Contents
Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)
7. I (ALMOST) GOT YOU
From: Christian Hansen (chris.fromthehell@gmail.com)
Subject: I hate summer
Still obsessed with that mysterious man? Aku sudah menduga kalau kau akan kembali lagi ke Edinburgh. Sayang sekali aku tidak bisa menyaksikan kegilaanmu mengelilingi Edinburgh demi cintamu yang berharga itu.
Sekarang aku berada di Glasgow. Sebelum kamu bertanya, aku tidak sedang melamar pacarku. Sebelum kamu bertanya lagi, aku benci suasana festival di Edinburgh, dan sebelum kamu bertanya mengapa, aku tidak suka keramaian dan turis yang terlalu banyak. Jangan salah paham ya, kau bukan turis, kau itu orang gila karena cinta. Tapi apapun itu aku mendukungmu. Sampaikan salamku untuk calon ibu tirimu (ups) dan pengawal pribadimu.
PS: Kalau kau patah hati, dan butuh teman menangis, please .... Don't come to Glasgow. Pacarku super cemburuan. Ini serius
Aku membaca email yang dikirimkan Christian sebagai balasan teleponku pagi ini. Semalam aku mencoba menghubungi ponselnya, tapi gagal karena cuma terhubung pesan suara. Di satu sisi, Astrid mengatakan aku datang di saat yang tepat saat musim panas dan musim festival berlangsung, tapi di saat yang lain, bagi Christian, kedatanganku sungguh timing yang buruk.
Aku mematikan Ipad-ku dan menaruhnya kembali di tas. Kulupakan segera the insensitive friend yang lebih memilih pacaran ketimbang menemaniku di sini. Tapi dipikir lagi, aku punya hak apa? Christian bukan pacarku, dan aku yakin mau stok persediaan laki-laki menipis sekalipun hubungan kami tidak akan senorak itu sampai kami bisa bertukar kata cinta atau rayuan.
Tapi kenyataannya selain Christian, aku tidak suka ada orang lain yang menemaniku. Sementara pria yang tadinya kukira pendiam asisten papa itu berkeras mengantar. Dan aku tidak bisa memaksa Arlan untuk berhenti mengawasiku. Padahal tadinya kehadiran Arlan kukira hanya semata pemanis, meskipun yah harus kuakui wajahnya di atas standar untuk sekadar dibilang 'manis'.
"Is there's something on my face?"
Arlan tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari jalan di depan sementara ia menyetir. Ya, saat ini asisten slash sekretaris papa itu sementara berprofesi sebagai sopir pribadiku.
"Nope."
"Kalau begitu kenapa kamu melihatku seperti itu?"
Aku mendengus.
"Apa kamu jatuh cinta sama aku?" tanyaku kesal.
"What?"
"Lupakan saja. Kurasa aku terlalu berimajinasi."
"Hey ... hey .... Ada apa denganmu?"
"Seseorang menertawakan aku karena aku mengeluh berjalan-jalan di Edinburgh selalu jalan kaki, dia membodoh-bodohiku karena tidak ada turis bodoh yang mau repot-repot menyetir di Edinburgh. Dan tidak kusangka, di sinilah orang bodohnya."
"Kau masih marah karena aku memaksa ikut menemanimu?"
"Tidak, aku hanya berpikir ... kecuali kamu jatuh cinta padaku, pasti kamu orang bodoh. Tapi kupikir lagi, kamu mencintai Astrid jadi tidak mungkin suka padaku. Dan itu artinya ..."
"Stop it! Bisa tidak kamu tidak membodoh-bodohi seseorang? Aku punya kewajiban melindungimu. Itu perintah papamu."
"Tapi tidak harus menyewa mobil untuk mencari-cari alamat di Edinburgh. Christian bilang, sangat repot memakai mobil. Dan mobil tidak boleh dipakai di pusat kota."
"Kalau begitu, aku bisa memarkirnya di pinggiran kota. Gampang kan?"
Aku menggeram kesal. Percuma berdebat.
"Dengar, Rena .... Aku mengalah karena kalian lebih memilih tinggal di wisma ketimbang di hotel dengan alasan efisiensi. Kalau efisiensi sedemikian penting, begitupun alasanku lebih memilih menyewa mobil ketimbang memakai taksi."
Aku tahu itu, aku cuma ingin memberontak. Hari ini sebenarnya hari yang sangat penting bagiku, hari yang cukup pribadi karena aku mengharapkan pertemuanku dengan Jim Morley. Aku tidak menginginkan siapapun menemaniku. Aku menolak kehadiran Astrid dan wanita itupun paham itu. Tapi kenapa laki-laki kaki tangan papa itu sama sekali tidak bisa melihat itu?
"Tapi Rena .... Can I ask you question?"
"Apa?"
"Dari tadi kamu mengkritikku dan terus-menerus menolak memakai mobil, tapi bisa tidak kamu jelaskan kenapa sepanjang perjalanan kita dari wisma kamu terus saja memutar musik piano ini? Di mobil ini."
Aku terdiam. Itu juga salah satu kebodohanku. Obsesiku pada pemain piano itu membuatku memburu semua hal yang berhubungan dengan Jim Morley, termasuk CD instrumen yang pernah ia rilis. Setiap ada kesempatan aku mendengarnya, aku tidak akan mengistirahatkan telingaku barang sebentar. Aku terlalu senang ketika semalam berhasil mendapatkannya di sebuah toko musik sekitar wisma.
"Aku cuma ... suka mendengarnya."
"Apa ini ada hubungannya dengan rencanamu mendatangi alamat yang diberikan Astrid?"
"Menyetir sajalah, asisten ..."
Aku lebih memilih tidak secara detil membicarakan urusanku. Bahkan dengan orang yang sebulan ke depan secara sukarela menjadi sopir pribadiku.
Aku membiarkan alunan piano menentramkan yang diciptakan Jim itu mengisi kekosongan sepanjang perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak kami meninggalkan wisma kami di kawasan Gilmore Place, Midlothian. Dari alamat yang diberikan Astrid tentang lokasi apartemen Jim di Drummond street, aku mendapatkan informasi kalau apartemen itu tidak jauh. Mungkin hanya setengah jam jalan kaki. Bisa kurang karena aku tahu kebiasaan orang Edinburgh gemar berjalan cepat. Ya karena udara terlalu dingin, bahkan di awal musim panas seperti menjelang bulan Agustus ini.
Tapi mengingat yang mulia asisten keras kepala ini memilih mendatangi tempat itu dengan memakai mobil, aku membayangkan pasti lebih banyak waktu kami habiskan untuk memutari jalan dan mencari tempat yang memperbolehkan kami memarkir mobil tanpa ada resiko diderek ataupun ditilang. Semoga saja kali ini Arlan lebih berguna dan sepadan dengan kesombongannya.
“Apa kamu yakin tahu alamatnya?” tanyaku mencoba mengujinya.
“Aku sedang mencarinya. Aku sering datang ke Edinburgh saat musim liburan ketika masih kuliah. Drummond street masih satu area dengan Universitas Edinburgh, seharusnya aku juga familiar karena banyak temanku yang mengambil studi di universitas itu. Ah lihat, kita sudah sampai di St. Chambers.”
Saint Chambers yang dimaksud Arlan adalah sebuah jalan yang membawa kami melewati sebuah persimpangan dari George IV bridge. Arlan membelokkan setirnya ke kanan. Tepat ketika mobil kami berbelok, asisten papa itu menunjuk pada sebuah bangunan besar yang berada di pangkal persimpangan ini, aku membaca tulisan besar di pintu masuknya, National Museum of Scotland.
“Somehow, aku membayangkan sesuatu di dalam museum itu sangat mirip denganmu.”
“Aku? Memangnya apa yang mirip?”
“Konstruksi tulang tyrannosaurus rex raksasa sesuai ukuran asli. Dengan tengkorak yang dipenuhi taring.”
“Are you trying to make a joke?” sindirku sarkastik.
“No, I’m trying to seduce you.”
“You kidding me?” tak pelak aku tertawa dengan candaan garingnya.
“See? Wajahmu lumayan kalau kau tidak melengkungkan sudut bibirmu ke bawah. Apa kau punya alasan khusus kenapa aku harus menjadi korban kekesalanmu?” tanyanya, kali ini dengan wajah yang jauh dari arogan.
Aku terdiam. Pria ini terdengar lebih sensitif ketimbang yang kuperkirakan.
“Aku mendengar percakapan kalian sedikit saat di luar wisma. Jim Morley ini adalah orang yang alamatnya sekarang kau pegang, iya kan?”
Aku tidak menyanggah, namun juga tidak mengiyakan.
“Dia alasan sebenarnya kamu mengikuti Astrid ke tempat ini kan?”
Aku tidak menjawab. Sebisa mungkin aku tidak ingin bercerita banyak pada pria ini atau aku akan berakhir pulang ke Jakarta sebelum aku menemukan apa yang kuinginkan.
“Aku tidak suka mengatakan ini. Aku tidak senaif dan sebebas Astrid dalam memutuskan sesuatu. Kalau kau berharap menemukan apa yang kamu cari dan kamu akan bahagia, itu keliru.”
“Aku tidak pernah mengharapkan apapun,” sanggahku.
“Just keep it to your mind. Aku berani jamin ia seniman dan pianist yang brengsek. Menyakiti perempuan kedengaran seperti hal yang mudah dia lakukan.”
“Apa maksudmu? Jim bukan orang seperti itu. Dia ... dia ...”
“Kita sudah sampai.”
“Apa?”
Aku menelusuri pandanganku. Tanpa kusadari, Arlan telah menghentikan mobilnya tepat jalan yang tidak cukup lebar dibandingkan jalan yang sebelumnya kami lalui. Aku memperhatikan sekelilingku. Mobil berhenti di depan sebuah restaurant India.
“Kau lihat bangunan bergaya Victoria itu? Tepat menghadap persimpangan Roxburgh. Aku tidak tahu apakah itu yang dimaksud alamat yang kau pegang. Tapi seingatku itu apartemen terbesar di blok ini. Kalau salah sekalipun, kau tidak akan tersesat jauh. Drummond street tidak terlalu luas.”
Aku memperhatikan bangunan berdinding bata terakota yang ditunjuk Arlan. Jantungku rasanya ingin melompat keluar dan itu membuatku lupa sama sekali kekesalan yang kurasakan untuk Arlan karena berlaku menyebalkan.
“Lalu ... kamu tidak ikut turun?”
“Aku cuma sopir ingat? Aku tidak akan ikut campur untuk urusan menemukan lelaki idamanmu. Kalau kau butuh bantuanku, aku tidak jauh dari sini. Mungkin aku cuma sekedar mengisi perutku dengan kari India.”
Arlan mengangkat bahunya tanda ia bersikap tidak peduli. Untuk satu ini aku merasa keputusannya tepat. Perjalanan ini sudah cukup penting. Namun menemukan dimana tepatnya lokasi tempat tinggal Jim bahkan lebih sakral dari peristiwa apapun. Pelan-pelan aku membuka pintu mobil berwarna hitam ini dan berjalan sedikit tergesa-gesa.
"Oke, Rena ... relax ..."
Tanpa sadar aku berbicara sendiri semata untuk menenangkan debaran gila yang mendominasi denyut jantungku.
***
"Kamu benar-benar gila."
Ya, aku tahu.
"Kamu serius akan melakukan ini? Ini ... kekanak-kanakan, you know?"
I knowwww ...
"Tidak bisakah kamu menemuinya dengan cara yang biasa?"
Aku melotot ke arah pria di sampingku yang berbicara lebih banyak ketimbang tarikan napasku. Beberapa jam lalu ia bilang tidak akan ikut campur urusan mencari idamanku, namun komentar-komentarnya sekarang tidak ada bedanya dengan ibu-ibu arisan yang repot melarang anaknya apakah boleh main seluncur atau tidak.
Aku membaca kembali formulir pendaftaran di depanku. Formulir yang menurut Arlan membuatku kelihatan konyol untuk pencarianku.
Formulir pendaftaran sekolah musik.
Dan lagi, why cello?
"Kamu yakin tidak salah orang? Yakin pria yang kamu cari itu guru cello? Bukannya piano? Kamu yakin seorang pianist yang sudah mengeluarkan CD mengajar di sekolah musik usang begini?"
Aku ragu dan sejenak mengurungkan niatku untuk menandatangani formulir di depanku.
Hanya keberuntungan yang membimbingku sampai ke tempat ini. Kalau apa yang kualami beberapa jam lalu bisa disebut keberuntungan, seharusnya aku tidak ragu lagi. Tapi ...
Baiklah, aku jelaskan sebentar keganjilan yang melanda benakku ini.
Beberapa saat setelah Arlan mengantarku ke sebuah apartemen cukup besar di Drummond street, dan memastikan benar dengan menanyai beberapa orang yang melintas di sekitar apartemen itu, aku yakin aku telah menemukan alamat Jim Morley. Setelah beberapa kali ketuk pintu dan menunggu respon di depan pintu apartemen Jim aku kembali putus asa karena mengira Astrid salah memberiku informasi. Hal itu menarik perhatian seorang wanita setengah baya tetangga sebelah. Dan aku mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Jim sudah tidak pulang ke apartemen selama tiga bulan semenjak kematian tunangannya.
Sekarang setelah usaha yang kulakukan, aku kembali ke titik nol.
Zero.
Nothing.
Tidak secuil pun informasi yang bisa kudapatkan dari tetangga apartemennya selain fakta bahwa mereka tahu, tetangga mereka yang tampan itu seorang pianist. Selebihnya, selain tunangannya, mereka tidak banyak tahu siapa kenalan dan kerabat yang pernah mengetuk pintu apartemen Jim.
Aku tidak punya rencana lain selain menghampiri Arlan yang sedang menyantap sepiring kari di sebuah restaurant India tempat dimana laki-laki itu memarkirkan mobilnya. Restaurant yang biasa didatangi pengunjung yang mayoritas dari Asia itu ternyata sangat gemar memamerkan event-event sekecil apapun termasuk jika ada selebritis yang mendatangi restaurant mereka. Itu aku perhatikan dari dinding-dindingnya yang dipenuhi ornament khas India dan foto-foto pemiliknya dengan beberapa orang terkenal dan beberapa tidak aku kenal. Strategi marketing yang agak tidak pas karena tidak banyak orang Asia yang tahu selebriti lokal seperti seniman pelukis, walikota, Miss England dan lainnya. Sudah kubilang kalau kebanyakan pengunjung adalah orang Asia kan? Bukan Asia Timur atau Utara, melainkan Asia dengan kulit berwarna, semacam kami yang dari Indonesia, Thailand, Malaysia atau orang India sendiri.
Dan mataku berhenti di sebuah foto. Foto yang tidak jauh dari deretan kursi di dekat kasir. Foto seorang pria India bertubuh tambun yang tengah berpose jumawa di samping seorang pria bermata hijau terang yang mengenakan t-shirt tanpa lengan. Tidak butuh waktu lama bagiku mengenali bahwa pria bermata hijau itu adalah Jim Morley. Aku perhatikan dengan seksama. Gaya rambut Jim saat itu sedikit lebih pendek dari terakhir yang pernah kulihat. Foto itu diambil akhir tahun kemarin. Tidak terlalu lama. Aku buru-buru menanyakan pada petugas kasir. Dan jawabannya cukup bisa ditebak. Dia tidak tahu apa-apa soal keberadaan Jim.
Tapi di saat yang sama, aku mendengar anak perempuan berteriak cukup kencang dan menunjuk ke sebuah foto Jim.
"Mom, look! There's my teacher in that picture."
Anak perempuan berambut pendek, berusia sekitar sembilan tahun. Anak itu memakai sweater dan rok tutu. Tampak ia baru pulang dari kelas baletnya. Aku buru-buru menghampiri gadis kecil dan ibunya yang tengah membaca menu. Di antara semua pengunjung, barangkali mereka termasuk pengunjung pertama berkulit kaukasia yang aku temui di sini.
"Excuse me. Hi..., can I ask you question? Tadi anak anda menunjuk foto yang di sana. Apa anda mengenalnya?" tanyaku sembari menunjuk foto Jim. Ibu dari gadis cilik itu menatapku sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Oh yes. He's a cello teacher in my daughter's music school."
"Teacher? Cello?"
Aku mendadak terperangah dengan jawaban wanita itu.
“But … he’s …”
“I know. Aku tahu dia pianis. Sejujurnya aku juga lebih suka anakku belajar piano darinya. Tapi, aku terlalu senang dengan fakta bahwa orang sekeren Jim Morley mengajar di sekolah itu. Meskipun itu artinya aku harus memaksa anakku belajar cello. Cello ya ampun ... anakku bahkan belum bisa memegang alat musik itu dengan benar. Sepertinya alat musiknya lebih berat ketimbang berat anakku. Ah, bagaimana ini?”
Tanpa diminta, wanita itu bercerita lebih banyak ketimbang informasi yang kuminta. Pianis yang mengajar cello. Aku memutuskan untuk mempercayai wanita ini dan mengambil resiko.
“Uhm ... bisakah Anda mengatakan padaku, dimana alamat sekolah musiknya?”
***
Berbekal permintaan itu, aku akhirnya sampai di tempat ini. Ya. Tempat yang disebut sekolah musik ini tidak lebih besar ketimbang wisma yang kami tempati. Meskipun bergaya Georgia, sekolah ini seperti ditata seenaknya. Interior klasiknya terpaksa berbaur dengan atribut-atribut minimalis modern. Aku terbiasa melihat gaya Georgia atau Medieval baik untuk bangunan ataupun interiornya. Namun melihat ruangan ini sama seperti menyaksikan gedung Scottish Parliament yang kontroversial sebagai gaya arsitektur “perusak” pemandangan bahkan lebih buruk. Ruangan atau yang disebut kantor administrasi pun tampak lengang. Komputer di ruangan ini berjejer tanpa sekat. Karena sempitnya ruangan membuatku yang sedang berada di ruangan khusus tamu ini leluasa memperhatikan aktivitas karyawannya. Itu pun kalau hanya dua orang bisa disebut sebagai karyawan.
“Jadi, apa kau sudah memutuskan akan mengambil kursus alat musik apa?” tanya laki-laki yang dipaksakan beraksen Inggris. Tidak, sepertinya aku mendengar aksen Amerika dari caranya bicara.
Aku kembali menatap Arlan, mencoba mendapatkan dukungan atas apa yang akan kulakukan. Namun sayangnya, makhluk satu itu tidak terlalu supportive dan lebih memilih menggelengkan kepalanya. Ya, aku tahu ia menganggapku konyol untuk mendaftar di sekolah musik ini hanya supaya aku bisa leluasa bertemu dengan Jim Morley tanpa harus berpikir keras apa alasan utamaku mencari keberadaannya.
“Bisakah aku mengambil jurusan piano saja tapi dengan pengajar Jim Morley?” tanyaku berusaha menawar dari apa yang ditawarkan kurikulum sekolah ini. Karena terus terang saja, kalaupun aku terpaksa mempelajari alat musik, aku mau alat musik itu cukup dikenal dan bunyinya sangat kusukai. Bukan alat musik bernada bass, yang bahkan untuk memegangnya saja sudah repot. Pria di hadapanku sepertinya memandangku dengan sedikit muak.
Muak? Hei, apa salahku?
“Oh, dear .... Kau orang keseratus sekian yang menanyakan hal itu dan meminta hal yang sama,” jawab pria itu dengan mimik wajah yang menyebalkan. Siapa sih orang ini?
"Kalau soal aku orang keseratus yang meminta hal yang sama, bukankah lebih baik kau mengabulkannya? Sekolahmu pasti dipadati murid."
Dan tentu saja kau jadi punya dana lebih untuk mendandani interiornya sedikit.
"Oh I've would loved to do that, even I have to fired the main piano teacher here. Tapi itu tidak mudah, nona ... Jim Morley sendiri menolak mengajar piano."
"Why?"
"Like the hell I know, memangnya aku ibunya?"
Kata-katanya yang menyebalkan dan sok kuasa itu aku asumsikan dia sendirilah pemegang jabatan tertinggi di tempat ini.
"So .... Do you still want to get in? Or not?" tanyanya lagi. Kali ini dengan nada mengultimatum. Kalau saja tidak ada Jim di tempat ini, dengan mudah aku meludahi pria menyebalkan di depanku. Dia pasti orang Amerika.
"Ok. Aku mendaftar."
"Renaaaaa ..." geram Arlan yang acuh tidak acuh mendengarkan percakapan ini.
"It's riddiculous," sambungnya lagi. Tapi aku terlalu sibuk untuk mempedulikan protesnya.
"I'm sorry, what's your name, sir?" tanyaku pada pria Amerika itu.
"Derek Hoogan."
"Ehm, Mr. Hoogan .... Apakah hari ini ... Jim ... I mean, Mr. Jim Morley ada kelas mengajar?"
"Yes, miss."
"Ummm, kalau boleh ... aku ingin melihat sedikit pelajarannya. Maksudku, aku baru saja ingin mempelajari cello, sekedar mengukur apakah sekiranya aku bisa mengikuti atau tidak arahannya."
Derek terlihat berpikir.
"Aku tidak ada masalah dengan hal semacam itu, tapi aku tidak tahu kalau Jim akan mengijinkan atau tidak. Dia cukup menerapkan aturan saat mengajar. Jadi ..."
"Tidak perlu. Kami akan pulang," potong Arlan seketika. Aku mendelik ke arahnya.
"Tapi ..."
"Kita tidak punya waktu, Rena. Kamu sudah mendaftar sebagai murid. Masih banyak waktu."
"Hey, jangan menyeretku!"
Aku baru saja memprotes perlakuan Arlan karena seenaknya menarik lenganku setelah aku menandatangi formulir dan menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya pendaftaran. Namun saat di depan pintu, sebelum Arlan menjangkau pegangan pintu, secara tiba-tiba pintu terbuka dari arah luar.
Lututku menegang dan sekujur tubuhku mengalirkan aliran listrik yang membuat langkahku terhenti seketika. Sosok yang tengah memasuki ruangan ini ... sosok itu, dia ... telah menjadi obyek pencarianku selama tiga bulan terakhir.
Pria bermata hijau cemerlang itu, sekarang dia tengah berdiri di depan pintu. Jim Morley.
"Oh, I'm so sorry. Apa aku menghalangi kalian?"
Entah ditujukan untuk siapa ia menunjukkan kesopanannya. Padaku? Atau Arlan yang saat ini berdiri di depannya. Aku masih tidak mampu bergerak dari posisiku berdiri saat ini. Lidahku kelu, mulutku terkunci. Fakta bahwa ternyata aku tidak siap bertemu Jim membuatku merasa gamang. Aku mencengkram erat lengan baju Arlan dan tanpa sadar menyembunyikan diriku di belakang pria itu.
"Tidak. Kami baru saja akan keluar. Ayo, Rena ..."
Aneh. Kali ini aku tidak melawan Arlan dan membiarkan asisten papa itu menggandeng lenganku. Sekilas aku menangkap kilasan tatapan mata Jim. Sorot mata itu ... aku memimpikannya setiap hari, namun ... aku terlalu pengecut untuk benar-benar berdiri di depannya, menatap matanya dan menyapanya dengan lantang, "hei, aku menyimpan cincin tunanganmu selama ini, kau ingat?"
Aku benar-benar bodoh.
Pintu di belakang kami tertutup. Bayangan Jim seketika lenyap dan suara-suara dari balik pintu itu seperti memudar seiring dengan langkah kaki dan Arlan yang menjauhi ruangan tadi.
Aku masih merasakan lututku yang lemas dan detak jantungku yang tidak beraturan.
"Dari reaksimu, aku yakin laki-laki yang baru datang tadi adalah Jim Morley. Apa-apaan kamu ini? Kamu seperti melihat hantu ketimbang seorang pria yang berbulan-bulan kamu kejar."
Aku tidak menjawab dan buru-buru berjalan ke arah mobil. Masuk, lalu menelungkupkan kepalaku di atas dashboard. Merayakan kebodohanku karena membuang kesempatan satu-satunya untuk bertukar salam ataupun menyapa pria yang telah membuatku meletakkan begitu saja harga diriku untuk mendatangi kota ini.
"Oh my .... Sekarang aku tahu kenapa kamu butuh alasan untuk menemuinya. Perkara sekolah musik dan mendaftar sebagai siswa ..."
"Shut up and just drive!"
Dan sepanjang perjalanan aku harus bertahan dengan tawa geli seorang asisten yang merangkap sopirku.
Ini penyiksaan ...
Dan jantungku ..., seolah-olah bisa berhenti berdetak kapanpun.
***