Contents
Rantau
Izin
2015
Sebelum memutuskan merantau, Naura bekerja terlebih dahulu di sebuah toko yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Bermodalkan sepeda motor butut, ia pulang pergi seorang diri menyusuri jalan pedesaan. Sebagai informasi, Naura tinggal di salah satu desa terpencil di Jawa Tengah. Di usianya yang sudah menginjak dewasa ini, ia harus bisa mencari pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk dirinya sendiri.
Siang hari waktunya beristirahat. Naura dan beberapa rekan kerjanya memanfaatkan waktu 45 menit dengan sebaik-baiknya. Di kursi sebuah warung, mereka menikmati makan siangnya. Menu mie rebus dengan campuran beberapa sayur dan satu telur, terpampang jelas di atas mangkuk legend bergambar ayam jantan. Raut wajah seperti ingin menerkam, terlihat jelas di wajahnya.
Chika, salah seorang temannya yang heran dengan pesanannya, segera menyeru,
"Nau, kamu cuma makan mie?"
"Iya,"
"Terus nasinya mana?"
"Tidak ada."
"Emang kenyang cuma makan mie?"
"Kenyanglah, ini juga banyak porsinya," ucapnya sembari menyendok makanannya
"Mbak, nasi satu porsi lagi ya" ucap Chika kepada si pelayan
Naura yang mendengar, segera melarang dan membatalkan pesanan tersebut.
"Ya sudah lah, terserah kamu Nau," ucap Chika pelan
Tanpa berdebat, mereka pun menghabiskan makanan dan bersantai sejenak sebelum kembali beraktifitas. Beberapa menit kemudian, Chika mengajaknya kembali ke toko.
"Balik yuk."
"Yuk."
Setelah membayar, merekapun meninggalkan warung. Berjalan pelan sembari bercanda dan berbincang ringan, pandangan mereka teralihkan oleh seorang anak dan ayah yang sepertinya tengah menunggu bus. Pasalnya, pakaian rapi serta barang yang sang anak bawa tampaknya ia akan pergi jauh. Naura yang melihat, segera menyeru,
"Chik, merantau enak tidak?"
"Enaklah, bisa bebas, duit banyak, bertemu orang dari banyak kota, enaklah pokoknya. Emang kenapa?"
"Kalo enak, kenapa kamu pulang?"
"Biaya hidupnya mahal Nau, jadi pulang deh."
"Oh"
"Memang kenapa Nau, kamu mau merantau?"
"Tidak," jawabnya sembari tersenyum tipis
Beberapa menit kemudian, mereka pun tiba di toko dan kembali menyelesaikan pekerjaannya. Belum genap 15 menit, Naura terlihat melamun dan berhenti sejenak dari aktifitasnya. Fikirannya mulai dipenuhi dengan halusinasinya bekerja di ibu kota.
"Apa aku merantau ya?"
Saat tengah memikirkan hal tersebut, ia dikejutkan dengan tepukan tangan yang mendarat di pundaknya.
"Melamun aja, mikirin apa sih?"
"Chika!"
"Jangan melamun, nanti dimarahin bos. Ingat CCTV!"
"Iya iya"
Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya dan mencoba fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan.
*15.00
Hari menunjukkan pukul 3 sore, pertanda jam pulang tiba. Seperti biasa, Naura dan Chika berpisah di parkiran. Pasalnya, arah rumah mereka berbeda.
"See you besok Nau."
"Oke Munmun."
Iya, panggilan sayangnya kepada Chika adalah Munmun.
Sore itu, parkiran tampak sepi dan sepeda motornya enggan menyala. Terpaksa, ia harus menyela menggunakan kaki. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Naura pun menyelakan motornya hanya dengan satu selakan. Setelah itu ia meninggalkan parkiran dan berjalan pelan menuju jalan raya.
Di tengah perjalanan, ia kembali memikirkan tekatnya untuk merantau. Untuk tujuannya pun adalah Jakarta.
"Apa aku izin merantau aja ya?"
Angin kencang membuatnya tidak stabil dalam mengendari sepeda motor, namun ia masih bisa menghandlenya. Beberapa menit kemudian, ia pun tiba di rumah. Sambutan hangat dari kedua orang tuanya membuat rasa lelahnya hilang.
"Sudah pulang nduk?"
"Sudah mak"
Ia pun segera dipersilahkan masuk, istirahat, kemudian bersih-bersih, dan makan sebelum tidur. Untuk yang sekian kali, ia berfikir perihal tanah rantau dan memberanikan untuk izin kepada mereka.
"Makan dulu nduk," ucap sang mamak sembari memberikan sepiring nasi
"Iya mak," ucapnya gugup
"Kok gitu suaranya nduk, kenapa? Ada yang mau kamu bicarakan sama mamak?"
"Iya mak, aku mau izin merantau ke Jakarta," ucapnya pelan
"Jakarta? Kenapa pengin merantau nduk, disini lebih enak, lebih rame, ada mamak, ada bapak, ada adek juga."
"Iya mak, tapi aku pengin kaya teman-temanku. Punya tabungan, bisa lihat gedung, bisa punya teman dari luar Jawa juga. Boleh ya mak?"
Mamaknya tidak langsung menjawab, beliau terdiam sejenak kemudian menyeru,
"Nanti coba mamak rundingkan dengan bapak ya nak, sekarang kamu makan."
"Iya mak"
Sang mamak meninggalkan Naura di meja makan. Dalam kekhawatiran, ia berharap jika orang tuanya mengizinkannya untuk ke Jakarta.
*Keesokkan Harinya di Meja Makan
Pagi hari tepatnya di meja makan, Naura bersama adeknya tengah sarapan. Beberapa menit kemudian, mamaknya menghampiri dan memberitahukan suatu hal.
"Sudah selesai nduk?"
"Sudah mak, ini udah mau berangkat."
"Sebentar nduk"
"Iya mak, kenapa?"
"Perihal yang semalam kamu bilang, mamak dan bapak mengizinkan kamu merantau nduk. Tapi ingat, kamu harus tetap hati-hati dan jangan pernah lupakan ibadah," ucap sang mamak dengan raut wajah bahagia
Naura yang mendengar, seketika tersenyum lebar dan memeluk sang mamak.
"Makasih ya mak."
Beliau hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis, dan Naura izin berangkat kerja untuk yang terakhir kali. Iya, ia memutuskan untuk risign hari itu juga. Perjalanan hari ini lancar, tidak ada drama sepeda motor, tidak ada pula lamunan seperti hari lalu. Dibalik masker dan helm, Naura tersenyum bahagia. Ia tidak sabar untuk memberitahukan kabar baik tersebut kepada Munmun.
Beberapa menit kemudian, ia tiba di toko. Dari parkiran, Naura melihat Chika tengah berjalan menuju ruang admin, segera ia kejar dan memanggilnya dengan suara keras.
"Mun!"
Ia yang terkejut, segera berbalik badan dan menegurnya.
"Masih pagi, tidak teriak!"
"Ah, si Munmun bisa aja nih," ucapnya yang terdengar menggelikan
"Lo kenapa? Ini masih pagi lho, tapi kenapa geli dengar kamu bilang gitu ya?"
"Aku ada kabar baik?"
"Apa?"
"Aku mau merantau!"
Chika yang terkejut, seketika terdiam beberapa detik setelah mendengar pernyataan tersebut.
"Ha, merantau?"
"Iya," ucapnya sembari tersenyum
"Kemana?"
"Ke Jakarta."
"Oh, ya sudah."
"Oh? Kok gitu responnya, kenapa?"
"Kalo kamu merantau, aku sendiri dong di sini."
"Iya juga sih, tapi tidak apa-apa lah. Kita kan masih bisa telfon ataupun panggilan video, kalo misalnya kamu kangen sama wajah aku yang manis ini," ucapnya meledek
"Jijik gue," jawabnya sembari meninggalkan Naura
Namun disela perginya, ia masih menyempatkan untuk menanyakan kapan Naura akan pergi. Dan dengan suara keras pula, ia menjawab "lusa."
Keesokkan harinya, ia menghabiskan waktu di rumah. Satu hari sebelum pergi, tingkat manjanya kepada kedua orang tua semakin menjadi. Entah apa yang sudah terjadi atau semuanya hanya pelepasan kangen sebelum ia berangkat esok. Dari makan yang berkeinginan semuanya mamak yang masak, dan tidurpun ia satu kamar dengan mamaknya.
Barulah, keesokkan harinya Naura berangkat ke agen bus ternama di kota nya. Tidak ada yang berubah, untuk menuju kesana ia diantar sang bapak dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Jangankan berjalan cepat, membawa badannya sendiri pun, motor tersebut tidak bisa melaju dengan cepat.
Jam menununjukkan 08.20, dimana keberangkatan tersisa 10 menit lagi. Naura yang khawatir, meminta sang bapak untuk menambahkan laju sepeda motor.
"Pak, udah jam 08.20"
"Iya nduk, ini udah kenceng motornya"
Dengan rasa gugup dan penuh kekhawatiran, diliriknya kembali jam tangan yang ia kenakan. Jarum panjang sudah bertambah 5 menit, dan sekarang kurang dari 5 menit bus tujuannya berangkat. Dari jarak 500 meter, ia melihat bus tersebut sudah berjalan pelan. Ia pun meloncat dari motor dan berlari kencang ke arah bus tersebut. Sang bapak yang terkejut, segera mengejarnya dengan sepeda motor.
Dengan nafas yang terengah-engah, Naura berhasil menghentikan bus tersebut. Walaupun sempat terjadi perdebatan kecil yang disebabkan oleh aksinya, ia tetap diizinkan masuk. Berpamitan dangan sang bapak dan perlahan memasuki bus serta meninggalkan kota kelahirannya tersebut.