Try new experience
with our app

INSTALL

Aldebaran, My Love 

Chapter 3

Keesokan paginya, Andin berjalan mengikuti Aldebaran ke garasi. Mereka akan pergi ke pasar modern untuk membeli sayuran segar dan bahan-bahan yang diperlukan untuk sarapan yang akan di masak Andin pagi itu. 

Setelah Andin memasak makanan kesukaannya kemarin, Aldebaran menjadi ketagihan akan makanan buatan Andin. Oleh karena itu, pagi ini Andin meminta Aldebaran untuk mengantarnya ke pasar untuk membeli bahan-bahan segar yang diperlukan.

Sesampainya di depan garasi, Andin heran ketika Al mengulurkan helm padanya.

"Buat apa, Mas?"

Aldebaran tertawa dan menarik Andin ke dalam garasi. Andin melihat motor ninja merah terparkir di sebelah mobil Al.

"Kita naik motor, Mas?" tanya Andin antusias. Andin memperhatikan bahwa ninja tersebut sudah dipasang box motor sehingga mereka bisa meletakkan barang belanjaan mereka disana nanti.

"Iya. Suka?"

"Suka banget."

Aldebaran meraih helm dari tangan Andin dan memasangkannya ke kepala Andin sebelum memasang helmnya sendiri dan naik ke atas motor. Andin lalu naik dibelakang Al dan melingkarkan tangannya di pinggang Al. Joknya terasa nyaman dan Andin menyandarkan pipinya di punggung suaminya, merasa sangat senang bisa mengendarai motor bersama suaminya.

"Jangan lupa pegangan yang kencang, kakinya taruh di footstep, dan ikutin posisi saya. Kalau saya nikung ke kiri, kamu miring ke kiri juga, jangan ke kanan," ujar Aldebaran.

"Iya, sayang," jawab Andin sambil mengeratkan pelukannya. Dia tidak bisa berhenti tersenyum. Sudah lama sekali dia tidak naik motor. Andin memekik senang ketika Aldebaran menyalakan motornya dan mereka meluncur ke jalan dengan mulus. Aldebaran mengemudi dengan kencang tetapi tetap hati-hati dan tidak sembrono. Andin tahu suaminya lebih berhati-hati saat bersamanya, dan itu membuatnya merasa aman.

Mereka melaju di sepanjang jalan raya yang ramai lancar sampai kemudian Aldebaran berbelok ke jalan kecil dan membawa Andin melewati danau buatan yang belum pernah dilewati Andin sebelumnya.

Andin tidak menyangka dia bisa menemukan pemandangan seindah ini di tengah-tengah kota. Danaunya indah dan memukau dengan hamparan bunga teratai putih dan merah muda yang menghiasi permukaan danau. Andin bersandar makin erat ke punggung Aldebaran sambil menikmati pemandangan, angin yang berhembus kencang, dan kehangatan tubuh Al dalam pelukannya.

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka berhenti di parkiran pasar dan Al membantu Andin turun dari motor.

"Gimana perasaannya, Mrs. Alfahri?" Aldebaran tersenyum kepada istrinya, matanya berbinar-binar.

"Luar biasa, Mr. Alfahri," balas Andin tersenyum lebar. "Aku udah lama banget ga naik motor, Mas."

"Kapan terakhir?"

"Waktu SMA. Sebelum aku pindah ke London."

"Sama siapa?" tanya Aldebaran, tiba-tiba merasa cemburu membayangkan Andin di bonceng oleh pria lain.

"Sama temen aku," jawab Andin mengelak. Dia tidak mau membahas kalau terakhir kali dia naik motor bersama dengan mantannya. "Sekarang ayo masuk, sayang." Andin menautkan jemari mereka dan menarik Aldebaran masuk ke dalam pasar yang ramai.

"Jadi, kamu mau belanja apa, Ndin?" Aldebaran bertanya beberapa saat kemudian.

"Aku mau masak udang goreng tepung dan capcay seafood, Mas. Aku pengen—" Belum selesai Andin berbicara, mendadak Aldebaran menarik Andin ke samping, menghindari seorang pedagang yang membawa keranjang buah yang berat yang hampir menabrak Andin. Hati Andin menghangat melihat Al yang selalu siap melindungi dan menjaganya.

"Makasih, Mas."

Aldebaran mengangguk. "Mau beli sayur dulu apa udang dulu?" tanya Al.

"Sayur dulu aja," jawab Andin.

Mereka kemudian berjalan menuju ke blok sayuran. Andin pun membeli berbagai jenis sayuran dan Aldebaran membelikannya satu buket bunga mawar dan baby breath yang cantik dan segar yang juga dijual disana.

"Makasih, sayang. Bunganya cantik banget." Andin tersenyum lebar dan membenamkan wajahnya untuk menghirup aroma bunga yang harum semerbak.

Setelah itu mereka menuju ke blok ikan dan seafood dimana Andin membeli udang galah, udang putih, dan cumi. Setelah selesai membeli semua bahan-bahan yang dibutuhkan, mereka keluar dari pasar menuju parkiran. Mereka hampir sampai di parkiran ketika tiba-tiba seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun berhenti di depan Aldebaran. 

Anak laki-laki itu menatap Al sambil menangis. "Papa?"

"Hey, jagoan." Al meletakkan plastik belanjaan di dekat kakinya dan berlutut di depan anak kecil tersebut yang tampaknya sedang tersesat. "Lagi cari papa kamu, ya?"

Anak itu mengangguk dan terus menangis. Al mengusap-usap punggung anak itu dengan pelan, berusaha menenangkannya. "Namanya siapa, sayang?" Aldebaran tersenyum lembut.

"Wio."

"Rio?" Anak itu mengangguk lagi.

"Oke, Rio, ayo kita cari papamu."

Aldebaran menggendong Rio dan melihat sekeliling. Mereka tidak perlu menunggu lama ketika seorang pria berwajah panik datang berlari ke arah mereka.

"Rio! Astaghfirullah! Dari mana aja kamu?" katanya dengan suara bergetar. Pria itu mengambil Rio dari gendongan Al dan menarik anak itu ke dalam pelukannya dan mencium pipinya berulang-kali. Lalu dia menatap Al dengan tatapan haru dan lega.

"Makasih, Pak. Saya benar-benar terima kasih sama Bapak dan Ibu," ucapnya sambil tersenyum gemetar.

"Sama-sama, Pak." Al balas tersenyum.

Bapak tersebut mengucapkan terimakasih sekali lagi sebelum berlalu dari sana. Aldebaran lalu berbalik ke arah Andin.

Andin menatap Aldebaran dengan tatapan terpesona. Suaminya tampak begitu penyayang terhadap anak kecil. Tiba-tiba Andin membayangkan Aldebaran yang sedang menggendong anak mereka, menenangkannya, melindunginya, sama seperti yang dia lakukan pada Rio tadi. Dan Andin sangat mendambakan hal itu terjadi sampai dadanya terasa nyeri.

"Ayo," kata Aldebaran, menautkan jemari mereka dan mengambil barang belanjaan dari lantai dengan sebelah tangan.

Ketika mereka sampai ke tempat Aldebaran memakirkan motornya, Aldebaran membuka box motor dan meletakkan belanjaan mereka disana. Setelah membantu Andin naik dibelakangnya, Al melaju ke jalan raya. Andin memeluk pinggang Al erat-erat sambil tersenyum lebar. Suara motor yang nyaring meredam kebisingan di sekeliling mereka dan Andin menempelkan pipinya ke punggung Al sambil menikmati pemandangan dan hembusan angin pagi yang terasa sejuk dan nyaman di pipinya.

Saat memasuki jalanan yang sepi, Al tiba-tiba meninggikan kecepatan motornya yang membuat Andin memekik kaget dan mengeratkan pelukannya ke pinggang Al.

"Mas Al!" teriak Andin, merasa cemas sekaligus excited. Adrenalinnya terpacu saat motor melaju kencang. Andin memeluk Al sangat erat sehingga dia dapat merasakan gemuruh tawa Al melalui pipinya yang ditempelkan di punggung Al.

Aldebaran mengebut selama beberapa menit sebelum kembali memperlambat laju motornya saat memasuki jalanan yang ramai. Saat mereka sudah sampai di depan rumah, Andin merasa kecewa karena perjalanannya tidak lebih lama. Al membantu Andin turun dan melepaskan helmnya.

"Mas Al. Nanti kita sering-sering ya naik motor," rengek Andin.

"Iya. Tapi nanti kita beli jaket motor dulu buat kamu. Kamu belum punya, kan?" 

Andin menggelengkan kepalanya. "Belum."

"Oke. Nanti kita cari di motorcycle clothing store langganan saya."

"Yay! Makasih, sayang," kata Andin bersemangat dan memeluk suaminya dengan erat.

"Sama-sama," jawab Al sambil mencium dahi istrinya.

Aldebaran mengeluarkan barang belanjaan mereka dari dalam box motor dan menggenggam tangan Andin dengan tangan satunya.

"Ayo masuk," ajaknya.

Mereka masuk ke rumah kediaman keluarga Alfahri di Pondok Pelita. Rumah di mana Andin harap suatu hari nanti, akan dihiasi dengan gelak tawa anak-anak mereka. Namun, Andin sadar bahwa masa depan yang dia idam-idamkan tersebut terasa begitu jauh dan tanpa harapan.

 

To be continued ...

Friday, November 4, 2022