Try new experience
with our app

INSTALL

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT) 

1. THE RICH GIRL AND THE (UN)LUCKY GUY

Jakarta, 2 Mei 2016

Barcode Club, rooftop Le Codeffin LT. 3 Kemang
 

'Lihat, itu anak William Soetedja.'

'Gue tahu. Yang tajir dan suka nongol di acara-acara selebritis itu kan?'

'Tajir, tapi judesnya... Ngalahin Hittler kalo lagi pms.'

'Sejak kapan Hittler bisa pms?'

'Sejak gue lihat muka cewek itu barusan. Muka pembunuh. Dan... Apa-apaan dengan bajunya itu?'

Oh, yes. Aku datang untuk membunuh, kalau saja kalian, para pengunjung tahu apa yang akan kulakukan sekarang ini. Mungkin aku akan memberikan kalian tontonan yang menarik. Soal bajuku, mungkin kalian akan heran kenapa aku mengenakan gaun pengantin berbelahan sedang warna putih gading. Tampak seperti pengantin wanita yang menderita tanpa kehadiran pengantin pria. Terlihat dramatis? Jangan khawatir, aku cuma kebetulan sedang mengepas gaun pengantin milik butik sahabatku dan terlalu sial karena resletingnya stuck yang membuatnya kesulitan melepasnya sebelum datang ke tempat ini.

Aku meninggalkan acara gladi bersih peragaan busana pengantin yang secara khusus mengundangku. Sang pemilik butik yang tak lain adalah desainer yang pernah menjadi teman SMA-ku itu memberiku kehormatan untuk menjadi model utamanya. Tapi sayang, aku merusak acara penting itu dengan menginjakkan kakiku di tempat ini. Dan ya, aku dengan senang hati menjadi pembunuh untuk ini.

Tahu kenapa?

Tentu saja karena ... Ah sebentar, sebelumnya aku terlebih dahulu harus mencari orang yang telah merusak mood-ku hari ini. Itu dia ….

Berpenampilan menyolok dengan setelan mahal, wajah seperti model pria di katalog busana, bertubuh tinggi, senyum memikat dengan alis yang sedikit angkuh. Tertawa lepas tanpa beban di samping seorang gadis lalu mencoba bercanda dengan bartender yang menyuguhkan minuman untuknya. Sambil menyesap minuman yang aku tahu adalah favoritnya, campuran vodka dan cocktail sour apple. Sangat bergaya, namun sekaligus membuatku muak. Berikutnya sosok itu menebar senyumnya yang kuhapal benar bertujuan untuk merayu. Siapa lagi kalau bukan ditujukan untuk gadis di sebelahnya yang berlekuk tubuh sangat mengundang.

Lihat saja apa dia masih bisa tersenyum saat melihatku datang menghampiri tempat duduknya. Dasar penghisap darah.

“Kok seneng-seneng di sini aku nggak diajak, Hon?" sapaku dengan senyum yang kupaksakan. Pria tampan itu menoleh ke arahku dan seketika raut wajahnya berubah. Oh tidak, dia bukannya sedang terpana melihat kecantikanku yang mengenakan gaun pengantin terbaik yang akan dipamerkan di butik bridal nomer satu, melainkan dia terkejut karena berpikir 'what the hell am i doing here?'

“Rena … kamu … sedang apa kamu di sini?”

Retorik. Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya. Aku memperhatikan ia buru-buru menarik tangannya yang semula berada di pundak gadis yang duduk di sebelahnya dan mencoba  mendekatkan wajahnya kepadaku.

“Menurutmu?” acuh tak acuh aku mencoba bertanya balik.

“Kamu … aku pikir kamu lagi ada acara peragaan busana milik temanmu itu. Tapi kamu malah berada di sini. Ada apa, sayang?”

Cih. Sayang? Masih sempat dia bermanis-manis meskipun dia sudah tersudut.

Atau, sebenarnya laki-laki ini tidak pernah merasa tersudut? Apa dengan kehadiranku saja kurang spektakuler?

“Siapa, Darl?” gadis berbaju minim itu bertanya dari balik bahu laki-laki itu.

Darl….

Darl??

You mean …,  Darling?

Sudah berapa lama mereka kenal sampai laki-laki itu sudah punya panggilan sayang selain panggilan sayangnya denganku?

Laki-laki di depanku ini berusaha keras supaya tidak terlihat begitu jelas sedang menutupi sesuatu. Rupanya ia sadar, bahwa telinga-telinga di ruangan ini sedang menajamkan radarnya dan seluruh pandangan mata terpusat di satu titik. Titik dimana kami berdiri saat ini.

“Ehm, dia ini ...”

“Kenapa, Hon? Nggak sanggup bilang yang sebenarnya kalau aku ini pacar kamu?” tanyaku menantang.

“Rena, kamu ngomong apa sih? Aku cuma ketemu sama kenalan aja, kita lagi ngomongin bisnis.”

“Bisnis??” suara gadis itu terdengar tidak percaya. Oh rupanya gadis itu juga tidak cukup tahu seberapa kadalnya pria yang tengah merayunya.ini. Entah apa aku harus simpati atau kasihan padanya.

“Mira, tolong diam sebentar … aku masih bicara sama temanku.”

“Teman???” ganti aku yang tersodok dengan sebutannya mengenai aku. Oh tidak, lama-lama di sini bisa membuatku menjadi serial killer. Karena pertama kali aku pasti mencekik laki-laki yang sedang berdiri di hadapanku, dan berikutnya aku akan memukul wajah gadis bernama Mira itu dengan high heel yang sedang kukenakan. Tapi itu akan terlalu mudah. Dan aku tidak sebodoh itu. Aku tahu cara yang akan membuatnya sengsara.

“Kamu bikin aku muak. Berikan!” aku mengulurkan tanganku tepat di depan mukanya.

“Ren …, jangan begitu.”

“Kamu yang maksa aku jadi begini. Jadi, cepat berikan!”

“Aku bisa jelasin ini, Ren … baik aku bisa bilang Mira bukan siapa-siapaku, kita cuma baru kenal dan asyik ngobrol aja, oke.”

“Apa mesti aku ulang?” ancamku.

Laki-laki itu terdiam. Wajahnya pucat pasi. Lebih pucat dari saat ia melihatku datang. Dengan berat hati laki-laki mengambil dompet dari saku celananya. Pelan-pelan ia membuka, namun aku sangat tidak sabar dan seketika meraih benda yang terbuat dari kulit itu. Aku tidak menyesal, toh benda ini akulah yang memberikan untuknya.

“Ren … please …”

Baiklah. Mana yang harus aku sita terlebih dahulu?

Dua kartu kredit platinum, membership club gym kebanggaan laki-laki itu, membership club socialite yang rajin ia datangi., kartu kunjungan salon mobil lalu … beberapa voucher belanja di butik khusus pria. Oh gosh, bahkan laki-laki ini lebih maniak belanja ketimbang diriku. Dan hampir semua kartu-kartu itu semua bersumber dari keuanganku. Maka bukan hal yang salah jika aku mengambil semuanya. 

Ya … semuanya.

“Kamu becanda, Ren. Buat apa kamu ambil semuanya? Itu atas namaku …” Laki-laki itu menunjuk pada beberapa kartu keanggotaan club miliknya.

“Menurutmu darimana kamu bisa punya kartu-kartu ini? Apa kamu minta ke orangtuamu?”

Ia terdiam. Tak bisa menjawab. Memang seharusnya begitu. Aku mengambil semuanya kecuali kartu identitas dan uang cash yang ada di dalamnya. 

“Ren ..., tolong dong. Kita bisa selesaikan ini baik-baik. dan … “ ia berhenti sejenak, “…aku lupa bawa uang cash.” Untuk kalimat yang terakhir ia ucapkan dengan nada setengah berbisik.

Like I care,” ujarku tidak peduli lalu melemparkan dompet yang sebagian isinya sudah kusita tepat ke mukanya.

Aku tahu saat ini dia sedang menatapku dengan tatapan kemarahan yang baru pertama kali kulihat. Ya karena biasanya aku selalu melihat mata itu menatapku seperti anak kucing yang menginginkan sesuatu dari majikannya. Dan aku tidak bisa lebih puas dari ini. Jauh lebih baik daripada membunuhnya.

"Kamu keterlaluan, Ren ... Aku udah jelasin kalau aku nggak ada hubungan apa-apa sama cewek ini. Bahkan untuk dengerin penjelasanku aja kamu ..."

Aku mendengus. Aku sudah mengira ia pasti mencoba mencari alasan. Tanpa banyak bicara aku mengeluarkan Iphone-ku. Seketika aku tunjukkan sumber dari segala kenekatanku malam ini mendatanginya. Beberapa foto yang diambil dari waktu yang berbeda, namun objeknya tetap sama, laki-laki yang ada di depanku ini dan gadis yang duduk di sampingnya. Tidak usah ditanya seberapa mesra mereka, kalau dua dari enam foto itu diambil di sebuah lobi hotel berbintang.

"See ...?" tukasku yang makin membuat wajahnya merah padam.

"What? You're stalking me?... I can't believe it, Ren."

Aku melirik tajam ke arahnya. Setelah ia merasa tersudut, ia malah balik menuduhku. 

"Excuse me, Mr. Playboy ... Aku nggak harus jadi stalker cuma untuk dapetin foto-foto ginian. Kamu yang nggak cukup pintar buat main-main di belakangku. Kamu lupa ada banyak orang di kota ini yang benci atau sayang sama aku, aku nggak pernah tahu ... tapi mereka tahu benar, mengirimkan foto-foto ini ke aku artinya mereka pengen kita putus. Jadi ... soal itu mereka benar. Kamu nggak worth buat aku."

Aku merasa tidak punya energi menghadapi keegoisan laki-laki ini lagi. Jadi aku pikir, ini sudah cukup menghantam ego di kepalanya. Baru saja aku berbalik, aku merasakan lenganku ditarik.

"Rena, tolong .... Jangan permalukan aku di sini ... aku..."

"Kenapa? Kamu malu ngakuin ke cewek di sampingmu itu kalo kamu sebenarnya penniless dan cuma penghisap darah aja? Jangan khawatir, Darling .... Sepertinya nona Mira-mu itu juga dengan senang hati merogoh dompetnya buat bayarin minuman kamu. Benar begitu?" Aku mengalihkan pandanganku pada sosok gadis bernama Mira itu dengan senyum yang kupaksakan. Seketika gadis itu terlihat bingung. Bodohnya ....

Aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya meninggalkan tempat ini setelah tahu laki-laki yang pernah memberikan setitik kebahagiaan dalam hidupku kini resmi menjadi mantan pacarku. Terlebih proses ini membuatku menjadi tontonan. Aku merasakan leherku semakin dingin karena angin yang menembus teras dan balkon lantai paling atas gedung ini.

‘Lu liat kan? Ternyata dia nangkap basah cowoknya yang playboy itu lagi jalan sama cewek lain.’

‘Iya gue liat. Caranya mutusin cowoknya,  gampang banget gitu. Cuma nyita kartu kredit sama kartu entah apa. Dasar orang kaya.’

‘Yah wajar aja sih. Lagian dia nggak cantik-cantik amat, bodi juga datar-datar gitu. Cowok mau pacaran sama dia udah jelas ngejar duitnya doang.’

Diam!

Siapa kalian berhak membicarakan kehidupanku? Siapa kalian yang tengah menjadikan urusan cintaku jadi bahan olok-olok?

Jangan nangis, Ren .... Nggak ada satu pun pria yang worth dengan tetes air matamu. Tahan, jangan sampai kau meledak di tempat ini. Laki-laki yang cuma jadi penghisap darah itu sampah. Sampah yang hanya akan menggerogoti hartamu atas nama cinta. Cinta yang sebenarnya hanya jadi kamuflase. Kamuflase yang dibungkus dengan mimpi dan segala kata-kata manis memabukkan. Tetap saja akhirnya hanya uang yang bicara.

Jangan nangis .... UGH!

"Ah ..., maaf ..., maaf," seru pelayan yang berpapasan denganku di koridor yang menghubungkan teras dan anak tangga. Kalau saja ia tidak minta maaf, aku juga tidak menyadari sesuatu dingin membasahi lengan dan bagian depan gaunku. Sesuatu berwarna merah. Mungkin wine. Aku tertegun mendapati bajuku yang ternoda dengan warna serupa darah. Tidak aku tidak terlalu memusingkan kemarahan temanku yang tahu aku masih mengenakan gaun pengantin yang akan menjadi maskot pagelaran busana malam ini, aku cuma menyadari bahwa ... aku sungguh menyedihkan.

Begini rasanya mengenakan gaun pengantin. Gaun yang cantik, berwarna putih melambangkan ikatan cinta yang (seharusnya) murni. Namun yang aku rasakan cuma sesak, lengket dan dingin. 

Ya .... Aku berhasil membunuh. Membunuh cinta dalam impianku dan membunuh perasaanku sendiri.

 

***

Edinburgh, 2 Mei 2016

La Novia Bridal Boutique, 6 York Buildings, Queen Street.

 

It was magic.

Aku tahu aku akan dicap sentimentil dan berlebihan jika aku berusaha menggambarkan detik ini. Tapi demi ini semua aku akan menerima semua sebutan-sebutan cengeng yang mungkin dialamatkan padaku. Aku bahkan bisa merasakan titik bening yang yang tertahan di pelupuk mataku. Oh, ok .... Tak ada yang mau melihat seorang pria menangis. Jadi sebaiknya aku menjaga sikapku dan tetap terlihat cool.

Ah, tapi ...

"How I look?"

And she's there. Tersenyum padaku. Memutar-mutar tubuhnya dan kemudian merentangkan kedua lengannya sementara tangan yang lain menggenggam buket bunga. Hanya sekejap, aku merasa kilasan semua perjuanganku untuk bisa bersama wanita yang ada di hadapanku ini berkelebat. Dan sekarang, ia mengenakan gaun suci yang ia pilih sendiri. Rambutnya hanya ditata seadanya. Pipinya bersemu kemerahan dan ia melangkah keluar dari ruang ganti. Namun di mataku ia seperti melangkah menuju kapel tempat kami mengucapkan janji suci. Dan entah kenapa, tubuhku bereaksi seolah hari ini adalah hari pernikahan kami, bukannya sedang mengepas gaun pengantin.

Dan keanehan sikapku disambut tawa oleh wanita yang ada di hadapanku.

"Astaga, kenapa kau jadi tegang begitu, Jim?"

"Because ... y ... you look stunning .... I can't help to think that what kind of bastard who's deserved to be your husband," jawabku tanpa berpikir.

"Haha .... What's that? Sejak kapan kau pintar memuji? Sekedar mengingatkan saja, honey .... You're that bastard."

"I know. And I'm damn lucky. Maaf kalau aku hanya mampu membawamu ke sebuah butik kecil."

"Oh my god, Jim. This place is amazing. Aku tidak tahu kau kenal dengan pemiliknya. Aku mengagumi semua desainnya bahkan sejak masih di butik yang lama di Stockbridge. Bukankah gaun ini cantik?"

"Gaun itu cantik karena kau yang memakainya."

"Oh, stop it," serunya sembari tertawa dan memukul bahuku dengan buket bunga. 

Aku menarik pinggang calon pengantinku dan tanpa permisi mendaratkan ciuman di bibirnya. Hormon lelaki-ku mendadak mendesak keluar dan rasanya tidak sabar menunggu tanggal ditetapkan pernikahan kami.

"Ehem ..." suara deheman khas yang kukenal menengahi adegan mesra yang kami lakukan. Aku buru-buru menarik diri dan melepaskan pelukan tunanganku. 

"Kalau kau terlalu mendekapnya erat, itu cuma akan merusak aksesoris gaunnya, Jim. Karena pinggang Jane begitu kecil, sementara aku hanya mengaitkan dengan peniti. It will hurt her," jelas Lilian, sang pemilik butik yang sudah kukenal seperti bibi-ku sendiri. Wanita berusia sekitar awal empat puluhan itu meraih tangan Jane, tunanganku dan menggiringnya lagi ke ruang ganti. Aku hanya menggaruk-garuk rambutku yang tidak gatal dan merasa malu bak anak remaja yang tertangkap basah sedang mencium anak gadis seseorang.

"Sorry, Lilian .... Well, kami hanya sedikit lupa diri."

"Be a good boy, ok? Atau aku tidak akan menyelesaikan gaunnya tepat waktu tidak peduli seberapa banyak kau membayarku. Now excuse us, gentleman." Berikutnya tirai ruang ganti kembali tertutup dan aku tersadar betapa konyolnya sikapku barusan.

Aku memperhatikan sekitarku. Aku tidak tahu kalau Lillian ternyata cukup terkenal. Aku kira dia cuma pemilik butik gaun pengantin yang biasa-biasa saja. Meskipun berada di Queen's Street yang terkenal dengan deretan bangunan bergaya Georgia, bangunan butik ini hampir tidak menonjol. Dari luar hanya terlihat sedikit gaun-gaun yang dipajang. Sepertinya butik ini belum selesai ditata ulang. Seperti yang dikatakan tunanganku, terlihat jelas seperti baru pindah besar-besaran.

"Jim ..., aku lupa kalau tasku tertinggal di mobilmu. Kepalaku sedikit pening, aku perlu aspirinku. Tolonglah ...."

Suara dari balik tirai itu membuatku tersadar. Aku masih bukan tunangan yang baik karena melupakan sesuatu yang penting untuk orang yang kucintai. Aku tidak bertanya lebih lanjut dan langsung keluar dari butik dan menghampiri mobil yang tengah kuparkir.

Buru-buru kuambil tas yang tergeletak di jok depan. Aku cari-cari obat yang dimaksudkan, namun aku tidak menemukan apapun. Kosmetik, notes, ballpoint, beberapa jepit rambut, charger ponsel semuanya ada di dalam tas wanita berwarna coklat muda itu, tapi tidak dengan obat yang dimaksud. Namun, aku melihat sesuatu yang aneh. Beberapa tissu yang sudah kusut menyembul dari box sampah di samping jok mobilku. Seandainya itu hanya bekas tissu biasa aku tidak curiga, namun ... tissu itu berbercak kemerahan. Warna merah serupa ... darah?

Apa ini?

***