Contents
Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)
6. I REMEMBER YOU
“Kau ... seorang Jim Morley, sang pianist itu ... mau bekerja di tempat ini? Apa aku tidak salah dengar?”
Aku tidak percaya ini.
Dan aku sangat gatal ingin menjelaskan beberapa hal penting tepat di mukanya. Tentang seorang komposer jenius dari Austria yang diberkati kemampuan tala mutlak. Kau tahu artinya? Ya, kemampuan mengenali nada-nada atau yang biasa kau sebut not balok secara mutlak, tidak meleset satupun. Wolfgang Amadeus Mozart. Kau pikir musisi jenius itu dielu-elukan sepanjang hidupnya? Hah, kau pasti terkejut kalau tahu bahwa sosok sehebat dia pernah mengalami depresi berat dalam hidupnya. Bayangkan saja saat di usia enam tahun ia berhasil menciptakan symphony pertamanya. Tidak cukup hebat? Di usia dua puluh satu tahun, ia telah menciptakan tiga ratus komposisi gubahannya. Aku tidak akan terkejut kalau tuntutan kesempurnaannya membawanya pada tekanan demi tekanan yang dialaminya. Termasuk tekanan dalam dirinya untuk bertahan dalam keterpurukan ekonomi, dan penolakan gadis yang dicintainya karena musisi berbakat itu terlalu miskin.
Dan ini yang paling legendaris, Beethoven, the deaf classic musician. Mungkin dalam proses penerimaan atas kondisi hilangnya pendengaran yang dialaminya, pencipta sonata Moonlight itu pernah ingin bunuh diri. Berpikir seluruh karirnya akan habis jika tak lagi ada suara yang bisa ditangkap indera pendengarannya.
Sebut saja itu masa titik balik dalam hidup mereka, masa istirahat, masa pemulihan, masa pengembalian kepercayaan diri, etcetera ... etcetera, you named it.
Kalaupun tokoh selegendaris mereka diijinkan untuk rehat dari hingar-bingarnya musik yang menjadi sumber penghasilan, kenapa hal itu tidak berlaku padaku? Dan kenapa seseorang harus memandangi sedemikian heran hanya karena aku mencoba melamar pekerjaan yang jauh dari profesiku sebagai pianist?
Ok, tidak benar-benar jauh dari bidangku, musik. Tapi sangat jauh dari apa yang biasa aku lakukan.
"Why? Kenapa? Kenapa kau ingin bekerja di tempat ini?" tanya si pewawancara yang kuketahui bernama Derek. Nama Amerika. Logatnya juga sangat Amerika. Termasuk rasa ingin tahunya yang menyebalkan.
"Because I need money. What else?"
"Money? You are Jim Morley, for god's sake. Kau bisa mendapatkan uang dengan konser-konsermu, bergabung di orkestra, bermain solo atau sekedar di belakang layar sebagai penata musik. What the hell are you doing in this stupid music school?"
"And who are you? Pekerjaanmu adalah mewawancaraiku, menilai kemampuanku layak atau tidak menjadi pengajar di sekolah musik keparat ini. Bukannya memberiku ceramah soal profesiku dan apa yang seharusnya aku lakukan."
Oke, ini membuatku kesal. Dan aku tidak malu menyalakan rokok saat sedang diwawancarai seperti ini. Aku merasa ditolak bahkan sebelum aku mengenalkan diriku sendiri. Ah, sial .... Lighter-ku bahkan membuat masalah dan tidak mau menyala.
"Here ..." Tiba-tiba saja pria bernama Derek itu telah menyodorkan lighter dan menyalakan rokokku.
"Thanks," ujarku tanpa sungkan menghisap lintingan tembakau dan mengepulkan asap bahkan tepat di hadapan si pewawancara. Kelihatannya dia juga menjabat manager di tempat ini. Aku tahu beberapa orang yang mengenaliku sebagai pemain piano, tapi aku jarang berbicara lama kecuali kalau aku mengenal mereka. Dan pria ini, seriously .... Dia sunggu tidak sopan menghakimiku tiba-tiba bahkan sebelum aku menyampaikan niatku.
"I'm sorry, dude .... The truth, I always admire your works. Apa kau tahu kau itu pianis yang banyak menerima pujian? Majalah seni selalu memberitakan penampilanmu sebagai sesuatu yang ditunggu. Bahkan untuk Fringe Fetival nanti, aku bisa menjamin kursi penontonmu akan selalu penuh."
Pria itu anehnya juga menyalakan rokok dan menghisapnya seolah apa yang kami lakukan adalah pembicaraan antar teman, bukan hubungan pewawancara dan pencari kerja.
"And damn .... I can't believe I see you before my eyes, asking me a job. As a teacher," lanjutnya dan itu membuatku tidak sabar.
"I apreciate it. Tapi mari kita batasi percakapan kita seperlunya. Aku datang kemari karena beberapa temanku merekomendasikan tempat ini. If you're not going to hire me, can we skip this conversation?"
Derek terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya bersuara.
"Ah, kau benar ... masalahnya posisi untuk guru piano sudah terisi."
"Aku tidak bilang aku mau jadi guru piano."
"Huh? Kau tidak melamar sebagai guru piano?"
"Jadi posisi apa yang kosong?"
"Hmmm ... let me see ... cello and flute. Tapi ..."
"Good. I'll take cello then ..."
"Cello? Kau bisa memainkan cello? Maksudku ... kau bisa mengajari orang bermain cello?"
"Tentu saja aku bisa."
"B ... but ..., you're ... I thought you are ..."
"Bukan hal yang aneh kalau seseorang sanggup memainkan dua atau lebih alat musik. Cello aku pelajari waktu aku masih mahasiswa. So .... Will you hire me, or not?"
Derek masih tertegun. Ia mungkin tidak menyangka, nada suaraku berubah mengultimatum dan terdengar menyudutkan ketimbang memohon. Jadi siapa di antara kami yang lebih tidak sopan?
"O ... ok, jadi kapan kau mulai bekerja? ... Oh my god, Jim Morley mengajar cello?"
Sampai kapan orang ini terdengar begitu takjub?
"Terserah kau saja. Kau yang tentukan kapan aku bisa mulai mengajar. Aku mencantumkan nomorku di resume."
"Ba ... baiklah kalau begitu."
Sebaiknya aku tidak banyak bicara atau pria Amerika ini akan berubah pikiran. Jadi aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan ruangan sempit yang disebut kantor ini.
Kepalaku pening. Aku masih berada di luar bangunan yang mereka sebut sekolah musik ini. Sesungguhnya aku pun tidak tahu apa yang sedang kulakukan. Aku masih belum kembali ke apartemen lamaku dan hanya mengandalkan kebaikan hati Julie untuk menampungku sementara. Namun suara-suara Edward yang mengejekku menjadi lagu wajib yang menghampiri telingaku setiap hari. Jadi aku memutuskan mencari kerja semata menutup mulut pria brengsek itu untuk sementara.
Cello, huh?
Bukan jenis alat musik yang kusukai. Tapi aku jelas menguasainya. Tahun-tahun pertamaku sebagai mahasiswa jurusan musik kuhabiskan dengan mempelajari cello. Alat musik gesek yang memberikan suara bas ini seketika tergantikan dengan tuts-tuts hitam putih setelah aku mendengar permainan piano yang menyayat hati dari seorang pianist terkenal, Albert Hindler yang ternyata ia juga dosen di universitasku. Dan saat itu pula aku memohon untuk bisa menjadi murid bimbingannya.
Ok, aku tidak sepenuhnya jujur.
Alasanku yang sebenarnya, aku jatuh cinta dengan gadis yang kutemui saat konser piano Albert Hindler. Berambut pirang, ramping, dan menangis keras-keras saat konser dimulai. Di tengah-tengah gadis itu keluar dari auditorium dan aku menemukan dia masih menangis di lobi meskipun konser sudah selesai berjam-jam sebelumnya. Matanya sembab dan pipinya yang bulat bersemu kemerahan. Aku ingin tahu apa yang membuatnya menangis.
Tepat di saat aku mendekatinya, sang maestro Albert Hindler menghampirinya dan gadis itu memanggilnya ayah. Sejak hari itu aku tidak bisa melupakan wajah sendunya. Belum pernah aku merasa dihantui bayangan seorang gadis sampai sedemikian. Saat aku tahu sosok pianist itu adalah dosen universitas musik di tempatku, aku tidak ragu untuk berpindah jurusan.
Aku mempelajari piano sejak kecil. Tapi dahulu aku tidak tertarik menjadi pianist karena alat musik itu terlalu mainstream. Meskipun banyak yang mengatakan aku berbakat, aku tidak suka tekanannya. Hanya karena keinginan memberontak dari ayahku yang juga pemain orkestra, aku memilih alat musik lain untuk kupelajari.
Alasan lain aku kembali menekuni piano? Secara kebetulan aku juga mengidolakan permainan piano Albert Hindler.
Tujuanku? Tentu saja supaya aku bisa mengenal putrinya yang cantik. Dan itu memang benar-benar terjadi. Saat aku melihat gadis itu yang kedua kali, aku terang-terangan menyatakan cintaku ... dan ditolak. Tapi aku tidak pernah menyerah mendapatkannya. Belakangan aku tahu nama belakang dirinya dan ayahnya berbeda. Rupanya karena kedua orangtua mereka telah bercerai dan gadis bernama Jane itu memakai nama gadis ibunya.
Jadi kau mengerti maksudku tentang aku tidak mau lagi menyentuh piano kan? Karena alasanku memilih jurusan piano dan rela menghapus semua keinginanku menjadi cellist tidak lain karena Jane. Berangkali dia pula lah satu-satunya alasanku menghirup udara di muka bumi.
Aaack ... rokokku mulai terasa pahit.
Sial, melamun di siang hari membuat otakku tidak cukup berfungsi untuk menyadari bahwa benda ber-nikotin di tanganku ini sejumput lagi akan habis.
Get grip on yourself, Jim….
…
Ah, aku merasa ponselku bergetar. Sengaja aku mematikan deringnya saat wawancara barusan, tadinya karena aku berpikir aku ‘benar-benar’ akan diwawancarai secara formal, bukan secara kurang ajar seperti beberapa saat lalu.
Nomor yang tidak kukenal sedang memanggilku. Sungguh malas rasanya. Semoga saja bukan orang yang tiba-tiba berbaik hati menyampaikan bela sungkawa. Aku sedang tidak ingin mendengar ucapan semacam itu.
“Jim?”
Aku belum mengucapkan halo, tetapi suara di seberang tampak tidak sabar berbicara.
“Yes. Who’s this?”
“Derek. You know what? Aku baru menyampaikan pada pimpinan tentang kau yang akan mengajar di kelas cello. Suasana kantor mendadak sangat chaos, dan beberapa karyawan keceplosan bicara pada orangtua murid bahwa kau menjadi guru baru di sekolah ini ...”
“Lalu?” tanyaku tidak sabar.
“Spectacular!! Kelas cello hanya punya tiga murid, dan begitu mereka tahu kau yang mengajar, para ibu-ibu histeris itu minta memindahkan anaknya yang kelas alat musik lain ke kelas cello. Wow ... mereka pikir kau itu semacam Justin Bieber.”
“Justin Bieber??”
Kenapa dari sekian banyak penyanyi pop, namaku dianalogikan dengan penyanyi ingusan itu?
“Dan mereka minta mulai besok kau mulai mengajar. Jadi aku beritahu kau, besok kau resmi menjadi pengajar cello. Official.”
Aku terperangah. Secepat itu?
"O ... ok ... t ... thanks for telling me."
Sekarang aku benar-benar tidak berkutik. Dalam sehari aku harus mengembalikan ingatanku tentang cello. Entah manakah yang lebih sulit, mengingat-ingat permainan cello-ku yang dulu atau mencari pinjaman alat musik berat itu?
***
"Oh, cmon ... kita akan cukup lama menikmati festival di kota ini. Kenapa harus tinggal di hotel? It’s way too expensive.”
“Tapi ..., itu lebih aman untuk kalian. Aku cuma menuruti permintaan Mr. William. Beliau tidak peduli mau semahal apa. Yang penting kalian aman.”
“Oh, let me tell you ... kota ini sangat aman. Bahkan orang biasa tidur di jalanan karena mereka takut melewatkan street art performance. Satu hal lagi, orang jahat tidak suka dikeroyok ramai-ramai saat mereka ketahuan berulah.”
“Yeaa …. That’s the point, nona sok tahu. Ramai. Too crowded. Apa kau tidak tahu kalau saat keramaian dan chaos adalah saat paling tepat seseorang untuk lengah?”
“What’s the problem with you? I thought we’re talking about accommodation. Penginapan. Dan bukan apa yang kita lakukan di jalanan? Jangan kira karena kau itu asisten Mr. William, kau punya hak khusus memutuskan semuanya.”
“Aku memang punya hak khusus, dasar kau wanita keras kepala ...”
“Kauuu .... Huh, seharusnya aku menolak ide kau akan ikut bergabung dengan kami kalau saja Mr. William tidak memaksa.”
“It’s already too late, miss .... Aku satu-satunya laki-laki di kelompok kecil kita. Aku punya andil dan lebih bijaksana kalau kalian tidak membantah.”
“Sombong sekali. So ..., Rena? Bagaimana menurutmu? Kau lebih suka tinggal dimana?”
“Ya, sebaiknya miss Renata yang memutuskan ...”
Aku masih sibuk mengamati kedua orang yang sedaritadi berargumen dan tidak menyadari bahwa mereka juga mengajakku bicara? Sebelumnya aku tidak pernah tahu kalau Astrid dan Arlan saling mengenal. Oke, hanya sebatas kenal saja bukan masalah. Tapi yang kusaksikan di depan mataku, ini bukan pertengkaran antara dua orang yang ‘sekadar’ kenal. Mereka jelas punya ikatan. Entah ikatan apa yang terjadi di masa lalu hingga aku merasakan aroma permusuhan yang sedemikian kuat namun sekaligus ... menarik.
"Rena? Hellooooo …." Astrid mengangkat lengannya dan mengibaskan di depan mataku. Mataku berkedip dan kembali ke realitas yang ada di hadapanku.
“Eh ... itu ... aku tidak masalah yang manapun.”
Ya itu benar. Yang menjadi masalah sekarang, kenapa kalian berdua masih sempat-sempatnya bertengkar? Kami bahkan baru sampai di Edinburgh dan sedang berada di dalam taksi setelah sebelumnya melalui penerbangan selama lebih dari satu jam dari Bandara Heathrow, London menuju Bandara Edinburgh.
“No, no, no … kau harus memutuskan, Rena. Karena aku tidak mempercayai keputusan laki-laki sombong ini,” kilah Astrid bernada memaksa. Lalu ia pun melanjutkan, “baiklah, aku jelaskan saja. Kita berada di musim panas, musim festival dan sangat repot kalau kita harus tinggal di hotel. Hotel pasti penuh, pelayanannya pun menyebalkan, belum lagi ...”
“Hei, hei ... apa kau tidak mendengarku? Reservasi sudah kulakukan beberapa hari sebelum keberangkatan kita. Untuk apa mencari hostel kalau kau jelas mendapatkan kamar yang nyaman. You must be stupid, then…”
“Shut up, Arlan ...” bantah Astrid dan ditanggapi dengan gelengan Arlan yang menyiratkan putus asa menghadapi wanita keras kepala seperti Astrid. Ini juga membuatku bertanya-tanya, kenapa Astrid begitu gigih tidak mau stay di hotel?
“Yeah, why? Arlan bilang kita sudah reservasi hotel. Bukankah lebih nyaman kalau kita tinggal di hotel saja?”
Astrid menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaanku.
“Oh, please … staying in hotel for a month? Bahkan kalau kau kaya sekalipun itu tetap tidak menyenangkan. Hotel dipenuhi turis yang rewel dan manja, pelayanan akan sangat sibuk dan makanannya ... ughhh.”
Aku memperhatikan ekspresi Astrid yang terlihat sangat tidak suka dengan ide menginap di hotel.
“Really?”
“It’s true. Aku sudah sering mengunjungi Edinburgh tiap musim panas. Dan tinggal di hostel yang bagus masih lebih baik. Kalau kau bertemu turis sekalipun, mereka lebih beradab, tidak manja dan lebih seringnya kita saling bertukar info.”
“Oh, cmon … kau itu naïf sekali. Bahkan setelah umurmu hampir tiga puluh,” sindir Arlan yang duduk di sebelah sopir. Astrid pura-pura tidak mendengar dan merapatkan duduknya mendekat ke arahku.
“Rena ..., jangan lupa misi kita juga mencari Jim Morley. Jim cukup terkenal di kalangan pengamat seni. Semakin kita banyak mendapatkan info dari para traveler slash turis yang menyukai seni, semakin cepat kita menemukan dia. Jauh lebih baik dari para konglomerat egois yang tinggal di hotel. Can you see that?”
Mendadak, nama itu seperti mantera bagiku. Menghipnotis. Dan membuat alasan-alasan apa pun yang akan kulontarkan menjadi tidak berguna. Tentu saja akan kulakukan apa pun yang membuat kesempatanku bertemu lagi dengan Jim Morley lebih besar. Persetan dengan keberatan Arlan, atau papa.
“Ok. Kita menginap di hostel yang kau tunjuk,” tegasku kemudian. Dan Astrid menyambut kalimatku dengan senyum yang lebar dan tatapan mengejek ke arah Arlan.
“You hear that? The princess said she’ll come with me. Kalau kau memutuskan tinggal di hotel, go on then,” seru Astrid bernada menantang dengan tawa penuh kemenangan.
Sesaat pertengkaran mereka sama sekali tidak mencerminkan umur mereka. Jujur itu membuatku mengira, selama ini aku salah persepsi tentang Arlan. Kupikir ia laki-laki yang pendiam, tidak suka membantah dan tipe orang yang sangat teratur seperti yang ia tunjukkan padaku selama aku tinggal di rumah papa di London.
Sebelumnya, mereka terlihat tidak peduli. Terlebih di depan papa. Tidak saling bicara, tidak saling menatap apalagi bertengkar. Keikutsertaan Arlan dengan kami juga sebelumnya tidak aku sangka. Papa tahu di sini ada Christian yang akan membantuku, jadi meminta Arlan mengawasi kami hanya karena dia laki-laki, itu sama sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak bisa membantah. Saat menyampaikan keinginanku untuk mengikuti festival musim panas di Edinburgh, syarat itulah yang diucapkan papa yang bisa memuluskan perjalananku sekali lagi ke Edinburgh. Selain karena Astrid bertugas meliput festival, Arlan juga diharuskan mengawal perjalanan kami.
Mungkin ini cuma perasaanku. Meskipun dari luar Astrid dan Arlan seperti bertengkar, namun sesungguhnya aku menyadari perubahan air muka Arlan saat ia selesai berdebat dengan Astrid. Pria berpenampilan rapi dan serius itu terlihat menahan senyum kecil jika melihat tawa kemenangan yang diperlihatkan Astrid jika wanita itu merasa memenangkan perdebatan kecil mereka. Rasa-rasanya, pria itu hanya menciptakan argumen untuk membuat reporter seni cantik itu senang. Dan lalu membiarkan wanita itu menang, seperti membiarkan anak kecil mendapatkan mainannya.
***
“Kau menyukainya kan?”
Arlan tidak terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Ia seolah tahu aku akan menanyakan pertanyaan itu. Alih-alih terkejut, asisten papa itu tetap meneruskan membereskan koper dan bawaan kami.
Astrid terhitung sangat beruntung. Menit di saat kami memutuskan akan mencari hostel, ia mendapatkan tawaran yang lebih bagus. Seorang kawan reporternya, menawarkan sebuah wisma cukup besar yang bergaya Georgia. Wisma yang belum dibuka untuk umum, setelah pemilik rumah sebelumnya menjual rumah itu pada pengelola wisma yang masih keluarga kawan Astrid. Beberapa tamu dari luar negeri juga dijadwalkan datang tapi mereka membatalkannya di menit terakhir. Dan sungguh hal yang bagus saat kami mendapati wisma mewah ini masih kosong. Secara kebetulan setelah berputar-putar mencari lokasi wisma, Astrid minta ijin untuk menemui teman reporternya. Lalu disinilah kami, di saat aku membiarkan Arlan membereskan bawaan kami, aku mencoba sedikit menginterogasinya.
“Siapa?” tanyanya acuh tak acuh.
“Astrid. Seharian ini kalian bertengkar, berdebat seperti anak remaja. Dan aku tidak pernah melihat itu kalau ada papa. Jadi benar kan? Kau menyukainya?”
“Bagaimana kalau iya?”
Oh dia cukup berani juga.
“Why not? Kalian cocok.”
Ia menggeleng sembari tersenyum mendengar jawabanku.
“Sayangnya, pertanyaanmu tidak akan membawa jawaban yang memuaskanmu. “
“Let’s give it try, jadi apa sebenarnya hubungan kalian?”
“Dia pacarku saat kuliah.”
Jawaban yang lugas. Aku terdiam, tidak menyangka pria ini akan menjawab pertanyaanku dengan sangat jujur.
“Kami pernah dekat. Sejujurnya, kami juga pernah berhubungan tapi tidak lama. Dan lebih sering bertengkar. Aku sangat posesif sementara dia menginginkan kebebasan. Menahannya lebih lama hanya membuat kami menjadi saling benci.”
Ia mengucapkan itu dengan nada yang sangat datar. Seolah-olah ia berusaha mati-matian menyembunyikan rasa sakitnya.
“But you still love her, don’t you?”
“I still care for her. That’s it. I can’s ask more than this. Tidak, jika di depan Mr. William.”
“W … wait, apa maksudmu tidak di depan papa? Maksudmu papa dan Astrid benar-benar menjalin hubungan?”
Aku mendadak tidak ingin mendengar kelanjutannya lagi.
“Aku kira kau sudah tahu,” ujarnya.
Tahu soal apa? Aku selalu tahu mereka berteman, mungkin bisa jadi lebih atau salah satu dari mereka punya perasaan satu sama lain. Tapi tidak dengan cara diberitahu secara terang-terangan seperti ini. Rasanya ... rasanya aku belum siap menerima siapapun ... siapapun yang mungkin menggantikan mama. Bahkan seandainya dia adalah wanita yang kusukai.
“It’s a bullshit.”
Aku tidak tahan lagi untuk tidak meninggalkan tempat ini. Segera saja aku meninggalkan Arlan yang masih sibuk membagi kamar untuk kami tempati.
“Hey, kamu mau kemana?”
“None of your business,” sahutku tidak mempedulikan dan seketika membanting pintu begitu saja di depan mukanya.
“Renata ..., Rena ...”
Aku tidak mempedulikan panggilan Arlan dari dalam dan dengan kesal meninggalkan wisma yang akan menjadi rumah kami sebulan ke depan.
Aku menyukai Astrid. Dia wanita yang menarik. Tidak biasa dan sangat menyenangkan dijadikan teman biarpun ia lima tahun lebih tua dariku. Tapi bagaimanapun aku tidak menyukai ide bahwa ada wanita yang mendampingi papa selain mama. Memikirkan seseorang akan menjadi ibu tiriku itu sungguh mengerikan. Lebih mengerikan dibandingkan aku ditipu belasan pria matre manapun.
Mobil taksi serta merta berhenti di depanku. Aku buru-buru menepikan kakiku dan naik ke trotoar. Beberapa detik kemudian aku menyadari sosok yang turun dalam taksi, dan tiba-tiba aku tidak ingin melihat wajahnya.
"Rena .... Hei, ada apa denganmu?"
Astrid setengah berlari mengejarku. Wanita berambut ikal pendek itu tampak berusaha keras mengikuti langkahku yang menghindarinya.
"Tidak ada apa-apa," jawabku tidak mau peduli.
"Lalu, kau mau kemana? Kenapa kau menghindariku? Apa yang sudah kulakukan?"
"Nope, itu cuma perasaanmu. Aku cuma mau jalan-jalan sendiri."
"Renaaaa ..."
"Tolong jangan ikuti aku. Aku cuma mau sendiri."
Aku berbalik dan terpaksa sedikit membentaknya. Aku melihat raut keterkejutan di wajah wanita itu. Mungkin ia tidak menyangka aku akan berlaku memberontak. Hanya sebentar ia terkejut, dan berikutnya ia berjalan menghampiriku.
"Aku tidak tahu ada apa denganmu atau apa yang dikatakan Arlan padamu. Tapi aku cuma ingin membantumu ..."
Aku mendengus dan menghindari tatapan matanya. Aku takut akan tunduk pada semua bujuk rayunya dan membuatku lupa sama sekali akan perasaan mamaku.
"Aku bertemu dengan temanku sesama jurnalis seni. Dia kenal dengan Jim Morley. Sejak kematian tunangan Jim, temanku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Nama itu lagi. Seolah-olah ia sengaja menyuapku dengan segala hal tentang Jim.
"Tapi dia memberiku alamat apartemen Jim Morley."
DEG
Sial, bahkan di saat aku ingin sejenak melupakan nama itu. Debar jantungku tidak bisa kubohongi. Aku melihat Astrid mengulurkan secarik kertas padaku. Aku ragu-ragu dan merasa bersalah jika aku meraih kertas itu. Tapi ...
Aku ingin bertemu denganmu, Jim.
Ingin sekali .... Sampai rasanya aku bisa gila.
***