghampiri Nicko, lalu memeluknya. "Nggak apa-apa. Semua akan baik-baik saja." Daisy berusaha menenangkan adiknya. Padahal ia tahu, tak ada yang baik-baik saja.
"Kak Daisy, kita tinggal sama siapa? Bapak jahat sama kakak. Nicko nggak mau kakak dipukulin bapak lagi," ucap Nicko lirih. Ia memandangi wajah kakaknya yang terbalut luka.
Daisy nyaris tak tahu harus menjawab apa. Jika bisa, ia ingin membawa adiknya pergi dari rumah itu. Tidak tinggal dengan ibu mereka, tidak pula dengan bapak mereka. Namun, ia belum bisa menyelamatkan hidupnya dan adiknya. Satu-satunya tempat yang bisa ia datangi hanya ibunya. Tinggal wanita itu yang ia percayai.
"Kita tinggal sama Ibu, ya. Besok kita pergi," katanya dengan tenang. Berharap ketenangannya itu mampu menjalari adiknya.
"Kakak besok nggak kuliah? Kalau Nicko kan bisa nggak sekolah aja sehari."
Daisy semakin miris mendengar kalimat yang teruntai dari adiknya. Tak ada siapa pun yang lebih dipercayainya, kecuali adiknya.
"Nggak. Besok dosen kakak nggak masuk. Kita beresin baju dulu, ya …" Daisy terpaksa berbohong. Adiknya itu tak akan membiarkannya bolos kuliah demi menyelamatkan hidup mereka. Selama ini, hanya Nicko yang menjadi orang terdekatnya, yang paling disayanginya.
****
Seperti apa sakitnya tamparan yang mendarat di pipi Daisy, bagaimana pedih yang menghunjam hatinya karena tamparan itu, dan seperti apa dengingan-dengingan bekas tamparan yang terdengar memekakkan telinganya, seperti itulah kesannya tiap kali ia mendengar kata kasih sayang.
Bagi Daisy, cinta, kasih sayang, hanya sebuah kata yang menghalalkan kesedihan dan penderitaan. Semua itu hanya kata munafik, yang diciptakan penyair lama, hanya untuk menyenangkan hati mereka sesaat.
Daisy tak pernah mendapatkan senyumnya lagi. Tidak sejak hidupnya dipenuhi pertengkaran orangtuanya. Kini, ia harus menerima satu kenyataan lagi yang semakin memilukan hatinya. Kedua orangtuanya sudah bercerai.