Try new experience
with our app

INSTALL

CINTA TERLARANG 

Me Vs Daddy!

TANGAN Karel gemetar saat menggenggam kenop pintu ruang kerja Marvin, papanya. Hanya untuk memutarnya saja, dia merasa sangat berat. Dia bimbang antara membuka pintu itu, atau berpaling saja dan tidak akan pernah berurusan lagi dengan papanya. Namun, setelah kepulangannya dari minggat diam-diam tiga tahun lalu ke rumah eyangnya di Prancis untuk kuliah, Karel tidak mau lagi perang sembunyi-sembunyi. Dia ingin tempur secara langsung. Satu lawan satu! Apa pun risikonya. Ya, meski dia tahu pertaruhan ini cukup bodoh. 

Karel menarik napas dalam dan berulang-ulang demi menyingkirkan kecemasan. Dia masih berdiri kaku, menatap pintu kayu. Masuk ke ruang kerja papanya sama saja terjun dalam meja judi; pertaruhan antara hidup dan mati.

“Masuk, Rel. Papa tahu, kamu ada di depan pintu.”

Sial! Apa Papa punya indra keenam? 

Bisa-bisanya tahu kalau dia sedang berdiri di depan pintu.

Karel pun tak punya pilihan selain harus maju. Dia akhirnya memutar kenop pintu ruangan dan mendorongnya hati-hati. Tak ada suara derit engsel. Hanya tumbukan daun pintu ke dinding yang Karel dengar saat masuk dan menapak lantai berkarpet tebal itu. Karel mengembuskan napas keras, menyadari dirinya telah terjebak di sebuah tempat penyiksaan mental daripada tempat kerja dan perpustakaan.

“Tutup lagi pintunya,” perintah Marvin dingin.

Tanpa berkata apa pun, Karel menuruti kemauan sang Papa seperti titah raja yang haram untuk dibantah. Dia merasa terimpit di dalam ruangan yang tertutup oleh lemari-lemari buku besar ini. Bahkan, pendingin ruangan yang disetting minim pun masih terasa panas untuk dirinya yang gugup, kesal, dan ingin marah. 

“Papa kok tahu kalau….”

“Bayangan tubuh kamu bisa Papa lihat dari sela bawah pintu,” potong Marvin menjelaskan. “Duduk. Mau bicara apa? Sepertinya sangat penting, sampai-sampai kamu sudi masuk di ruang yang kamu anggap neraka ini?”

Karel merasa bodoh sempat berpikiran Marvin memiliki indra keenam. Kekesalannya makin memuncak karena dia tidak terima papanya selalu berhasil membaca wajahnya seperti buku-buku koleksi di lemari kaca ini. Karel muak. Tapi, mau bagaimana lagi? Mencoba berbicara dengan papanya di ruang kerjanya ini adalah harapan terakhir demi impiannya. Karel tidak ingin mau mengalah lagi. Kali ini dia bertekad melawan papanya. Bukankah, setiap impian pasti ada harga yang harus dibayarkan?

“Nggak perlu duduk, Pa. Aku cuma ingin bicara sebentar, kok,” jawab Karel tak kalah dingin.

Marvin berdiri dari kursinya. Tersenyum penuh ejekan. Mata elang legamnya menembus langsung ke mata Karel yang bundar. Pria berahang keras dan berambut lurus rapi itu menatap anaknya sendiri seperti mangsa yang sudah masuk perangkapnya. Dia mendekati Karel yang semakin kaku. Marvin tahu persis sifat keras anaknya. 

“Sudah merasa jadi jagoan sekarang?” tanyanya tepat di depan Karel yang dengan susah payah mencoba memberi sinyal kepada keringatnya untuk tidak menyembul sekarang. Keringat di saat-saat seperti ini baginya, hanya sebuah lambang kekalahannya saja. Tapi, sialnya usaha kerasnya itu nihil. Di depan Marvin, Karel malah semakin merasa kerdil.

Dengan segala upaya Karel tetap mencoba tegar, berjuang sekuat tenaga mengusir perasaan minder itu. Karel harus sanggup bertahan melawan tekanan dari orang tua tunggalnya. Dia tidak ingin lari lagi dari masalah yang dari dulu belum juga terselesaikan; MINAT!

Karel si keras kepala tetap ngotot ingin menggeluti bidang pastry, cake, dan kuliner. Meskipun selama bertahun-tahun, seberapa pun besar keinginannya, seperti tidak pernah ada peluang untuk dikabulkan oleh Marvin. Karel kesal setengah mati ketika pemilik tubuh tinggi tegap berbalut polo shirt coklat yang sialnya papanya ini terus saja memaksanya untuk terjun di dunia properti, mengikuti jejaknya.

Di dalam kancah dunia cake and patisserie Indonesia, nama Karel memang belum terdengar akrab di telinga. Padahal, sebenarnya dia sudah mengantongi sertifikat chef cake and patissier di usianya yang belia. Belum lagi, gelar juara yang juga pernah disabetnya atas lomba Ecalir Competition yang diadakan oleh Le cordon Bleu, kampus D3-nya di Prancis satu tahun lalu.

Namun, semua track record-nya itu belum sanggup menerbangkan namanya di dunia pastry tanah air. Dia seperti masih perlu banyak waktu lagi untuk membuktikannya. Kalau dia masih punya waktu dan kesempatan. Karena semua prestasi membanggakan yang dibawanya pulang ke Indonesia itu seolah tidak ada artinya apa-apa bagi papanya.

“Pa, aku ingin mendirikan kafe dan toko roti,” ucap Karel pelan. 

Rencana yang sudah bertahun-tahun ada dalam benaknya akhirnya dapat dia utarakan juga di depan Marvin. Sudah cukup lama dia memendam impian itu. Dan malam ini dia putuskan untuk memperjuangkannya. Dia marah dengan sikap papanya yang selalu memandang remeh dunianya. Padahal, bertahun-tahun Karel sudah mencoba membuktikan kepada Marvin dengan menggondol sederet prestasi di bidang pastry. Tetapi tetap saja, di mata Marvin, dunia kue masih haram untuk Karel geluti.

“Kue? Masak?” tanya Marvin menghina, “Nggak bosen kamu bahas itu?”

“Pa, aku benar-benar cinta dengan bidang ini!”

“Alah! Masalah itu lagi!" bentak Marvin arogan. "Sudah berapa kali Papa bilang? Jangan masuki hobimu itu terlalu dalam. Sampai ke arah profesional segala. Papa hanya ingin kamu meneruskan bisnis properti Papa. Di mana letak susahnya, Rel?” lanjut Marvin dengan rahang yang mengeras. Mata tajamnya menusuk-nusuk Karel, menjadikannya mangsa yang sudah siap disantap.

Ya, begitulah, Marvin dan Karel memang seperti langit dan bumi. Marvin yang berwajah tegas, garang, dan tampan, sedangkan anaknya, Karel yang lebih berwajah baby face, bermata lembut, dan manis. Sepertinya memang gen mendiang mamanya, Claudia, yang merebut dan menguasai semua ciri fisik Karel. Lalu bagaimana dia tidak merasa minder dengan Papanya? Jika secara fisik saja, dia sudah terbanting jauh.

Marvin terlihat masih prima di umur kepala empat. Otot bisep terawat, perut six pack, postur tubuh tinggi, gagah, wajahnya pun sangat maskulin dan tampan. Beda jauh dengan Karel yang imut. Meski, dia tidak kalah atletis dan tinggi dari Marvin.

“Aku terlanjur suka dengan dunia pastry. Bukan properti!” Karel mulai tersulut emosi.

“Sekarang Papa tanya, Rel. Apa enaknya, masak-memasak ala perempuan? Kamu itu laki-laki! Anak tunggal Papa. Bagaimana bisa, kamu menggeluti bidang yang papamu ini benci!” 

Marvin sudah hilang kesabaran. Dia kembali memutari meja kerjanya. Dengan napas yang belum teratur, pria matang itu mencoba menenangkan diri dengan duduk di kursi busa empuk kesayangannya, masa tubuhnya menggerakkan sedikit empat rodanya di lantai.

“Kupikir Papa bukan benci dengan dunia pastry. Tapi, benci karena alasan lain,” jawab Karel penuh selidik. Matanya mengilat seperti mengerti sesuatu. Namun, dia mencoba merahasiakan dan menyimpannya. Dia mencari waktu yang tepat untuk meledakkan granat rahasia papanya.

“Kamu tahu apa soal Papa, ha?” tantang Marvin arogan.

“Oh, coba sekarang Papa jawab! Papa benci dunia pastry karena membuat Papa ingat Mama kan?”

“Jangan teruskan omong kosong itu, Rel!” bentak Marvin marah. Berani-beraninya Karel menguak masa lalunya.

“Justru, dengan jalan ini aku bisa mengenang kembali Mama,” suara Karel melembut. Mencoba menyentuh hati terdalam Marvin. Dia memohon dengan mata yang telah berkabut. “Bukankah, Papa masih ingat pesan terakhir Mama?” suara Karel makin terlihat getir dan serak.

“Mamamu itu sudah tidak ada!” bentak Marvin keras. Tubuhnya berdiri dan bergetar. Napasnya pun terdengar tidak lagi teratur. Dia benar-benar kacau. Antara marah, sedih, dan benci? Senyawa rasa itu bercampur menjadi satu larutan pekat bernama kenangan pahit.

“Itu yang ada di pikiran Papa. Tapi, bagiku Mama tetap hidup,” jawab Karel tegas.

“Rel, dengar Papa,” mohon Marvin melunak, “Kamu harus bisa menerima kenyataan kalau Mama sudah meninggalkan kita. Ayolah, masih ada Papa, yang selalu ada buat kamu.”

“Jangan bercanda, Pa. Hanya minta modal untuk bikin kafe saja dilarang. Selalu ada dari mananya!?” sindir Karel cepat. Wajahnya penuh sarkas yang ditujukan langsung untuk Marvin.

“Papa itu hanya ingin kamu sukses di dunia properti seperti Papa, menjadi penerus Papa. Itu saja kok keinginan Papa, Rel. Tapi, kamunya yang nggak ngerti-ngerti,” balas Marvin tidak kalah nyinyir mendengar sindiran dari putranya.

“Kalau cuma sukses seperti Papa, itu sih gampang! Asal Papa mau ngasih sedikit saja kepercayaan buatku mencoba bisnis kue ini. Sedikit saja, Pa. Nggak banyak! Dan aku janji, aku bakal buktikan, kalau aku juga bisa sesukses Papa. Meski, di dunia pastry, bukan PROPERTI!” tantang Karel kepada Marvin dengan tekad kuat.

“Kamu, sesukses Papa?” tawa Marvin pun meledak bersamaan dengan derit busa kursinya yang terdengar ikut menghina Karel. “Ini bukan lelucon kan, Rel?” tawa Marvin menggema kembali, hingga atmosfer ruang keluarga kecilnya terasa semakin panas saja. Padahal, AC sudah ter-setting suhu paling rendah.

“Oke! Akan kubuktikan kepada Papa!” janji Karel kepada Marvin.

“Oh oh oh... Sudah berani menantang Papa, ya? Hmm... Bagaimana kalau kita taruhan saja?” tawar Marvin dengan sikap yang masih saja merendahkan. Dia seperti kembali di umur mudanya dulu, penuh rasa percaya diri dan tidak mau dikalahkan siapa saja meskipun oleh anak sendiri.

“Siapa takut?! Apa tantangannya?” balas Karel nekat. Harga dirinya sudah diinjak-injak. Dia tidak ingin dihina lagi oleh papanya.

“Sabar, Rel. Papa akan buat dulu perjanjiannya di kertas. Nanti kamu baca, kalau sudah klik, oke, dan setuju, baru kamu bisa langsung tanda tangan. Bagaimana?” tawar Marvin sambil memikirkan surat perjanjian dan aturan main taruhan yang akan dia buat. Ide taruhan ini berhasil mengembalikan gairah berbisnis Marvin seperti ketika di awal karirnya. Apalagi, lawan taruhannya kini adalah anaknya sendiri.

“Jadi nggak sabar ingin segera melawan Papa,” tantang Karel sok percaya diri, meski sebenarnya dia ingin mati.

“Tunggu sebentar ya, anak manis. ”

“Hentikan menyebutku dengan panggilan itu!”

Marvin tertawa keras. “Duduk, Rel! Nggak capek kamu berdiri?”

Karel tak mengindahkan perintah papanya. Dia tetap berdiri tegak menghadap meja kerja Marvin. Dan tanpa perlu menghabiskan banyak waktu, Marvin pun selesai juga membuat surat perjanjian taruhan bisnis dengan Karel. Total ada tujuh poin perjanjian yang disuguhkan kepada Karel untuk dipelajari dan disetujui.

“Ini bukan jebakan kan?” tanya Karel was-was ketika akan membaca kertas yang disodorkan Marvin kepadanya.

“Baca saja,” perintah Marvin santai.

Selesai membaca perjanjian yang diketik sendiri oleh Marvin, Karel heran. Ternyata apa yang dikatakan papanya itu bukan hanya gertakan. Padahal, Karel kira semua yang diancamkan oleh Marvin hanyalah akal-akalannya saja untuk membuat Karel jera meminta modal. Nyatanya, syarat dan perjanjian yang diajukan Marvin kepadanya cukup berat dan tidak adil. Poin yang dibuat Marvin seperti memojokkan, mengancam, dan menyeretnya ke dunia properti. Belum lagi denda yang tidak sedikit.

“Nggak kusangka Papa seserius ini,” komentar Karel setelah membaca surat perjanjian dari Marvin.

“Nggak ada bisnis yang nggak serius, Rel. Bagaimana? Masih punya nyali untuk menantang Papa?” tantang Marvin dengan senyum arogan dan menyebalkan, yang membuat Karel ingin langsung menonjok wajah papanya.

“Sebelum aku tanda tangan, ada beberapa permohonanku terkait perjanjian ini.” Berusaha bersikap tegas dan berwibawa, Karel mengajukan syarat-sayarat.

“Sebutkan. Akan Papa pikirkan.”

“Nggak hanya dipikir, Pa. Tapi dikabulkan.”

“Rel, kamu anggap papamu ini Tuhan?”

Karel tak bisa mendebat papanya lagi. Dia pun mengatakan permohonannya sebelum menandatangani surat perjanjian taruhan dengan papanya.

“Pertama, aku ingin nama kafe yang akan kita dirikan bernama KOPANDA. Kedua, mulai sekarang aku ingin nama keluarga di belakang namaku diganti dengan nama keluarga Mama.”

“Itu mudah. Lagian itu menguntungkan bagi Papa.”

“Dengan tidak ada yang tahu jika aku anak Papa kan?”

“Tepat! Sesuai perjanjian.”

Papa yang kejam!

"Deal!" kata Karel berusaha mengusir keraguan dalam dirinya sendiri.

"Kalau begitu, bisa langsung silakan ditandatangani, Bapak Karel," goda Marvin tersenyum penuh kemenangan.

Karel akhirnya membubuhkan tanda tangannya di atas surat perjanjian itu. Sebelum diserahkan kembali kepada Marvin, dia memandangi lagi goresan yang baru saja dia torehkan. Kelegaan dan ketakutan lamat-lamat hadir. Goresan tanda tangannya itu membuatnya harus menerima konsekuensi terburuk. Jika kafe-nya kelak tidak berkembang dan harus ditutup, dia harus rela untuk dipenjarakan di dunia properti oleh Marvin. Sang Papa yang baginya adalah orang tua paling menyebalkan sejagat raya!

Mau nonjok, tapi kok papa sendiri. AARRGGHH!