Try new experience
with our app

INSTALL

HEART (Ikatan Cinta Fanfiction) 

3. Debar

Andin duduk sambil mensedekapkan tangan di dada. Menatap lurus pada seorang perempuan muda yang berdiri di hadapannya dengan senyuman polos tanpa dosa, padahal dia telah membuat kesalahan yang cukup besar.


"Kamu enggak takut mata kamu copot karena ngelihatin aku sampai sebegitunya?" tanya Elsa, perempuan tersebut.


Andin mendesah kesal. "Aku kan sudah bilang enggak usah dateng! Kamu fokus aja sama study kamu di luar kota, ngapain dateng jauh-jauh ke sini coba? Ngamburin ongkos, ngamburin waktu yang sebenarnya bisa kamu pakai buat belajar atau apa gitu?" seloroh Andin memarahi adik yang umurnya terpaut tiga tahun di bawahnya itu.


Elsa hanya tersenyum tipis. Tidak menggubris omelan kakaknya. "Kak Andin itu baru aja siuman. Jangan kebanyakan ngomel, enggak baik," gumam perempuan itu pelan.


Elsa meletakkan parsel buah yang dibawanya tadi. Mengambil sebuah jeruk dan mengupasnya untuk Andin.


"Elsa," panggil Andin penuh penekanan sebab adiknya itu sama sekali tidak mendengarkan ucapannya.


Elsa menghela napas. Menatap Andin. "Kak Andin," dia lantas balas memanggil nama Andin dengan nada yang sama.


Andin merotasikan bola matanya dengan malas. Berdebat dengan Elsa memang tidak akan ada ujungnya. Mereka berdua sama-sama keras kepala. Sama-sama tidak ingin mengalah.


"Aku ke sini karena aku punya waktu, punya uang, punya tenaga. Jadi Kak Andin enggak usah bawel ngomel ini itu. Aku enggak suka."


Elsa menyodorkan sepotong jeruk di tangannya ke mulut Andin. Andin yang tadinya masih ingin mengomel, pada akhirnya hanya bisa pasrah. Menerima suapan buah jeruk dari Elsa.


"Gimana perasaan kamu sekarang, Kak?" tanya Elsa, menatap Andin lurus.


Andin mengulas senyum tipis. "Sangat baik. Aku ngerasa bisa bernapas dengan lega."


Senyum Elsa melebar melihat tatapan Andin yang terasa lebih hidup dan bersinar daripada sebelumnya. "Aku senang banget bisa lihat Kak Andin sehat. Jangan sakit-sakitan lagi. Udah saatnya kasih sayang Mama sama Papa tercurahkan lebih besar ke aku," pungkas Elsa diakhiri oleh jenaka.


Andin terkekeh. Namun pada detik berikutnya, wajah perempuan itu berubah menjadi murung, seolah ada sesuatu yang dia pikirkan.


"Kenapa?" tanya Elsa yang menyadari perubahan raut wajah Andin.


"Enggak tahu, Sa. Aku ngerasa senang karena akhirnya aku bisa dapat donor jantung. Tapi di sisi lainnya, aku ngerasa bahwa aku enggak berhak untuk terlalu seneng."


Elsa memusatkan seluruh atensinya untuk mendengarkan penjelasan Andin lebih lanjut.


"Kamu tahu, kan, kalau aku enggak bisa serta merta dapat donor? Orang yang mendonorkan jantungnya ke aku ... pastinya dia sudah meninggal."


"Kamu merasa bersalah ke dia?" tebak Elsa.


Andin mengangguk pelan. "Katanya, Jessica, nama orang yang donorin jantungnya buat aku, dia mau nikah."


Kedua pupil mata Elsa melebar mendengar cerita Andin. Persis seperti yang Andin duga. "Dia meninggal sebelum hari bahagianya terlaksana. Jadi, bagaimana bisa aku bahagia di atas duka yang dirasakan oleh Jessica dan tunangannya? Aku merasa enggak berhak, Sa."


Sesaat, Elsa tidak memberikan respons apa pun. Gadis itu hanya memandangi Andin lurus. Lantas pada sekon berikutnya, dia memegang tangan Andin dengan lembut.


"Aku paham apa yang Kak Andin rasain, dan aku bisa ngerti itu," ucap Elsa pelan. "Tapi, Kak, alih-alih berpikir demikian, kenapa Kakak enggak ngambil hikmah di balik apa yang terjadi sama mendiang Jessica?"


Andin mengerutkan kening. Membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari ucapan Elsa.


Tersenyum, Elsa menghela napas pelan. "Maksud aku gini, loh, Kak. Coba kita pikirin, apa alasan Jessica mendonorkan jantungnya buat Kakak? Bukankah karena dia ingin memberikan harapan baru untuk Kakak? Dia mau, setidaknya meski raganya sudah enggak ada, tetapi ada sesuatu yang masih tertinggal di sini. Dia mau ninggalin sesuatu yang berharga, yang bermanfaat. Dia ingin menciptakan kebahagiaan yang enggak bisa semua orang miliki, yaitu raga yang sehat. Yah, seperti Kak Andin."


"Bukannya Kak Andin juga ngerasain langsung manfaatnya? Dulu, Mama, Papa, Kakak, aku, kita semua hopeless dengan keadaan Kakak. Dengan kesehatan jantung Kak Andin yang terus memburuk. Mama dan Papa sudah pasrah, mereka terlalu sesak. Tapi berkat jantung yang didonorkan Jessica, kamu bisa sembuh sekarang. Kamu bisa hidup normal. Mama, Papa, aku, kita semua juga merasa lega karena hal itu. Jessica sudah melakukan sesuatu yang besar. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah bersyukur dan berterima kasih sebanyak-banyaknya ke dia. Bukannya begitu?"


Andin menatap lurus manik-manik mata Elsa. Tak terasa, kedua matanya sudah basah. Perempuan itu lantas menarik kedua sudut bibirnya, kendati air mata masih mengalir di pipi.


"Kenapa kamu cepet banget gedenya, sih, Sa? Padahal, aku ngerasa baru kemarin waktu kamu tantrum, marah-marah enggak jelas ke Mama sama Papa karena merasa diabaikan. Kamu membangkang, sering bolos sekolah, sampai Mama dipanggil BK."


"Kak Andin!" desis Elsa sebal.


Keduanya terkekeh pelan. Memang waktu begitu cepat berlalu. Andin dan Elsa dulu tak pernah akur. Bukan berarti mereka sering bertengkar. Hanya saja, Elsa selalu merasa bahwa kasih sayang orang tuanya lebih banyak tercurah kepada Andin daripada dirinya. Dulu, Elsa tidak mengerti alasan apa pun. Entah Andin sehat atau sakit, dia tetap berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Sampai akhirnya dia menyaksikan Andin koma, setahun lalu. Dan itu membuat Elsa tersadar, bahwa pemberontakan yang selama ini dia lakukan sama sekali tidak berdasar. Meski Andin adalah kakak, tetapi kondisinya berbeda. Dia tidak bisa menuntut kedua orang tuanya. Sebab apa yang mereka lakukan didasari oleh alasan yang jelas dan logis. Hanya dirinya saja yang egois.


"Kamu enggak sumpek diem terus di kamar rawat? Gimana kalau kita jalan-jalan ke depan? Aku mau beli es krim di Toserba."


Andin mendelik sejenak. "Memangnya enggak apa-apa kalau kita keluar? Aku juga pakai baju pasien gini."


"Enggak apa-apa. Kita nongkrong aja di taman. Es krimnya aku beli pake Go-Mart, gampang 'kan?"


Andin tersenyum mendengar ucapan Elsa. "Pinter banget adek aku," guraunya.


"Apaan, sih? Lebay!" decak Elsa, tertawa.


Keduanya bergegas keluar dari kamar. Elsa yang tingginya malah lebih tinggi daripada kakaknya, menggandeng tangan Andin. Sesekali menyender pada kakaknya. Terlihat manja. Sungguh, itu adalah pemandangan yang langka.


"Kamu mau makan sesuatu?" tanya Elsa ketika mereka berada di dalam lift.


Andin bergeming. "Enggak tahu," jawabnya setelah berpikir selama beberapa detik dan tidak bisa menemukan jawaban apa pun.


"Kok enggak tahu, sih?"


Andin terkekeh. "Sebenarnya mau makan es krim juga. Tapi, boleh enggak, ya?" ragu-ragu Andin bertanya.


Elsa langsung berdecak. "Hei, emang siapa juga yang larang?"


Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Dua orang lelaki berdiri di depan, menatap mereka. Keduanya lantas menyunggingkan senyum kepada dua orang tersebut sambil berjalan keluar.


Saat Andin melewati dua pria tersebut, jantungnya tiba-tiba saja berdebar secara abnormal. Membuat Andin segera menghentikan langkah dan berbalik untuk menatap mereka. Namun lift sudah tertutup. Dua pria itu masuk ke dalamnya.


"Kenapa?" tanya Elsa. Sadar kakaknya berlaku aneh.


Andin masih merenung. Merasa-rasai jantungnya yang masih berdebar. Dia berpikir, mungkin ini adalah efek samping dari operasi. Tidak ada kaitannya dengan apa pun.


"Enggak ada," balas Andin, menggeleng.


***