Try new experience
with our app

INSTALL

Trah 

Trah 3. Setidaknya Pernah Melihatnya dari Dekat

Trah 3. Setidaknya Pernah Melihatnya dari Dekat


Reff


Cantik di hati ....

Cantik di pikir ....

Cantik yang terpancar dari senyuman ....


Cantik di hati ....

Cantik di pikir ....

Cantik yang terpancar dari senyuman ....


...........


Cantikmu cantik apa?

Benakmu berpikir apa?

Senyummu semanis apa?

Rupawan, siasat membentuk senyuman.


Reff 


Cantik di hati.

Cantik di pikir.

Cantik yang terpancar dari senyuman.


Cantik di hati.

Cantik di pikir.

Cantik yang terpancar dari senyuman.


...........


Cantikmu cantik apa?

Benakmu berpikir apa?

Senyummu semanis apa?

Rupawan, siasat membentuk senyuman.


Reff 


Cantik di hati.

Cantik di pikir.

Cantik yang terpancar dari senyuman.


Cantik di hati.

Cantik di pikir.

Cantik yang terpancar dari senyuman.


...........


Cantikmu cantik apa?

Rupawan, siasat membentuk senyuman.


Cantik di hati.

Cantik di pikir.

Cantik yang terpancar dari senyuman.


Cantik di hati ....

Cantik di pikir ....

Cantik yang terpancar ....

Dari senyuman ....

Cantik ....


Lily tampil sebagai pembuka di acara musik di awal pagi yang cerah. Membawa suasana positif di sebuah stasiun televisi yang sedang live dengan panggung terbuka. Kali ini, ia mengenakan midi dress lengan panjang dengan warna dasar katun peach bermotif mawar warna-warni. Alas kakinya mengenakan sepasang bot pendek berbahan kulit berwarna cokelat tua. Rambutnya ringkas diikat tinggi dengan penuh jepitan kupu-kupu dan bunga-bunga warna-warni melingkari ikatan itu, lalu dikepang sampai bawah dengan hiasan sebuah jepit kupu-kupu. Sepasang antingnya silver berbentuk kupu-kupu. Di jari tengah tangan kirinya mengenakan cincin silver yang juga berbentuk kupu-kupu. Makeupnya look natural, tidak ada yang mencolok, tetapi nampak segar.


Setelah selesai tampil, ia masih menunggu karena akan tampil juga sebagai penutup di acara itu. Di saat itu, para penyanyi senior juga sedang menunggu giliran untuk tampil. Salah satunya adalah penyanyi papan atas yang sudah go internasional yang ia ketahui dari ayahnya mendapatkan undangan dari Raja Alberga. Ia menjadi penasaran akan kebenaran kata-kata ayahnya jika penyanyi itu salah satu yang diundang. Di kesempatan sedang berdekatan, ia memberanikan diri untuk bertanya.


“Kakak dapat undangan ya, dari Raja Alberga?”


“Kok tahu? Aku belum kasih tahu siapa-siapa loh. Baru nanti setelah acara ini kalau ada wartawan tanya akan aku beri tahu.”


“Ayahku kerja di kantor kementerian dalam negeri di mana undangan itu datang. Ayahku yang pertama kali menerima kartu-kartu undangannya. Jadi, ayahku tahu siapa-siapa saja yang diundang.”


“Oh ....”


Setelah perbincangan itu, Lily pun teringat undangan yang didapatkannya. Menurutnya, undangan itu palsu meskipun tidak ditemukan celah kepalsuannya. Namun demikian, yang tersimpan rapat di dalam hatinya bergejolak. Membuatnya memiliki pemikiran, salah atau benar undangan itu, ia harus datang.


“Undangan itu, bisa menjadi alasan melihat dia dari dekat. Palsu atau benar undangannya, yang penting datang melihat dia,” batinnya lalu senyum-senyum.


Ia lekas mengeluarkan ponsel pintarnya. Ia membuka media sosial. Ia mencari apa pun postingan yang ada dia. Gambar-gambar itu membuatnya merasa rendah diri dan malu.


“Tidak. Tidak perlu. Buat apa datang melihat dia?” batinnya.


Akan tetapi, hatinya terus bergejolak antara datang dan tidak. Rasa yang besar, membuatnya berkeinginan besar untuk datang. Tahu diri, membuatnya meyakinkan dirinya, tidaklah berguna melihat pangeran itu, malah membuang-buang uang. Pada akhirnya, jatuh hati yang memenangkannya, membutakannya, membuatnya mantap akan pergi ke Duhinbaia.


“Paling tidak, aku pernah melihat dia dari dekat.” Ia terus bermonolog dalam hati memikirkan Barata sembari menunggu gilirannya tampil lagi.


***


Akhirnya, Lily memutuskan untuk datang. Untuk itu, ia perlu menabung. Ia menjadi sangat menghemat untuk bisa pergi melihat dia dari dekat. Sampai-sampai untuk tampil, ia memadu padankan baju-baju dan pernak-pernik yang sudah ada agar tidak perlu membeli kostum baru. Akan tetapi, ia tidak mengatakan kepada siapa pun mengenai niatnya yang mau ke Negeri Duhinbaia. Ia akan bercerita kepada kedua orang tuanya jika sudah akan membeli tiketnya.


Gayung bersambut, menteri dalam Negeri Bebanda yang tahu undangan itu asli memikirkan keberangkatan Lily ke Negeri Duhinbaia. Menteri itu mengetahui kondisi ekonomi Adly. Oleh sebab itu, ia hendak memberikan tiket pesawat dan uang saku untuk Lily.


“Tapi, Pak, undangan itu palsu.”


“Palsu bagaimana, Adly? Saya sendiri sudah berkomunikasi dengan pejabat Bebanda di Duhinbaia. Pejabat Bebanda di sana sudah menanyakan pada menteri di sana. Menteri di sana sudah menanyakan pada Pangeran Barata. Apa kamu pikir pejabat di sana bohong?”


“Bukan maksud begitu, Pak. Realistis, Lily tidak mungkin diundang, Pak. Lily masih artis baru. Di Bebanda sendiri belum dikenal.”


“Katanya memang belum dikenal Adly. Coba kamu cari artis baru yang namanya Lily Adly selain putri kamu! Ada tidak?” Adly bingung tidak bisa menjawabnya. “Sudah, ambil ini, buat uang saku Lily nanti di sana! Pokoknya Lily harus datang! Tiketnya saya pesankan! Soal tempat tinggal, semua undangan seperti biasa, pasti dipersilakan tinggal di istana!” Pak Salam menegaskan setegas-tegasnya. Adly tidak mau berdebat dan hanya bisa menurut. Hitung-hitung jalan-jalan untuk Lily kalaupun undangan itu palsu.


***


“Ayah, Ibu, em ... Lily akan traveling ke Duhinbaia. Mumpung di sana banyak artis dan selebriti papan atas. Juga para raja dari berbagai negeri.”


“Kamu tinggal berangkat saja, pak Salam katanya yang akan membelikan tiketnya untuk kamu. Nih, amplop! Isinya uang dari pak Salam buat uang saku kamu nanti di sana.”


“Kenapa pak Salam repot-repot, Ayah?” heran Lily.


“Kata pak Salam undangan itu asli. Masak pejabat di sana berbohong?”


“Asli? Mana mungkin, Ayah?”


“Ayah juga tidak percaya, tapi datang saja karena pak Salam mengharuskan. Lumayan ‘kan daripada lumanyun? Kalau undangan itu palsu, setidaknya kamu jadi traveling gratis.” Lily tersenyum.


“Ibu akan buatkan kamu kue-kue untuk bekal kamu yang bisa awet selama beberapa hari kamu di sana.”


“Terima kasih, Ibu, Ayah.”


“Wah, jangan lupa oleh-olehnya!” seru Atalarik Adly.


“Kalau uang Kakak cukup, tidak janji. Soalnya katanya di sana serba mahal.”


“Iya, pasti mahal karena itu negeri besar. Kamu tidak perlu beli apa-apa, jalan-jalan saja!” kata Adly.


***


Deg, deg, deg, di hari H keberangkatan. “Buat apa begitu canggung? Toh dia tidak akan menengok. Kalaupun menengok, pastinya sebuah ketidaksengajaan.”


“Semoga. Begitu saja sudah cukup.” Berharap keberuntungan demikian, lalu senyum-senyum.


Sampailah Lily di Negeri Duhinbaia dengan penerbangan kelas ekonomi. Lily cukup kagum karena di Duhinbaia lebih banyak dan lebih tinggi gedung-gedung pencakar langitnya daripada di Bebanda. Ia melihat jauh dari mata memandang nampak padang pasir. Kemudian, ia lebih terpukau hingga membuatnya terdiam saat sekilas melihat Barata dalam sebuah mobil yang sedang beriring-iringan dengan mobil yang lain.


“Mau ke mana? Aku mau ke istana kamu,” batin Lily yang sedang duduk di dalam taksi bandara. “Apakah hanya sekilas ini atau aku akan bisa melihat kamu lagi dari dekat atau bahkan lebih dekat dan sangat dekat?” batinnya lagi saat iring-iringan mobil dari istana itu sudah tidak nampak dari jangkauan matanya.


***


Semua artis dan selebriti telah berdatangan di Istana Duhinbaia. Malah ada yang sudah datang di negeri itu sebelumnya dengan menginap di hotel terdekat dengan istana. Semua undangan menunjukkan undangan yang didapat. Kemudian, para petugas akan menscan kartu undangan itu. Jika benar asli maka akan terdaftar di komputer sebagai tamu dan dipersilakan menempati salah satu kamar di istana itu. Semua antre meskipun banyak petugas yang menangani.


Sampailah pada gilirannya Lily. Lily menunjukkan undangannya. Petugas memeriksa undangannya. Tidak ada yang bisa discan pada undangan itu.


“Palsu, kamu bukan tamu! Siapa kamu? Meskipun aku tidak tahu diundang atau tidak, artis dan selebriti yang datang, tapi aku mengenal semua kecuali kamu! Apa aku melewatkan perkembangan entertainment? Siapa kamu dan dapat dari mana undangan ini?” tegas petugas yang memeriksa Lily.


“Saya tidak tahu undangan itu asli atau palsu. Saya mendapatkan undangan itu dari pak Salam menteri dalam negeri dari Negeri Bebanda. Beliau mengatakan kepada ayah saya itu asli. Bahkan beliau yang membiayai saya sampai ke negeri ini.”


“Pantas saja dari tadi aku lihat kamu, kamu tuh siapa, kok aku tidak pernah lihat,” kata salah satu selebriti dunia olahraga dari negeri lain.


“Pikir dulu kalau mau ke sini! Kamu siapa? Lihat, semuanya tokoh terkenal sampai pelosok negeri mana pun!” celetuk artis dari negeri lain lagi.


“Kamu pasti menduplikat! Katanya kamu, ayah kamu kerja di kantor kementerian dalam negeri ‘kan?” celetuk Linsa, penyanyi internasional dari Bebanda yang sempat satu acara musik dengan Lily.


“Ayah aku tidak melakukan hal itu, Kak!” Lily begitu malu, bagaimana ia bisa datang ke istana itu, padahal tidak diundang. Ditambah lagi dirinya bukan siapa-siapa, sementara yang lain, semua orang terkenal. Ayahnya menjadi dituduh, itu yang paling menyesakkannya. Matanya berkaca-kaca.


“Kamu pasti halu setelah membaca undangan punyaku yang waktu itu.” Karina, aktris go internasional dari Bebanda ikut mencemoohnya.


“Kamu tidak bisa mendapatkan kamar di istana! Em ... siapa nama kamu?” Petugas membaca nama yang tertera di undangan. “Lily Adly!” tegasnya penuh penekanan di setiap katanya. Dari penekanan di setiap kata itu, Lily paham jika diusir.


Lily tersenyum. “Assalammualaikum.”


“Waalaikumsalam,” jawab petugas mengiringi langkah Lily pergi.


Sembari melangkah, Lily membatin, “Benar kata kak Karina, aku halu. Aku halu gara-gara cinta buta dengan pangeran.”


Setelah langkahnya membawanya ke luar dari pintu gerbang istana, ia tersenyum, dan membatin, “Ternyata hanya sekilas tadi aku melihat pangeran dari dekat. Alhamdulillah.”


Lily mengedarkan pandangannya mencari-cari penginapan di sekitar istana. Ia melihat sebuah gedung bertingkat bertuliskan hotel. Akan tetapi, ia melihat itu bintang lima. Ia mengedarkan pandangannya mencari lagi. Ia menemukan bangunan lagi bertuliskan hotel dan penampakkannya sederhana. Ia lekas mendatangi hotel itu.


“Berapa permalamnya di sini untuk kamar termurah?”


“Sebelas juta. Di sini adalah hotel termurah di sekitar istana.” Mendengar keterangan itu Lily sampai menarik napasnya dengan cepat. Ia terhenyak karena harganya sepuluh kali lipat dari harga hotel di negerinya.


“Kalau yang jauh dari istana yang paling murah juga segitu?”


“Kalau jauh dari istana paling murah biasanya sekitar delapan, sembilan jutaan.”


“Terima kasih, infonya. Assalamualaikum.”


“Tidak jadi menginap di sini?” tanya petugas hotel. Lily hanya tersenyum. “Waalaikumsalam,” jawabnya kemudian dengan terlambat mengiringi langkah Lily ke luar dari hotel.


“Semalam saja segitu. Sampai hari pulang berapa? Uang sakuku pas-pasan. Untung dapat tambahan dari pak Salam. Belum makan hari-hari di sini. Aku juga ingin membawakan oleh-oleh. Sekarang bagaimana?” batin Lily saat telah berada di luar hotel termurah di dekat istana itu.


Bersambung

Terima kasih

:) :) :)


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)