Contents
Love You Sersan
Kedatangan Sersan
“Enggak usah mengkhayal tinggi jadi Dokter deh, itu akan jadi mimpimu saja, dasar tukang halu!” kata Laura ketus pada saudara sepupunya dengan tatapan yang sungguh menyebalkan.
Alika hanya bisa tersenyum getir, menanggapi ucapan tajam yang terlontar dari saudara supupunya itu.
Alika Jasmin ... menjadi yatim-piatu sejak ia berumur 10 tahun karena sebuah kecelakaan beruntun yang membuat orangtuanya mengembuskan napas terakhir di tempat kejadian.
“Biar saja, apa masalahmu jika aku bermimpi? Bermimpilah dalam hidup, jangan hidup dalam mimpi seperti apa yang kamu lakukan sekarang, hanya bermalas-malasan!” sahut Alika.
Jangan bayangkan ia gadis lemah, penurut, diam jika dihina. Bukan karakter Alika! Kini tatapan tajam ia layangkan ke arah Laura, tangannya berkacak pinggang sambil memutar gantungan kunci di tangannya.
“Hei! Kamu itu hanya menumpang di rumahku, enggak lebih layaknya Upik Abu! Sadar dan berpikirlah!” ucap Laura dengan intonasi yang meninggi.
Jika mereka sudah memulai keributan, jangan harapkan salah satu dari mereka mengalah sebelum ada yang memisahkan sahutan demi sahutan yang terlontar tanpa henti.
“Jangan lupakan ini rumah Nenek! Bukan rumahmu ... ini rumah bersama, tidak ada istilah menumpang.”
“Siapa yang bilang ini rumah Nenek?” tanya seseorang yang tidak lain Tantenya—Lirna.
Mulut Alika terkatup rapat mendengar ucapan dari tantenya, Lirna memegang sebuah map cukup besar. Ia membuka map tersebut lalu menunjukkan lembaran cukup tebal yang di bagian depan tertulis “SERTIFIKAT”, mata Alika membulat sempurna melihat sesuatu yang dipegang tantenya.
“Mulai saat ini rumah yang kita tempati adalah milikku, bukan milik Nenek atau pun almarhum orang tuamu.”
“Dasar licik!” geram Alika.
Sang Nenek—Farida datang dengan wajah lesu, ia tidak bisa menghentikan anak pertamanya untuk mengubah semua harta menjadi atas nama Lirna Rehana. Semua atas paksaan anak pertamanya itu, kini Alika tidak mendapatkan hak apa pun atas harta keluarganya yang selama ini dikelola sang Nenek.
Hancur sudah harapan Alika mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran hingga tamat jika kondisinya seperti ini, siapa yang akan membiayai kuliahnya dengan jurusan yang terkenal harus merogoh kocek yang cukup dalam.
“Maafkan Nenek Alika,” desis Neneknya dengan wajah menunduk dalam.
Tawa penuh kemenangan terdengar dari Laura, rencana ibunya terwujud sudah sesuai rencana sejak lama tanpa sepengetahuan Alika tentunya. Mereka meninggalkan Alika dan Nenek dengan tawa yang terdengar memuakkan.
Lidah Alika kelu, ia pun bingung ingin berbuat apa lagi. Secara hukum Lirna sudah tentu menang di atas angin, kini Alika hanya bisa terduduk lesu di atas sofa menghempaskan tubuhnya.
“Maafkan Nenek, Nak,” ucap sang Nenek sekali lagi, beliau pun terduduk lesu di samping cucunya.
“Nasi sudah menjadi bubur, Nek.”
“Nenek juga tidak bisa membiayai kuliahmu lagi karena kafe dan toko roti yang Nenek kelola di ambil alih oleh Lirna juga. Sungguh ini tak adil untukmu, tapi Nenek tidak bisa membiarkan Lirna dan Laura meninggalkan Nenek jika tidak mengikuti keinginan mereka.”
Alika mengambil napas dalam, memasok oksigen dalam rongga dada sebelum akhirnya mengangguk pasrah dan merengkuh tubuh ringkih Neneknya.
“Alika akan berusaha lebih keras lagi, Nek. Jangan lupakan jika Alika gadis yang kuat, gadis yang memiliki mimpi dalam hidup, kelak Nenek akan bangga ketika snelli putih terpasang di tubuh ini,” kata Alika penuh keyakinan.
Sang Nenek tersenyum hangat, tetap ada binar semangat dan kebahagiaan yang terpancar dari sorot mata Alika di tengah masalah yang dihadapi dalam hidupnya.
“Ingatlah Alika, mimpimu jangan melambung tinggi. Kamu hanya menumpang di rumah ini, tak punya orang tua dan tak memiliki hak apa pun atas semua harta yang aku dan Mama miliki sekarang,” kata Laura yang keluar kembali dari kamarnya dengan baju yang sudah rapi.
“Laura! Jaga ucapanmu, dia adik sepupumu satu-satunya. Sesuai perjanjian, mama-mu akan tetap membiayai kuliah Alika setelah nenek menandatangani semuanya,” bela Nenek Farida.
“Hanya teori, Nek. Tidak lebih iming-iming semata ... sudahlah aku mau bersenang-senang dulu.”
Sebelum Alika membalas ucapan, Laura langsung melenggang begitu saja dari hadapan sang Nenek dan Alika.
**
Pelukan hangat menyapa pria bertubuh tegap, matanya sipit, rambut cepak seturunnya ia dari pesawat yang di sambut oleh beberapa petinggi negara. Sang Ayah hanya menelan saliva ketika tidak ada balasan pelukan dari anaknya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Pertanyaan untuk seorang anak atau pertanyaan dari petinggi ke bawahannya?”
“Kaelan Prananta nama yang berarti pejuang yang kuat, cerdas dan berbakat,” jawab sang Ayah.
“Oh! Berarti pertanyaan sebagai orang tua, seperti yang anda lihat. Semua baik-baik saja, aku tidak meregang nyawa di medan perang, pejuang yang kuat sesuai nama yang anda berikan.”
“Ayah kira kamu akan berubah, tidak marah pada ayahmu lagi.” Suaranya terdengar melemah, Ayah Kaelan—Aditama Prananta tidak menyangka sang anak masih menyimpan kekecewaan terhadapnya.
“Aku tidak marah, percuma saja marah karena pada nyatanya aku tetap mengikuti keinginan anda untuk masuk ke dalam dunia militer mengikuti jejak anda, iya ‘kan?”
Aditama menghela napas, ia sudah kehabisan kata-kata dan malas jika berdebat lagi dengan anaknya.
“Pulanglah, Ibu menunggumu.”
Tanpa banyak bicara ia meninggalkan ayahnya, menekan rasa bersalah yang tak dipungkiri hadir ketika bersikap seperti itu. Namun, egonya masih terlalu tinggi untuk menerima semua keputusan besar yang ayahnya lakukan dalam menentukan hidupnya.
[Aku sudah kembali, kita bertemu di kafe biasa, aku rindu.] Pesan yang langsung dikirimkan ketika masuk ke dalam mobil yang sudah menjemputnya di area parkir bandara.
Ceklis berwarna biru langsung terlihat, tanpa menunggu balasan ia memasukkan gawainya dan meminta supir pribadi sang Ayah untuk membawa barang bawaan kembali ke rumah lebih dulu.
Kini Kaelan menuju kafe tempat yang sudah dijanjikan menggunakan motor yang sengaja ia pinjam pada juniornya. Dalam waktu setengah jam ia sampai di sebuah kafe ternama, ia melangkah pasti masuk ke dalam, sudah tak sabar bertemu sang kekasih hati yang sudah ia tinggal hampir 2 tahun lamanya.
Ia memelankan langkah ketika menangkap sosok kekasihnya—Laura tengah bergelayut manja dengan seorang pria yang sama sekali tidak ia kenali. Senyumnya pun memudar, hatinya sudah tak karuan terlebih Laura menampilkan wajah biasa saja ketika melihat keberadaan Kaelan yang sudah berada di seberang meja.
Tidak ada kerinduan, tidak ada sikap manis apa lagi sebuah pelukan, sekarang semua itu hanya harapan semata, bisa disebut juga mimpi!
“Hai,” sapa Laura.
Suaranya lembut, wajahnya tetap terlihat cantik dan terawat.
“Apa maksud semua ini, Laura?” tanya Kaelan dengan suara berat menahan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun.
“Duduk saja dulu, jangan terlalu kaget dan kaku.”
Kaelan duduk, matanya menatap tajam 2 orang yang kini dihadapan, tatapan yang rasanya ingin menguliti inchi demi inchi kulit mereka.
“Perkenalkan ini Joshua,” kata Laura.
Joshua tanpa malu mengulurkan tangan ke arah Kaelan, dengan cepat tangan yang terulur itu ditepis kasar.
“Jelaskan maksudmu, Laura! Siapa pria disampingmu?”
“Sorry ya, kita putus. Aku lebih memilih Joshua yang seorang pengusaha dibandingkan seorang Sersan sepertimu, ternyata aku tidak bisa ditinggal pergi dalam jangka waktu lama hanya untuk sekadar menunggu seseorang yang entah kembali hidup atau tinggal nama,” kata Laura pada kekasihnya—Kaelan.
Wajah tampan nan penuh ketegasan itu mengeratkan rahang, tangannya terkepal kuat dengan tatapan tajam menghunus jantung, tapi Laura tetap bersikap biasa saja tanpa rasa takut sedikit pun karena ia sangat paham karakter Kaelan seperti apa, ia tidak akan menyakiti perempuan seberapa pun kesalnya.
Marah?
Tentu saja ... selama di medan perang perempuan yang kini dihadapan selalu ia rindukan, berharap kesempatan pertemuan kali ini adalah pelepasan rindu tapi ternyata akhir dari hubungan mereka dan pil pahit harus ia terima ketika profesi menjadi alasan selain pihak ketiga.
Brak!
Meja kafe digebrak keras Kaelan, dadanya naik turun menahan emosi ... tangan Laura langsung mencengkeram baju Joshua menahan takut ketika melihat ekspresi marah seseorang yang kini berstatus mantan.
Benar saja, Kaelan tak bisa menahan amarah dalam dada, ia menarik kerah baju Joshua hingga tubuh pria selingkuhan Laura terangkat.
“Apa yang ingin kau lakukan?!” teriak Laura dengan suara bergetar karena takut.
~Bersambung~