Try new experience
with our app

INSTALL

HEART (Ikatan Cinta Fanfiction) 

2. Jantung Jessica

Sebidang tanah yang luas itu begitu sepi. Begitu lengang. Begitu berangin. Hanya terdengar suara kendaraan yang cukup jauh. Suara semilir angin yang menyapu tanah kering. Serta, suara kesedihan.


Aldebaran Alfahri menjejakkan kaki di tempat yang sama lagi selama dua minggu belakangan, setiap hari. Menyusuri rumah-rumah yang sunyi, yang hanya sepetak demi sepetak tanah dengan batu nisan dan bunga di atas pusara.


Langkah Aldebaran berhenti di depan sebuah pusara yang masih basah. Meletakkan sekuntum mawar merah di atas tempat peristirahatan kekasih tercintanya tersebut, meski beberapa mawar masih tergeletak di sana. Sebagian sudah menguning dan kering, sebagiannya lagi baru saja layu dan tinggal menghitung waktu hingga mereka menyusul menjadi kuning dan kering seperti yang lain.


"Jes, bagaimana hari kamu di sana? Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Al getir. Sayangnya, tidak ada jawaban yang terdengar selain lirihan angin yang menyapu wajahnya.


Pria dengan perawakan tinggi kurus tersebut menghela napas dalam-dalam. Berusaha meredam rasa sesak yang setiap hari tidak pernah absen menggerogoti hatinya.


"Dia sudah siuman, Jes. Berkat kamu, dia baik-baik saja," gumam Al kembali. Nadanya semakin berat daripada sebelumnya.


Senyum lirih hadir di wajah tampan Al. Namun, matanya sama sekali tidak berbohong bahwa masih ada banyak sekali kesakitan yang tertinggal di sana.


"Jes, aku enggak tahu apakah aku bisa menjalankan amanat yang kamu berikan. Rasanya begitu berat untuk aku." Al mengadu pada Jessica, tunangannya yang harus pergi dengan cara paling tragis yang membuat Al hancur berkeping-keping.


"Segimana pun kamu bilang bahwa dia orang terbaik yang kamu kenal dan bisa menggantikan kamu untuk aku, aku tetap enggak bisa. Enggak ada orang yang bisa menggantikan posisi kamu di hati aku, Jes. Ini sulit."


Air mata yang beberapa sekon lalu mulai menggenang di pelupuk mata Al, kini akhirnya menetes dengan cara paling dramatis. Untungnya, semilir angin membuatnya cepat mengering kembali, meski tetap saja tercipta jejak di sana.


"Setiap hari rasanya adalah hari kematian aku. Setiap hari, aku mati lagi dan lagi setiap ingat bahwa kamu sudah enggak ada. Aku harus gimana?" Al terisak sejenak. Persetan jika seseorang harus melihatnya selemah ini sekarang. Setidaknya saat ini, dia tidak ingin berpura-pura kuat. Al ingin menyuarakan rasa sakitnya. Al ingin mengeluarkan rasa sesak yang membelenggu hatinya.


"Aku kangen kamu, Jes. Aku mau ikut kamu saja, istirahat tenang selamanya, supaya enggak bisa merasakan sesak ini lagi," tutur Al. Ia menengadah sejenak, berusaha menghentikan air matanya yang mengalir semakin deras dan deras.


Setelah beberapa saat, Al menarik napasnya dalam-dalam. Seperti biasa, dia harus mempersiapkan diri untuk kembali menghadapi kenyataan, bahwa dia tidak bisa menyusul Jessica pergi. Dia tetap harus menjalani rutinitas yang sama, berpura-pura kuat, berpura-pura baik-baik saja, berpura-pura bisa menjalani kehidupan sebagaimana mestinya.


***


Rumah sakit selalu ramai seperti biasa. Apalagi ini masih jam sibuk, di mana jadwal rawat jalan untuk beberapa poli masih berlangsung. Dengan kemeja berwarna ivory yang lengan panjangnya digulung sampai ke sikut, Al berjalan dengan langkah tenang tetapi cepat. Sepasang matanya lurus ke depan, begitu fokus.


"Selamat sore, Pak Al."


Al menanggapi berbagai sapaan yang dilayangkan padanya dari beberapa staf rumah sakit, termasuk para residen, ko-as, dan perawat. Lelaki itu hanya menanggapi sekadarnya. Mengisyaratkan bahwa dia sedang tidak bisa berbasa-basi saat ini.


"Lagi kebelet?"


Al tersentak saat seseorang menepuk keras bahunya. Kemudian tanpa rasa malu orang itu menggandeng bahu Al, sok akrab.


"Biasain kalau nyapa orang itu minimal pakai salam," tukas Al setelah menghela napas keras sebelumnya. Kesal dengan orang tersebut.


Pria di sisi Al terkekeh pelan. "Lagian, dari tadi jalan aja terus lurus. Kalau nabrak tembok gimana coba? Tengok kanan-kiri, lah. Juga, kalau disapa orang tuh minimal senyumnya lebar, biar enggak dikira robot."


"Bacot."


Jawaban galak Al tak lantas membuat pria di sisinya merasa tersinggung. Alih-alih tersinggung, pria itu malah tertawa. 


"Ngambekan ah, enggak asyik!" gerutu pria itu, berpura-pura sebal. Namun diam-diam dia melirik reaksi Al, memastikan bahwa pria itu menanggapi ucapannya. Sayangnya, tidak ada jawaban apa pun yang terlontar dari mulut Al.


Al hanya bisa menghela napas panjang menanggapi sikap kekanakkan pria yang sayangnya adalah sepupunya sendiri itu. Tidak berniat bersuara sedikit pun.


Nino, sepupu Al itu, kembali melirik Al secara singkat. "Tante Rosa nyuruh lo pulang," gumamnya, setelah jeda yang cukup lama.


Ucapan yang terlontar dari mulut Nino, seketika membuat Al bergeming. Raut muka yang sebelumnya terlihat datar, kini terlihat murung. Sangat jelas bahwa topik yang tiba-tiba diangkat oleh Nino begitu berpengaruh terhadap pria itu.


"Lo udah dua hari enggak pulang, Al. Tante Rosa cemas banget sama lo." Sekali lagi, Nino berujar. Bertepatan dengan langkah mereka yang akhirnya tiba di depan lift.


"Apa yang Mama bilang?" tanya Al kemudian.


Nino memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Semalam dia datang, ketemu sama nyokap. Terus ya gitu, cerita kalau lo akhir-akhir ini kelihatan murung. Selalu pulang larut, bahkan dua hari belakangan lo enggak pulang. Dia minta gue nitip pesan ke lo, supaya lo pulang, makan, dan tidur kayak orang normal."


"Ucapan terakhir itu pasti bukan Mama yang bilang," komentar Al.


Nino seketika menoleh dan memamerkan cengiran lebarnya yang sedikit menghibur Al. Dia senang karena Al merespons ucapannya dengan benar sekarang. Yah, setidaknya pria itu bukan lagi robot seperti beberapa waktu lalu. Waktu yang membuat semua orang teramat khawatir akan keadaannya.


Pintu lift terbuka. Seorang pasien perempuan digandeng oleh perempuan muda lainnya. Keduanya berjalan keluar. Tak lupa memberikan senyuman ramah tatkala keduanya mendapati Al dan Nino di sana.


Saat perempuan berpakaian baju pasien lewat di hadapannya, jantung Al rasanya mencelus. Di dalam tubuh perempuan itu ... ada jantung Jessica.


***