Try new experience
with our app

INSTALL

Trah 

Trah 5. Kamar Kosong Berabad-abad

Trah 5. Kamar Kosong Berabad-abad 


Selesai menunaikan salat duhur dan saat semua sudah pergi dari masjid istana, Barata menghampiri Syekh Mursal yang baru selesai berzikir dan berdoa. “Syekh, Ananda hendak meminjam kunci kamar yang tidak pernah dibuka berabad-abad. Mana kuncinya, Syekh? Berikanlah kepada Ananda sekarang juga, Syekh!” Permintaan itu membuat Syekh Mursal cukup terkejut belum pernah ada yang meminta kunci itu selama turun menurun ayah, kekek, dan buyut-buyutnya menjaga kunci kamar itu.


“Mohon maaf, Pangeran, selama turun-temurun belum pernah ada yang meminta kunci itu. Belum pernah ada yang membuka kamar itu. Selain itu, tidak akan pernah kunci itu kami berikan kepada siapa pun juga, Pangeran. Kami sendiri tidak berani membuka dan masuk ke dalam kamar itu. Urungkanlah niat Pangeran itu. Lagian untuk apa Pangeran meminjam kunci itu? Kalau Pangeran membutuhkan kamar atau ruangan, masih sangatlah banyak yang lainnya, Pangeran.”


“Ananda hanya mau kamar itu, titik! Berikanlah kuncinya sekarang juga, Syekh!” Barata menyodorkan telapak tangannya.


“Ampun, saya tidak akan mengkhianati amanah dari buyut-buyut saya, Pangeran!”


“Jika begitu, maka, Syekh Mursal sama dengan mengkhianati Duhinbaia karena Ananda adalah putra mahkota Duhinbaia. Perintah Ananda, keinginan Ananda, haruslah dipenuhi, Syekh!”


“Ampun, saya tidaklah merugikan apa pun, Pangeran. Negeri Duhinbaia tidak akan rugi oleh karena saya menolak memberikan kunci kamar itu. Ananda Pangeran dan keluarga besar Ananda juga tidak akan dirugikan oleh karena sebuah kamar yang tidak pernah dibuka. Itu hanyalah kamar, Pangeran. Bagaimana bisa, Pangeran menuding saya berkhianat? Assalamualaikum!” Syekh menunduk sejenak lalu beranjak pergi dari masjid.


“Waalaikumsalam.”


Barata berpikir bagaimana caranya membujuk syekh agar mau memberikan kuncinya. Ia lalu terbesit sesuatu. Ia lekas menyusul Syekh Mursal.


“Justru itulah, Syekh! Itu hanyalah kamar! Kalau itu hanya kamar biasa, seharusnya tidaklah masalah. Kecuali jikalau di dalam kamar itu, berabad-abad, Syekh secara turun-temurun sejak buyut-buyut Syekh menyembunyikan sesuatu! Benarkan Syekh?”


Syekh terkejut, kesetiaan sejak buyut-buyutnya memegang amanah itu malah dianggap lain. “Ananda Pangeran! Ananda menuduh saya dan buyut-buyut saya telah melakukan sesuatu yang mengkhianati Duhinbaia begitu?”


“Lalu apa, Syekh? Itu hanyalah kamar, seperti yang baru saja Syekh katakan! Sungguhlah aneh jika hanya sebuah kamar sampai Syekh kekeh seperti itu! Secara logika, rasional, jangan-jangan ...?”


“Demi Allah, buyut-buyut saya hingga sampai ke saya tidak ada pengkhianatan sama sekali kepada Duhinbaia! Membuka kamar itu saja tidak pernah, apalagi menyembunyikan sesuatu di kamar itu! Saya sangatlah rela jika sisa umur saya diberikan kepada Ananda Pangeran!”


“Kalau begitu, Ananda mohon dengan sangat, berikanlah kuncinya, Syekh!”


“Bagaimana bisa saya mengkhianati amanah, Pangeran?”


“Kalau tidak ingin dicap atau dicurigai menyembunyikan sesuatu sejak buyut-buyut Syekh maka berikanlah kuncinya, Syekh!”


“Lagian untuk apa Pangeran pergunakan kamar itu?”


“Untuk tamu Ananda, Syekh.”


“Ada kamar lain, Ananda Pangeran!”


“Ananda mau kamar itu, Syekh! Aneh, sangat aneh kalau sampai tidak diperbolehkan, Syekh! Ananda akan membahas dan mempermasalahkan keanehan itu ke semua pejabat! Bukan hanya kepada pejabat Duhinbaia, tetapi ke forum internasional besok!”


Deg, Syekh Mursal merasa tidak punya pilihan khawatir malah kamar itu akan diobrak-abrik. “Asalkan Ananda Pangeran dan tamu Ananda bisa menjaga kamar itu dengan sangat baik. Tidak hilang satu barang pun. Tidak rusak atau berpindah satu barang pun.”


“Baik, akan Ananda peringatkan kepada gadis itu! Syekh juga boleh bertemu dengannya dan memberitahukan apa-apa yang boleh dan tidak boleh di kamar itu. Bagaimana, Syekh?”


Syekh dengan berat mengangguk. “Baiklah, Ananda Pangeran. Akan saya ambilkan kuncinya dahulu di kamar saya.”


“Ananda akan ikut Syekh ke kamar Syekh agar Syekh tidak berubah pikiran!”


“Mari, Pangeran!” Mereka berjalan menuju bangunan keluarga istana.


“Setelah mengambil kunci, saya mau bertemu dengan tamu Ananda Pangeran. Akan saya berikan langsung kuncinya kepada tamu itu. Saya sekaligus akan memberikannya amanah untuk menjaga tiap detail kamar itu.”


“Boleh, tetapi gadis itu belum datang, Syekh. Ananda masih mau memerintahkan Gifari dan Basu untuk membujuknya ke istana.”


“Ha? Ada persoalan apa sebenarnya, Pangeran?”


“Syekh tidak perlu mengetahui. Bukan sebuah masalah.”


“Saya sudah bersedia memberikan kuncinya. Alangkah adilnya jika saya tahu duduk persoalannya.”


“Ananda hanya iseng, Syekh. Eh ... bodohnya artis tidak terkenal itu malah datang sungguhan. Dia diusir dan sudah pasti tidak mendapatkan jatah kamar. Sekarang lontang-lantung tidak jelas. Mencari tempat tinggal gratis dengan menawarkan dirinya menjadi pembantu yang bisa sekalian tinggal di rumah itu.”


“Ha? Memangnya Ananda Pangeran melakukan keisengan apa?”


“Undangan pertemuan internasional, Syekh. Ananda mengirimkan ke artis tidak terkenal dari negeri Bebanda. Ananda hanya bermaksud membuatnya heboh karena mendapatkan undangan dari raja. Eh ... malah datang.”


“Iya benarlah sesuai harapan Ananda Pangeran, heboh. Heboh hingga siapa yang tidak akan datang mendapatkan undangan itu?” Syekh Mursal geleng-geleng.


“Sudah berabad-abad, pastinya kamar itu berdebu tebal. Akan saya bersihkan terlebih dahulu. Saya tidak mau para pelayan yang membersihkan karena kamar itu diamanahkan kepada saya.”


“Berdebu tebal ....” Cling, Barata kembali mendapatkan ide nakal. “Jangan! Jangan Syekh yang membersihkan! Biarlah dia sendiri nanti yang membersihkannya, Syekh!”


“Kamar itu amanah untuk saya, Pangeran!”


“Syekh tenang saja! Syekh beritahukan saja kepadanya nanti mana yang boleh mana yang tidak! Syekh cukup mengawasi dia! Kalau dia salah, marahi saja dia sesuka hati Syekh!”


Syekh Mursal menghela napas besar. “Ananda Pangeran teganya menyiksa anak orang,” celetuknya sembari geleng-geleng. Barata tersenyum miring merasa bahagia.


“Lalu apa alasannya, Ananda Pangeran memilih menempatkannya di kamar yang tidak pernah ditempati berabad-abad?”


“Karena kamar itu sudah kosong berabad-abad, Syekh. Ruangan yang tidak ditempati lama akan berhantu, Syekh,” terang Barata lalu kembali tersenyum miring. Syekh Mursal menangkap maksud hati Barata.


“Astaqfirullah!” Syekh Mursal geleng-geleng.


“Salah dia sendiri, bodoh, pakai datang!”


Barata mengeluarkan ponsel pintarnya dan menelepon. “Assalammualaikum, Gifari!”


“Waalaikumsalam, Pangeran.”


“Bagaimanakah, Apakah masih kalian ikuti dengan baik?”


“Masih, Pangeran. Ternyata dia melakukan hal yang sama, mencari pekerjaan yang sekaligus bisa tinggal. Akan tetapi, dia belum mendapatkannya sampai sekarang karena setiap rumah yang ia datangi sudah memiliki pembantu, Pangeran.”


“Sudah ada kamar untuknya. Kalian bujuklah dia untuk ke istana! Berikan lokasi kalian ke ponsel pintarku!”


“Baiklah, Pangeran.”


***


Lily berkaca-kaca. Lelah sekali rasanya mencari-cari pekerjaan belum kunjung ia dapatkan. Ia berhenti sejenak sembari mengedarkan pandangannya, menatap rumah-rumah besar yang ada. Ia berpikir manakah di antara rumah-rumah itu yang kemungkinan akan menerimanya.


“Kemungkinan besar rumah-rumah itu sudah memiliki pembantu.” Ia merasa tidak memiliki peluang. Ia merasa putus asa.


Ia teringat penyebab penderitaannya ini. Ia mengeluarkan undangan itu dari dalam tasnya. Ia menatapnya, membolak-balik, membuka, dan membacanya. Ia menghempaskan napas menyesal karena sudah dibutakan oleh rasa itu. Air matanya menjadi menitih beberapa bulir. Ia ingin sekali membuang kartu undangan itu. Ia melihat ke rumah-rumah itu, tetapi kali ini untuk mencari tempat sampah. Ia menemukan di depan setiap rumah-rumah itu ada. Ia menghampiri salah satunya. Ia masukkan undangan itu ke tong sampah. Setelah itu, ia menghempaskan napasnya untuk menguatkan diri. Ia merasa harus kembali berusaha mendapatkan pekerjaan di mana sekaligus ia bisa tinggal.


“Kalau tidak juga dapat, akan bermalam di mana?” lirihnya kebingungan. Ia menyeka air matanya lalu mengetuk pintu rumah di mana ia membuang kartu itu.


***


“Ini adalah kunci kamar itu, Pangeran. Seperti yang sudah hamba katakan tadi, hamba akan serahkan sendiri langsung saat bertemu dengan tamu Pangeran.” Syekh Mursal menunjukkan sebuah kunci kamar berbentuk kuno.


“Ananda akan ke sana untuk menjemputnya.”


***


Lily kembali gagal mendapatkan pekerjaan. Meskipun putus asa, ia terus mencoba mengetuk pintu rumah yang lain. Di saat itu, Gifari dan Basu menghampiri tong sampah. Basu membuka tong sampah. Ia melihat hanya kartu itu yang ada di dalamnya.


“Untunglah tidak ada sampah lain dan tong sampahnya kering,” kata Basu sambil mengambil kartu undangan itu lalu menyimpannya ke dalam tas selempang medium.


“Iya, setiap selesai waktu salat subuh, duhur, dan isya, di negeri ini, petugas kebersihan akan mengosongkan sampah setiap tong sampah umum dan tong sampah masyarakat yang berada di luar rumah,” kata Gifari.


“Ayo, lekas kita bujuk dia untuk kembali ke istana!” Basu lekas menghampiri Lily. Gifari lekas menyamai langkah Basu.


“Nona Lily!” sapa Basu.


Lily cukup terkejut dengan siapa yang menghampirinya. “Kalian lagi! Mau apalagi kalian?”


“Tentu saja mengajak Anda untuk pergi ke istana, Nona,” jawab Basu.


“Sudah saya katakan, saya tidak mau!”


“Ayolah, Nona! Apakah Nona tidak letih sedari tadi keliling?” kata Gifari.


“Bukan urusan kalian!” Lily pergi. Gifari dan Basu lekas mengekor.


“Pergilah kalian! Jangan ikuti saya terus!”


“Kami tidak akan pergi tanpa membawa Anda ke istana, Nona Lily!” tegas Gifari. Lily menjadi tidak bisa mencari pekerjaan.


Barata mengemudi sendiri dengan cukup cepat. Ia akhirnya sampai di mana Lily berada. Ia turun dari mobil dan menghampiri.


“Lily Adly, apa kamu tidak berpikir kalau yang diundang biasanya yang terkenal? Seharusnya kamu paham jika itu hanya undangan iseng.”


Deg, jantung Lily serasa mau copot mendengar suara dan melihat wajah cintanya secara langsung bahkan di hadapannya. Ia terdiam terpaku. Tubuhnya gemetaran. Pikirannya buntu. Mulutnya tercekat. Ia berusaha mengendalikan dirinya yang bereaksi seperti itu.


Lily hanya bisa berkata dalam hati. “Iya, aku memang bodoh. Sudah tahu, tapi buta karena kamu.”


“Bagaimana kalau membersihkan kamar di istana? Daripada menjadi pembantu untuk mendapatkan tempat tinggal. Kamar itu berdebu parah. Kamu bersihkan dan kamu bisa tinggal di kamar itu.


Lily membatin, “Lebih baik menjadi pembantu. Selain bisa tinggal, bisa dapat gaji.” Akan tetapi, ia menganggukkan kepalanya. Ia memilih kamar berdebu itu karena ia masih berharap bisa menatap Barata dari dekat sesering mungkin. Selama tiga hari lebih di negeri itu. Jadwal para undangan di istana itu adalah satu hari untuk kedatangan, tiga hari untuk acara pertemuan internasional, dan satu hari berikutnya pulang.


“Silakan naik!” Barata menghampiri mobilnya dan membukakan pintu belakang mobilnya.


“Ssss ... sasaya tidak layak. Saya akan naik angkutan umum saja.” Lily membuka suaranya, tetapi terbata.


Barata menarik tangannya. Lily cukup terkejut. Deg, deg, deg, hatinya semakin berdebar. Barata menariknya ke dekat pintu mobil yang telah terbuka.


“Masuk!” titah Barata. Lily kali ini tidak membantah. “Ayo, Gifari, Basu!”


“Pangeran akan menyetirkah? Biarlah saya saja, Pangeran.” Basu menyodorkan telapak tangannya. Barata memberikan kunci mobilnya. Gifari duduk di sisi Basu. Barata duduk di sisi Lily. Mobil melaju tidak pelan tidak cepat.


“Tas kamu tidak perlu duduk!” kata Barata saat melihat Lily memanggul tas di punggung sehingga yang duduk tas Lily sedangkan Lily hanya sedikit. Lily hanya melirik Barata sedikit dan tetap memanggul tasnya.


Basu mengerem. Hal itu membuat Lily terjatuh.


“Lepaskan tas kamu itu!” tegas Bara. Lily kali ini menurut. Bara membantunya melepaskan tas. Deg, deg, deg, membuat jantung Lily semakin berdebar tidak normal. Agar tidak salah tingkah, ia memilih menatap ke luar jendela di sisinya.


***


Lily akhirnya kembali ke istana. Ia bersama Barata, Basu, dan Gifari menuju ke bangunan keluarga istana. Lily dapat melihat tempat itu sungguh bagus, tetapi memilih menundukkan pandangannya. Tidak penting melihat kemewahan itu baginya.


***


Di depan kamar kosong berabad-abad.


“Syekh, ini adalah tamunya. Namanya Lily Adly. Lily Adly, ini adalah Syekh Mursal. Beliau adalah yang diamanahi kamar yang akan kamu tempati.” Barata memperkenalkan.


“Assalamualaikum, Syekh,” sapa Lily.


“Waalaikumsalam. Ananda Lily, di depan Ananda ini adalah kamar yang tidak terhitung berapa lamanya tidak pernah dibuka. Memang demikian yang diamanahkan oleh orang tua saya turun-temurun sejak buyut-buyut berabad-abad. Ini adalah kali pertamanya dibuka karena Pangeran Barata yang meminta. Tolong, kamu jagalah baik-baik, jangan ada barang yang hilang, rusak, berubah, atau berpindah satu pun! Ananda mengerti?”


“Insya Allah mengerti, Syekh.”


“Ananda tidak boleh mengajak siapa pun masuk ke kamar ini! Hanya saya, Pangeran Barata, dan Ananda Lily yang boleh! Oleh sebab itu, Ananda diharuskan mengunci kamar ini, baik sedang ke luar maupun berada di dalam kamar untuk mencegah orang lain masuk! Paham?”


“Paham, Syekh.”


“Seperti yang saya katakan tadi, kamar ini masih kotor. Kamu harus yang membersihkan sendiri karena tidak boleh satu pun orang lain yang masuk ke kamar ini. Kasihan kalau Syekh yang bersih-bersih. Tidak mungkin juga saya yang bersih-bersih.”


“Baik, akan saya bersihkan sendiri, Pangeran.” Lily tersenyum.


“Saya percayakan kepada Ananda kamar yang diamanahkan kepada keluarga saya turun-temurun.” Syekh Mursal menyerahkan kunci. Lily menerima kunci kamar itu. Sekilas, Syekh Mursal melihat sosok pria tampan pada diri Lily. Syekh sungguh tidak mengerti siapakah yang baru saja terbayang olehnya.


“Basu, Gifari, ayo!” Barata dan kedua temannya pergi.


“Terima kasih, Pangeran,” ucap Lily mengiringi langkah Barata.


“Saya tinggal ya, Ananda?”


“Terima kasih, Syekh.”


Setelah semua pergi Lily membuka kamar itu. Ia masuk dan melihat kamar itu tampak kuno, mewah, sangat luas, rapi, tetapi berdebu tebal. Sekilas, ia merasa melihat bayangan kegiatan sehari-hari di zaman kuno di dalam kamar itu. Ia pikir itu imajinasinya saja. Lily bernapas lega, setidaknya mendapatkan tempat berteduh meskipun berdebu tebal.


“Uhuk uhuk! Hachi hachi!” Hela napasnya yang kencang membuatnya menghirup debu.


“Oh, iya, harus aku kunci.” Lily teringat pesan Syekh Mursal harus mengunci pintu baik saat ke luar maupun saat di dalam.


Saat mengunci pintu, badannya menghadap ke pintu.


Setttt!


Ia merasakan seperti ada yang melintas di belakangnya. Ia lekas berbalik badan menghadap ke dalam kamar lagi. Di saat itu, bayangan kegiatan hari-hari di zaman kuno di kamar itu muncul lebih banyak.


Bersambung

Terima kasih

:) :) :)


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)