Contents
BAHAGIA UNTUK ANDIN
Bab 1. Prolog
"Akhirnya Nona sadar. Non Adini nggak papa? Ada yang sakit?" Pertanyaan cemas yang terlontar dari bibir seorang wanita setengah baya itu malah mendapat tanggapan bingung dari gadis di depannya. Bukannya menjawab, gadis itu malah tampak seperti orang ling lung yang kini mengedar pandang ke sekitar ruangan. Mata itu mengedar dengan tatapan asing. Bahkan dalam kepalanya terus bertanya di mana kini dirinya berada? Mengapa bisa ada di tempat ini? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Non, Non!" Wanita setengah baya dengan tubuh sedikit gempal tadi menggerakkan tangannya di depan wajah gadis yang dipanggilnya Nona. Lalu saat mendapat fokus, dia kembali bertanya, "Non Andini nggak papa?" Suaranya kali ini lebih lembut.
Andini? Batin gadis itu dengan kening berkerut. Siapa Andini?
"Kepala Non sakit?" Pertanyaan demi pertanyaan tidak juga mendapat respon, wanita yang tidak lain adalah seorang ART itu pun mulai panik.
"Kamu siapa?" tanya gadis yang masih tampak ling lung itu dengan sorot asing.
"Ya Tuhan! Non nggak kenal sama, Mbok?" Gelengan kepala membuat sang ART semakin syok, lalu wanita dengan usia kepala lima itu tampak berjalan keluar untuk mencari pertolongan.
Sementara gadis yang masih duduk di atas ranjang itu kembali mengedar ke sekitar. Mencoba mengingat apa yang terjadi. Dia masih mengingat jelas jika namanya Andin, bukan Andini. Dia anak dari Pak Handoko dan Ibu Surati. Lalu, ini jelas bukan kamarnya, tetapi kenapa dia bisa berada di tempat ini? Dan siapa sebenarnya Andini?
Andin bangkit dari tempat tidur, lalu melangkah ke luar jendela di mana balkon ada di sana. Dari tempat itu dia bisa melihat halaman belakang rumah yang begitu luas. Ada taman serta kolam renang yang begitu jernih di sana. Tanpa sadar senyum dari bibir gadis berambut di atas bahu itu mengembang. Ini adalah rumah impiannya selama ini.
"Ayo, Pak! Non Andini sepertinya anesia." Kalimat dengan wajah panik itu menyentak fokus Andin. Gadis itu menyudahi kekaguman yang sedang dirinya rasa dan menggerakan kepala ke arah kamar, di mana wanita yang bersamanya tadi kini mengajak seorang laki-laki seusia ayahnya untuk mendekat.
"Dini, kamu oke?" Pertanyaan itu masih mendapat tatapan bingung seperti tadi. "Mbok bilang kamu amnesia."
Andin mengerutkan kening, amnesia?
Wanita yang dipanggil mbok itu tampak menganggukkan kepalanya, mencoba meyakinkan majikan laki-lakinya jika apa yang dikatakannya benar.
"Non Andini kenal Mbok?" Andin menggelengkan kepalanya karena memang tidak mengenal siapa wanita ini. "Kenal papa Non?"
Papa? Jadi laki-laki ini adalah ayah dari orang yang dipanggil Andini? Apakah wajahnya mirip dengannya sehingga semua orang salah mengenalinya?
"Tuh, kan Tuan, Non Andini anesia."
"Amnesia, Mbok," ralat sang majikan laki-laki itu sembari mendekat ke arah Andin, lalu menuntun gadis itu untuk kembali ke dalam kamar. "Tadi Mbok bilang Andini hampir kecelakaan mobil?"
"Iya Tuan, Pak Kadir bilang begitu, tapi nggak ada yang luka. Di rumah sakit juga bilangnya nggak papa, makanya boleh dibawa pulang," jelas Mbok Yus.
Sementara Andin hanya mendengarkan, dan kembali duduk di atas ranjang. Dia masih memikirkan kemungkinan yang terjadi. Namun, saat matanya pada akhirnya menangkap bayangan wajahnya di cermin, Andin tahu jika kejadian ganjil tengah terjadi di sini. Bagaimana tidak? Wajah yang kini ada di pantulan kaca itu bukan miliknya, melainkan sosok asing yang bahkan belum pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah kini dia sedang bermimpi?
*
Satu hari sebelumnya ....
"Mau ngelamar kerja lagi, Nak?"
Andin hanya menjawab pertanyaan sang ibu dengan anggukan kepala. Sebenarnya dia sedang merasa lelah dengan apa yang dijalaninya saat ini. Sudah hampir satu bulan dia mencari pekerjaan, tetapi hasilnya belum ada yang memuaskan. Tidak heran, ijazah yang digunakannya kali ini hanya ijazah SMA, sementara tempat yang diinginkannya untuk bekerja selalu mematok lulusan sarjana sebagai syarat lamaran utama.
"Nggak papa kalau jadi pelayan toko juga. Yang penting uangnya kan, halal. Kamu bisa cari pengalaman dulu sebelum dapet pekerjaan yang lebih bagus." Surati tahu anaknya menginginkan bekerja di gedung perkantoran dengan penampilan rapi. Namun, bukankah itu sulit diwujudkan? Bukan salah Andin memang, tetapi ini salahnya yang belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk kedua anaknya. Uangnya belum cukup untuk memasukkan Andin ke perguruan tinggi sementara sang adik tahun ini memerlukan biaya banyak karena akan lulus dari salah satu SMK swasta.
"Iya, Andin pergi dulu." Andin segera pamit, mencium tangan ibunya dan tidak lupa mengucapkan salam sebelum keluar dari rumah sederhana yang keluarganya tempati. Sebenarnya dia sudah mendapat dua panggilan kerja, tetapi dua tempat itu menawarkannya untuk menjadi Office girl. Andin tidak mau bekerja seperti itu, maka dia masih mencari tempat lain yang lebih menjanjikan.
Gadis itu berjalan menyusuri gang kampung tempatnya tinggal. Sesekali membayangkan jika saja dia ini anak orang kaya. Sudah pasti saat ini dia sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Merasakan jadi anak kampus, dan kelak jika lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Bukan hanya itu, dia juga bisa merasakan nongkrong cantik, di kafe-kafe yang berjajar di seberang jalan sana. Namun, sayangnya itu semua hanya mimpi.
Andin berdiri di pinggir jalan sembari memainkan ponselnya yang sudah ketinggalan zaman. Bahkan layarnya saja sudah sedikit retak. Lagi, bayangan andai dia terlahir sebagai anak orang kaya hadir, pasti kini dia bisa membeli ponsel canggih seperti milik Sasya. Teman sekolahnya yang selalu mengganti ponsel jika bosan.
Andin menghela napas, dia sadar tidak boleh selalu mengeluh seperti ini. Namun dia hanya manusia biasa yang terkadang merasa sangat lelah. Mata gadis itu menatap gedung tinggi di depannya, itu adalah bangunan mal yang jarang sekali dia masuki. Apa gunanya masuk jika apa yang ada di dalam sana tidak bisa dirinya miliki? Lagi, Andin hanya bisa menghela napas, menundukkan wajah, menatap sepatunya yang sudah butut dengan warna yang mulai memudar. Kadang dia merasa minder saat melakukan interview kerja karena penampilannya yang seperti ini.
Kemeja yang dirinya pakai adalah satu dari dua kemeja yang dia punya. Celana jeans biru yang kini dirinya kenakan juga hanya satu dari tiga yang terbaik. Dua lainnya sudah memudar warnanya, bahkan sobek di bagian ujung bawah juga dengkul. Tas yang kini dirinya kenakan terlihat lumayan karena minggu lalu, teman baiknya Meta memberinya tas bekas.
Andin benar-benar merasa miris dengan apa yang kini dirinya alami. Kapan kehidupannya berubah? Pertanyaan itu muncul berbarengan dengan suara klakson sebuah mobil yang tiba-tiba saja melaju kencang ke arahnya. Andin yang tidak sigap tidak berhasil menghindar. Dia bisa merasakan tubuhnya yang terhantam badan depan mobil dan tubuhnya melayang. Apakah dia akan mati? Jika ya, mungkin lebih bagus karena dia lelah dengan kehidupannya yang sekarang.