Try new experience
with our app

INSTALL

CINTA TERLARANG 

Butuh Pria Good Looking Berotot

APARTEMEN murah dari hasil memalak Fahranie, sahabat model Renne yang terlanjur kaya karena mendapat suami konglomerat, terbilang bersih dan asri. Jauh dari kesan rumah murahan. Cat warna hijau muda yang sejuk di mata itu masih terlihat segar, belum ada yang berjamur atau mengelupas. Lantai rumah bernomor 23 itu juga terawat, tidak kotor dan minus dari noda-noda bekas sepatu lewat. Di depan beranda ada dua kursi dari kayu jati yang dipisahkan satu meja bundar kecil cocok untuk dia dan Jianna bersantai sambil membaca majalah atau ngeteh cari inspirasi tokoh-tokoh novelnya. Ya, meskipun tidak sebagus rumahnya dulu saat masih tinggal bersama keluarganya di Bandung, tapi rumah di apartemen lima lantai ini lumayan juga untuk memulai hidup barunya bersama Jianna.

Sudah hampir 17 tahun, Renne berjuang mati-matian menghidupi diri dan Jianna sendiri. Selama itu pula dia melancarkan konfrontasi dengan pihak keluarga demi sebuah kata “pembuktian” bahwa dia bisa mandiri. Dia tidak mau dicap hanya mengandalkan kekayaan orang tua saja. Lagian memang nama Renne juga sudah dicoret dari keluarga besarnya di Bandung. Jadi, buat apa lagi dia mengemis minta dihidupi atau jatah warisan keluarga besar? Selain memalukan, itu juga mustahil.

Namun, tidak pernah ada kata menyesal buat Renne. Dia justru merasa bangga, sudah puluhan tahun berhasil membuktikan kepada keluarganya bahwa tanpa bantuan harta mereka, Renne bisa mandiri dan membesarkan putri semata wayangnya sendiri. Ya, meski dengan perlawanannya itu, dia harus kehilangan semua kemewahan dan segala kemudahan yang sebenarnya telah tersedia untuknya sebagai putri konglomerat. Renne tidak peduli! Dia akan tetap memilih jalannya sendiri. Daripada hidup mewah dan enak tapi selalu dikekang dan dicap sebagai pencoreng nama baik keluarga? Hidup seperti ini dia rasa lebih baik.

“Kenapa sih Mam, ngotot banget pindah?” tanya Jianna saat Renne berusaha memasukkan kunci ke pintu rumah barunya.

“Tahu sendiri kan, bagaimana kesadisan pemilik kontrakan rumah lama kita, Je? Mami sudah nggak sanggup deh ditekan terus gitu. Tahu sendiri, Mami cuma penulis dan penjual toko online, masih saja ribet bener kalau urusan bayar membayar. Nah, untung teman model dulu Mami, nawarin rumah ini. Bukan nawarin sih, Mami paksa buat dijual. Karena Mami anggap menguntungkan, ya babat habis saja. Rezeki nggak datang untuk kedua kali, Je,” terang Renne panjang lebar kepada Jianna, sambil mencoba membuka pintu rumah bercat cokelat itu.

“Iya juga sih, Mam. Pemilik kontrakan rumah lama emang mirip Nenek Lampir. Apalagi suaminya itu! Hiii kalau lihat Mami, sudah kayak lihat makanan siap saji, Ngiler!” tambah Jianna mengomentari pemilik rumah kontrakan lama mereka.

Pintu rumah akhirnya bisa dibuka. Udara pengap langsung menusuk saraf. Jari-jemari lentik Renne dikibas-kibaskan untuk menghalau debu. Sebelum Renne masuk, dengan wajah serius Jianna menahan langkahnya. Seperti ada yang ingin dia katakan kepada orang tua tunggalnya. Mereka pun memutuskan untuk duduk di kursi beranda, sekalian menunggu debu yang berterbangan itu lenyap terbawa angin.

“Mam, sudah kuputuskan.”

No! Mami nggak setuju kamu diet lagi!” potong Renne mengancam Jianna yang mengikuti menu dietnya. Jianna masih terlalu muda untuk menolak kelezatan makanan berlemak.

“Nggak masalah itu, Mami. Makanya dengerin dulu jangan asal potong sok tahu,” sungut Jianna gemas.

“Terus? Eh, ini masalah serius?” Renne memandang curiga ke arah Jianna. “Kamu nggak hamil kan?”

“Astaganaga, Mami!” jerit Jianna memohon kesabaran.

“Oke, Mami bisa tenang sekarang. Apa tadi?”

Jianna mengambil napas dalam dan menyemburkannya keras untuk mengeluarkan kekesalannya sebelum dia mulai berbicara.

“Mulai sekarang, sambil sekolah aku juga akan cari kerja part-time. Ya, buat bantu-bantu Mami biar nggak usah ngasih uang jajan, ide bagus kan?”

“Asal halal sih, Mami setuju-setuju saja,” Renne menjawab santai. “Tapi ingat, Mami nggak menerima jika nilai sekolah kamu jadi amburadul lho ya dengan keputusan part-time kamu ini!” tambah Renne berubah galak. Renne lalu menyentuh lembut pundak Jianna dengan kedua tangannya. “Sebenarnya, Mami cuma ingin kamu itu sekolah yang baik. Fokus untuk mengejar cita-cita dan mimpi kamu. Bukan malah ikut-ikutan mikir nyari duit. Itu kan tugas Mami,” tambah Renne dengan wajah yang dua kali serius dari Jianna.

“Nilai sih gampang, Mam. Jianna kan IQ-nya di atas rata-rata. Jadi, amanlah jika dibarengi sama kerja.”

“Siapa dulu, maminya?” Renne nggak kalah sombong.

Wajah Jianna tiba-tiba gelisah. “Tapi, Mam. Kira-kira part-time apa yah yang cocok?”

“Kalau ikut casting model atau pemotretan di majalah remaja, gimana?“

“Hih, nggak ah Mam. Dunia modelling tuh kan masa lalu Mami. Runway, catwalk, pemotretan, dan antek-anteknya itu sudah bikin aku parno tauk! Dan lagian buat jadi model itu kan nggak gampang buat gadis imut semacam aku Mam. Kalau Mami tingginya nggak lihat sikon sih, pelit lagi, nggak bagi-bagi sama anaknya sendiri,” terang Jianna yang diakhiri dengan menggerutu tentang body maminya yang terlampau seksi dan sempurna dibanding tubuh mungilnya itu.

“Ya, elah, gitu aja minder. Eh, model majalah itu nggak harus tinggi kali. Asal muka kamu photogenic, majalah remaja kayak Aneka, Kawanku, dan Gadis pasti juga nyari kamu buat dibikin foto sampul majalah mereka,” bujuk Renne masih semangat menerjunkan Jianna di dunia modelling, dunianya dulu yang sempat meroketkan namanya.

“Ogah, ah Mam. Lebih baik, cari part-time lain aja deh, ya.”

“Ya, udah. Nggak usah terlalu dipikirin. Lagian Mami juga sudah ada tabungan kok buat bayar sekolahmu yang terlalu fantastik itu,” kesah Renne kepada anaknya.

“Fantastik kerennya?” tanya Jianna bangga, sekolahnya disebut fantastik oleh Renne.

“Fantastik biayanya!” timpal Renne nyindir.

“Tapi, bukannya Mami sudah siap dengan biaya SMA baru Jianna itu?” tanya Jianna cemberut. Wajahnya kini tampak sedih dan mau menangis. Tiba-tiba saja dia kasihan dengan pengorbanan maminya karena dia memilih sekolah di sekolah elit Harapan Bunda.

“Semua sudah beres kok, Je. Pengajuan beasiswa Mami di Harapan Bunda di-acc. Jadi, biaya yang Mami keluarin juga masih masuk akal untuk kantong Mami. Meski juga nggak bisa murah-murah amat. Heran, Mami. Kok nggak bisa gratisan, ya?!” terang Renne mengenai beasiswa yang diajukan enam bulan lalu kepada teman modelnya yang bersuami pemilik salah satu saham di Harapan Bunda.

 “Seriously? Oh, Mom. I really really love you...” kata Jianna manja dengan mata berbinar. Air mata yang sudah mengintip keluar, menguap sudah, berganti dengan perasaan bahagia karena bisa bersekolah di sekolah terkenal itu. Ya, meski hanya terdaftar sebagai murid beasiswa, atau kasta terendah di lingkungan sekolahnya, tetapi Jianna sudah sangat bersyukur dengan hal itu. Jianna pun ingin memeluk Renne karena saking bahagianya.

“Eits!” cegah Renne menghindar dari pelukan Jianna. “Kamu bau keringat, Je. Maaf, Mami nggak bisa terima pelukanmu itu,” balas Renne cepat, sambil tetap menghindar dari tubuh putrinya.

“Hish!” desis Jianna sengit. “Mami nyebelin!” teriak Jianna keras dan sukses membuat semua penghuni apartemen keluar mencari sumber suara memekakkan telinga itu.

Tetangga-tetangga baru Renne pun kompak memandanginya dan Jianna.

Karena belum mau menjadi trending topic buah bibir di lingkungan apartemen itu, Renne dan Jianna hanya bisa tersenyum kaku sambil menundukkan kepala berkali-kali ke arah para tetangga. Sadar usahanya bersikap ramah gagal, Renne dan Jianna langsung berebut untuk masuk ke rumah dan menutup pintu cepat-cepat.

“Kamu sih Je,  pakai teriak-teriak segala!” 

“Malah nyalahain aku, Mami tuh sok, higienis. Dipeluk anaknya sendiri ogah. Sok  kecantikan banget sih, Mam!”

“Oh, nyalahin Mami? Fine, oke, Mami nggak bakal mau me-makeover kamu lagi.”

What? Makeover? Nggak penting banget sih! Aku juga nggak bakal bikinin kopi hitam spesial buat Mami, NGGAK lagi!”

“Oke, Deal! Mami juga ogah kalau bantuin kamu buat gebet cowok-cowok baru di sekolah kamu!”

“Oh ngancem, nih? Aku juga nggak sudi bikinin Mami sarapan dan makanan kesukaan Mami lagi!”

Stop, Je! Mami nyerah,” ucap Renne sambil terduduk di lantai keramik putih rumah barunya. Tangannya terangkat ke atas tanda menyerah. Dia merasa capek harus meladeni pertengkaran yang selalu saja terjadi antara dia dan Jianna.

“Aku, juga nyerah Mam. Capek juga, teriak-teriak muluk,” aku Jianna sambil ikut duduk di lantai bersama dengan Renne.

Mereka berdua sama-sama mengambil napas, mengumpulkan energi, untuk pekerjaan yang lebih bermanfaat daripada sekadar bertengkar dan berteriak. Sepatu converse hitam Jianna dilepas. Begitu juga sepatu jaring-jaring yang Renne kenakan. Mereka terbiasa mengganti sepatu mereka dengan sandal santai berbentuk hewan kesukaan mereka jika masuk ke dalam rumah. Mereka pun langsung mengambil sandal kesayangan mereka di koper masing-masing. Jianna dengan sandal kelincinya, dan Renne tetap cinta dengan sandal pandanya. Dengan kenyamanan itu, mereka seolah kini telah siap memberesi rumah barunya.

“Di saat seperti ini, kita harusnya bekerja sama, Je. Bukan malah bertengkar,” komentar Renne dengan napas yang sudah mulai teratur.

“Di saat seperti apa maksud Mami?”

Renne tidak langsung menjawab pertanyaan retoris Jianna, dia hanya mengalihkan pandangannya pada empat koper besar yang ada di samping mereka dan ruangan dalam rumah baru mereka yang dikuasai debu.  

“Huuffttt...” Mereka pun mengembuskan napas panjang bersama-sama.

“Andai ada pria good looking yang berotot dan mau bantuin kita ya, Je?”

“Cowok muluk, Mam!” desah Jianna kesal karena dia baru saja jadi jomlo setelah kelulusan.

“Siapa tahu, ada di dekat-dekat sini, yekan?!”

“Auk, ah, Mam. Gelap!” jawab Jianna mendadak pusing menyaksikan tingkah maminya!