Try new experience
with our app

INSTALL

BEHIND APARTEMENT DOOR 

2

Entah sudah keberapa kali Alaska menyemprotkan disinfektan dan juga pengharum ruangan ke seantero apartemen barunya. Dia baru sampai di Surabaya siang tadi, jadi aromanya masih sedikit apak. Belum lagi saat pria itu meninggalkan apartemennya menuju pusat perbelanjaan, dia lupa untuk sedikit membuka jendela untuk sirkulasi udara.

Baru saja akan duduk, suara ribut-ribut terdengar. Ada percampuran omelan wanita dan juga pria di sana. Ketika samar-samar mendengar suara mengantar barang, Alaska merasa dirinya terpanggil.

“Perasaan di lantai ini hanya ada dua unit, bisa-bisanya salah kirim,” keluh Alaska.

Segera saja dia membuka pintu. Benar saja, tiga orang pria dengan seragam toko elektronik ada di tengah lorong. Semuanya kompak memasang jarak berjauhan. Masker lengkap menutupi area hidung dan mulut, bahkan ketambahan pelindung wajah. Ada beberapa kotak berbagai ukuran yang ditaruh sembarangan di lorong.

Fokus Alaska kemudian berpindah pada kepala wanita yang menyembul dari sela pintu di seberang. Tidak ada riasan di wajahnya, tapi terlihat sangat bersih terawat. Rambutnya dicepol tinggi. Ekspresinya galak dengan kedua alisnya yang menukik.

“Saya bilang saya nggak beli barang-barang ini!” omelnya.

“Pak, pak.” Alaska buru-buru menengahi. “Ini barang-barang saya.”

Seketika perhatian semua orang tertuju pada Alaska. Pria itu geleng-geleng. “Tadi saya bilang unit sisi kanan, Pak. Di sini hanya ada dua unit, harusnya sih nggak salah.”

Seorang pria yang membawa map plastik langsung menunduk untuk membaca tulisan di sana kertas. Kemudian, dia menyodorkan map plastik tersebut kepada Alaska seraya berkata, “Di sini Bapak menulis sebelah kiri, kami tidak salah.”

Alaska meringis. Kali ini, dia tidak bisa mengelak karena bukti nyata tulisan tangannya ada di depan mata. “Saya yang salah, sori, Pak. Barang-barangnya tolong ditaruh di dalam aja, nanti biar saya yang atur sendiri.”

Segera setelahnya para pria itu mengangkat kotak-kotak elektronik milik Alaska untuk dimasukan ke apartemennya. Sedangkan Alaska sendiri masih terpaku di depan lorongnya. Perhatiannya kembali tercurah pada tetangganya.

“Hai, sori buat keributan barusan. By the way, kenalin saya Alaska, tetangga baru yang tinggal seberang unit kamu.”

Alaska mengulurkan tangan begitu saja. Namun, wanita itu hanya menatap tangannya sejenak, lalu kembali menatap Alaska. Dia berkata dengan nada datar, “Jangan ganggu-ganggu saya lagi.”

Setelahnya wanita itu membanting pintu tepat di depan wajah Alaska. Pria itu menganga. Kemudian, mendengkus keras. Tanpa sadar dia mengumpat, “What the!”

Emosinya yang belum stabil berkat kepindahannya yang mendadak dan pandemi, sekarang malah ketambahan punya tetangga judesnya luar biasa. Untungnya Alaska masih sanggup memasang senyum palsu di depan para petugas pembawa barangnya serta masih ingat memberi sejumlah tips untuk mereka.

Begitu dia kembali ke kamar, sekali lagi Alaska menyemprotkan disinfektan ke seluruh ruangan. Hanya saja saat ini, dia ketambahan mengomel panjang lebar. Dan ketika dia teringat dalang yang membuatnya terdampar di sini, pria itu segera meraih ponselnya. Dihubunginya Aileen.

“Gimana Surabaya, Ka?”

“Buruk!” jawab Alaska begitu saja. “Gue baru pindah dan udah dijudesin sama tetangga seberang apartemen. Kak, gue tahu gue salah karena salah bedain kanan dan kiri sampai petugas salah unit pas antar barang, tapi gue rasa itu masih bisa dimaklumi lagian gue juga gue baru pindah beberapa jam. Dan itu cewek malah suruh gue nggak ganggu dia, siapa yang ganggu dia? Najis! Gue nggak mau berurusan sama dia lagi.”

Bukannya bersimpati, Aileen malah tergelak di ujung sana. “Baru juga beberapa jam di Surabaya, eh udah ketemu cewek yang berkesan buat elo, Ka. Jodoh tuh!”

Alaska memelotot. “Kak, tolong ya ... kita fokus sama kelakuan nggak bersahabat cewek itu. Sialnya di lantai ini hanya ada dua unit, punya gue dan punya si cewek galak itu!”

“Wah, cerita semakin menarik.” Aileen terkekeh pelan.

“Kak Aileen, serius!” Alaska mulai ikutan judes.

Di ujung sana Aileen berdehem pelan. “Oke, oke gue serius. Ka, sekarang kan udah cukup malam. Mungkin tetangga lo lagi struggle sama sesuatu di balik pintu apartemennya. Terus mungkin juga dia lagi PMS. Jadi gue rasa, wajar dia agak nggak bersahabat karena dia nggak mau diganggu, tapi malah terganggu. Dan lagian, nggak biasanya lo meledak hanya gara-gara punya tetangga judes, Ka?”

Pertanyaan Aileen seketika membuat Alaska terdiam. Pria itu langsung bertanya-tanya kenapa dia bisa semarah itu.

“Mungkin ... karena gue masih belum menerima pekerjaan dan tempat baru gue saat ini,” ucap Alaska. Dia mencari-cari alasan masuk akal. “Bisa juga karena gue sadar, itu cewek satu-satunya tetangga gue di sini. Kalau butuh apa-apa kan tetangga nomor satu, tapi malah dapat yang judes. Sori, Kak, sebenarnya sejak menginjakkan kaki di Surabaya, gue kayak mulai meledak-ledak.”

Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. “Perubahan hidup yang mendadak pasti nggak mudah, Ka, gue ... paham. Terus beban kerja lo yang dari anak magang tahu-tahu ditunjuk jadi manajer keuangan. Tapi, Ka, Arsan nggak mungkin sembarangan dalam mengambil langkah termasuk menunjuk elo jadi salah satu manajer keuangan di perusahaan dia. Dia percaya elo, Ka, gue juga. Semangat, adik kecil!”

Alaska mendesah panjang, sebelum mengucapkan terima kasih.

Panggilan segera ditutupnya, lalu dia bergerak menuju balkon. Dibukanya jendela lebar-lebar. Langit di luar sana gelap, tapi tampak gemerlap oleh benda langit. Alaska berharap awal barunya di Surabaya yang dibuka dengan penuh gejolak ini akan mengantarkannya ke hal-hal luar biasa di kota ini.

***

Napas Alaska tersengal. Pabrik milik Facayu ternyata terlalu besar untuk dia kelilingi. Belum lagi berkat masker yang membuat pertukaran udara melalui hidungnya terhambat. Dan dia masih diajak mengobrol banyak hal dengan Fathir, kepala cabang Facayu Surabaya.

“Capek ya, Pak Alaska?” tanya Fathir seraya duduk di kursi belakang, tepat di sebelah Alaska. “Kita langsung balik kantor aja ya. Nanti kalau ada yang mau diobrolin, bisa sambil jalan aja. Ini juga udah mau makan siang.”

Alaska yang masih susah bernapas hanya mengangguk. Sayang sekali, dia tidak bisa melepaskan maskernya begitu saja. Jadi, pria itu hanya menarik sedikit bagian tengah masker agar ada oksigen semakin banyak yang masuk ke paru-parunya.

“Sori, Pak Fathir, gara-gara pandemi saya jadi jarang olahraga, jadi jalan jauh bikin ngos-ngosan.” Alaska nyengir. “Ngomong-ngomong saya penasaran, kenapa pabrik sebesar itu, tapi bagian kantornya malah berbeda tempat?”

Fathir manggut-manggut, lalu menjelaskan, “Kita berdua sama-sama tahu Facayu ini baru belasan tahun berdiri. Dibanding pesaingnya, bisa dibilang masih remaja lah Facayu. Beberapa tahun awal berdiri, produksi produk Facayu masih ikut dengan pabrik lain. Kemudian, baru setelahnya pabrik Facayu berdiri sendiri. Karena sejak awal pabrik dan kantor sudah terpisah, jadi ya sudah dibiarkan seperti ini. Para reseller Facayu juga sudah sangat tahu kantor Facayu di mana, jadi tidak membuat mereka harus jauh-jauh ke pabrik, Pak.”

“Padahal menurut saya, Pak Fathir, kantor dan pabrik harusnya berada dalam satu lingkungan yang sama. Kita jadi bisa potong ongkos bensin dan lain-lain hanya untuk ke pabrik, lalu balik ke kantor.” Alaska meringis. “Bagaimanapun saya orang keuangan, masalah sesederhana ongkos bolak-balik kayak gini tetep dipikirkan.”

“Saya paham, Pak,” jawab Fathir sambil sedikit terkekeh. “Sebenarnya beberapa saat lalu Pak Arsan juga memikirkan untuk menjadikan kantor dan pabrik berada di satu tempat. Pas pandemi gini, kalau pekerja bekerja di satu atap yang sama memudahkan kita untuk melakukan pelacakan apabila ada satu orang terkena virus. Hanya saja, kita semua tahu saat pandemi ini cashflow perusahaan nggak lancar, pegawai nggak bisa masuk 100%, biaya tambahan untuk pemeriksaan kesehatan pegawai secara berkala, belum lagi kalau mau buat bangunan juga mikir-mikir karena izinnya pasti jauh lebih sulit.” 

Seketika Alaska meringis. Penjelasan Fathir semakin menambah beban di bahunya. Apalagi sepertinya kepala cabangnya ini sedikit memberitahukan bahwa Alaska harus mulai memikirkan budget untuk membangun bangunan baru di pabrik saat pandemi. 

“Saya ... mohon bimbingannya, Pak Fathir. Saya harap senior saya nantinya bisa bimbing saya dengan sabar, bagaimanapun saya baru dalam posisi ini,” ucap Alaska pada akhirnya.

“Kita sama-sama bekerja sama, Pak. Sesampainya di kantor, kita bisa langsung ketemu dengan senior keuangan yang akan membimbing Pak Alaska nantinya,” jelas Fathir, sebelum mobil menjadi hening.

Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya mobil berhenti di sebuah bangunan belasan lantai. Alaska tahu Facayu hanya menggunakan lima lantai terbawah.

Saat memasuki lantai pertama, mereka langsung disambut dengan toko yang menjual segala macam produk Facayu dan anak mereknya. Tidak terlalu ramai, hanya ada tiga orang ibu-ibu berkerudung yang tengah memutari toko. Beberapa pegawai juga tampak sibuk mengemas produk-produk ke dalam kardus untuk dikirim entah ke mana.

Mereka kemudian bergegas memasuki lift. Fathir juga menjelaskan bahwa kantornya sebagai kepala cabang ada di lantai 5, sedangkan kantor Alaska ada di lantai 4. Hanya saja mereka malah terus menuju lantai 5.

“Walaupun kita tahu manajer keuangan sebelumnya sudah tidak ke kantor sejak seminggu sebelum meninggal, tapi kita sepakat untuk tidak menggunakan lantai itu sampai dua mingguan atau esok hari. Jadi, kita ketemu senior keuangan di ruangan saya saja,” jelas Fathir yang hanya dibalas gumaman lirih Alaska.

Ketika mereka sampai di lantai 5, ada beberapa pegawai yang tengah sibuk dengan laptop di beberapa area. Hanya saja Fathir terus menuntun Alaska memasuki bagian yang lebih dalam, lebih tepatnya ruangan pria itu.

“Kok nggak ada orang,” gumam Fathir seraya mempersilahkan masuk Alaska. “Mungkin ke kamar mandi. Saya hubungi dia dulu, Pak.”

Alaska mengangguk. Dia bergerak menuju jendela besar yang ada di ruangan Fathir. Bagaimanapun ruangannya tentu tidak akan mendapatkan pemandangan seperti ini, dia hanya manajer, bukan kepala cabang.

“Benar, dia sedang ke kamar mandi.” Fathir kembali bersuara. “Senior yang akan mengajari Pak Alaska bernama Btari—”

“Btari Parmadita.”

Tahu-tahu saja suara wanita memotong ucapan Fathir. Alaska sontak menoleh. Mata pria itu langsung melebar. Tanpa sadar dia berteriak hingga mundur beberapa langkah, “ELO?”

Btari hanya tersenyum kecil. Tidak ada lagi cepol tinggi seperti yang terakhir Alaska lihat semalam, melainkan rambut yang dikuncir rapi. Riasan lihai yang membuat wajahnya tampak semakin menarik, terutama bibir warna cokelat tua yang anehnya tampak sangat cocok di wajahnya yang memiliki dagu lancip.

Hanya saja, perhatian Alaska malah tertarik ke hal lain. Saat Btari yang semakin mendekat, pria itu terkejut menemukan perut buncit Btari.

“LO HAMIL?” tanya Alaska begitu saja. Nada suaranya agak meninggi.

“Jalan lima bulan, Pak Alaska,” terang Btari. Dia menyodorkan kepalan tangan yang mau tak mau Alaska balas dengan mempertemukan kepalan tangan mereka. Itu adalah cara baru bersalaman saat pandemi. “Mulai hari ini sampai waktu yang belum ditentukan, saya akan membantu Pak Alaska untuk beradaptasi dalam ritme pekerjaan sebagai manajer keuangan. Salam kenal.”

Alaska meringis. “Salam kenal.”

Ketiganya langsung mengobrol berbasa-basi sejenak, sebelum akhirnya Btari izin keluar ruangan karena sudah waktunya makan siang. Mereka tidak mungkin menahan seorang wanita hamil makan siang tentu saja.

“Sejujurnya saya kasihan dengan Btari, Pak Alaska.” Ucapan Fathir membuat Alaska menoleh. “Btari memang sedang hamil beberapa bulan, tapi sayangnya suaminya lebih dulu meninggal karena covid bahkan sebelum Btari tahu dirinya hamil. Sebagai seorang ayah, jujur saya ikut sedih mengetahui ada ayah lain yang belum sempat mengetahui keberadaan anaknya, tapi keburu dipanggil Tuhan. Saya harap Pak Alaska dan Bu Btari bisa menjadi rekan kerja yang baik. Dan mohon dimaklumi dengan ekspresi wajah Bu Btari yang kurang ramah.”

“Baik, Pak.”

Hanya itu jawaban Alaska. Pria itu terlalu bingung untuk merespons. Di satu sisi dia simpati dengan keadaan Btari, tapi di satu sisi ingatan tetangga judes yang membuatnya darahnya mendidih semalam juga berputar di kepala.

Padahal Alaska sudah berdoa agar Tuhan tidak membuatnya berurusan dengan Btari. Sekarang, mereka bukan hanya sekadar tetangga, tapi juga partner kerja. Belum lagi fakta mengenai kehamilan Btari yang seorang diri. Alaska tidak mau bersikap jahat, tapi Btari sudah punya kesan buruk di kepalanya sejak awal.

***