Contents
Aldebaran, My Love
Chapter 2
"Andin."
"Ya, Mas," sahut Andin dari balik bahunya.
Andin mendengar suara pintu kaca tertutup sebelum merasakan panas tubuh Aldebaran saat Al memeluknya dari belakang dan berbisik di telinganya, "Kenapa duduk disini? Apa ga banyak nyamuk?"
Aldebaran mendaratkan kecupan lembut di kulit Andin sebelum membenamkan wajahnya di rambut Andin, menghirup aromanya yang wangi dan menenangkan. Sengaja berlama-lama disana seolah-olah aroma Andin adalah obat penenang baginya setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan.
Andin membiarkan dirinya larut dalam pelukan Aldebaran dan tidak memikirkan hal lain kecuali suaminya. Ketika Aldebaran menarik diri dan melepas pelukannya, Andin mendadak merasa sedih dan kehilangan.
Andin menoleh ke belakang dan tersenyum pada suaminya. Dia masih mengenakan kemeja dan celana kantor, namun tanpa jas dan dasi. Aldebaran selalu menanggalkan jas dan dasinya segera setelah sampai rumah dan Andin menduga kalau Al langsung mencarinya kesini ketika tidak menemukan Andin di kamar mereka.
Andin sedang duduk di bangku di teras belakang yang rimbun di penuhi tanaman hias. Tempat yang cocok untuk merenung, namun akhir-akhir ini banyak disinggahi nyamuk saat musim penghujan, terutama di malam hari.
"Aku udah pakai lotion anti nyamuk, kok," jawab Andin sambil mengulurkan tangannya pada Aldebaran. "Ayo duduk sini, sayang."
Aldebaran duduk di samping Andin di bangku panjang berukir yang terbuat dari kayu jati. Andin menggulung kemeja Al sampai siku lalu mengambil lotion anti nyamuk yang terletak di atas meja. Andin menuangkan lotion tersebut di telapak tangannya kemudian perlahan-lahan meratakannya di kulit tangan dan leher suaminya.
Setelah selesai, Aldebaran menangkup pipi Andin dan mengecup bibirnya dengan lembut. "Thank you."
Andin mendongak menatap Aldebaran dan meleleh ketika melihat tatapan lembut dan memuja yang dilayangkan Aldebaran padanya. Tatapan yang membuat mata Andin berkaca-kaca. Andin mengulurkan tangan untuk membelai rambut Aldebaran. "My pleasure," jawabnya.
Mereka duduk disana memandangi rintik hujan yang turun sambil berpelukan, diselimuti perasaan tenang dan damai.
"Gimana hari pertama masuk kantor, Mas?" tanya Andin memecah kesunyian.
Aldebaran tidak langsung menjawab. Dia mempererat pelukannya di tubuh Andin dan mendaratkan ciuman di dahinya. "Panjang dan melelahkan. I missed you."
"I missed you, too," balas Andin lembut sambil mengusap-usap dan memijat lengan Aldebaran. "Kamu capek? Mau aku pijitin?"
"Ga usah, Ndin," jawab Aldebaran. "Saya ga apa-apa, kok. Kamu sendiri gimana? Ngajar sampai jam berapa tadi?"
"Sampai jam dua. Aku tadi masak makanan kesukaan kamu, Mas. Kamu lapar? Mau makan sekarang?"
"Nanti aja. Saya mau mandi dulu. Tapi makasih ya, udah masak buat saya."
"Sama-sama, sayang," jawab Andin. "Kita ke dalam yuk, Mas. Kamu bersih-bersih dulu, nanti aku siapin baju buat kamu."
Aldebaran dan Andin kemudian meninggalkan teras dan menuju ke kamar mereka di lantai dua. Saat melewati ruang makan, mereka berpapasan dengan Mama Rossa yang sedang sibuk menata meja makan.
"Baru pulang kamu, Al?"
"Ga kok, Ma. Udah dari tadi," jawab Aldebaran sambil mencium tangan ibunya. "Kiki sama Mirna mana, Ma? Kok mama sendiri yang nyiapin ini?" Aldebaran menanyakan keberadaan dua asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu.
"Mirna mama minta ke supermarket buat belanja bulanan. Kalau Kiki lagi nyuci."
"Sini aku bantu, Ma." Andin mengulurkan tangan, bermaksud untuk meraih piring dari tangan ibu mertuanya.
"Ga usah, sayang. Ini udah mau selesai, kok."
"Ya udah, kalau gitu kita pamit ke kamar ya, Ma. Mas Al mau bersih-bersih dulu."
"Iya, ga apa-apa. Mama tunggu disini. Kita makan malam setengah jam lagi."
Mereka meninggalkan Mama Rossa dan berjalan menuju kamar mereka di lantai dua. Aldebaran dan Andin tinggal di rumah keluarga Alfahri yang besar dan megah. Rumah yang mereka huni bersama Mama Rossa, dua asisten rumah tangga, dua satpam, dua supir pribadi, dan satu tukang kebun. Seluruh area di lantai dua diperuntukkan khusus dan eksklusif untuk Al dan Andin sehigga mereka berdua bisa memiliki privasi sebagai pasangan suami istri.
"Aku siapin baju buat kamu ya, Mas. Kamu mandi dulu."
Aldebaran mengangguk, namun dia tidak beranjak ke kamar mandi dan malah mengikuti Andin ke walk-in closet yang terletak di balik partisi ruang di samping tempat tidur. Dia lalu duduk di sofa yang ada disana dan memperhatikan Andin memilih-milih baju untuknya. Aldebaran menelan ludah saat melihat rok Andin tersingkap ke atas saat dia membungkuk untuk mengambil boxer Al di rak paling bawah.
"Ndin ..." panggil Aldebaran parau.
"Ada apa, sayang?" tanya Andin dari balik bahunya. Dia sekarang sudah berdiri dan sedang memilih kaos untuk Al.
Aldebaran menghampiri Andin dan memeluknya dari belakang. Al menyibakkan rambut Andin dan mengecup titik sensitif di leher istrinya dengan lembut.
"Mas Al ..." Andin memprotes lemah. Dia mendadak paham maksud suaminya. Dia sama sekali tidak bermaksud menolak, hanya saja saat ini Mama Rossa sedang menunggu mereka di meja makan. "Sayang ... Mama lagi nunggu kita di bawah ...."
"Ga bakal lama, kok."
Aldebaran membalikkan tubuh Andin menghadapnya dan Andin merasakan sentuhan napas Aldebaran yang hangat menerpa pipinya. Merasakan jemari suaminya mulai turun dari dagu, lekuk leher, dan tulang selangkanya.
Detak jantung Andin meningkat saat tiba-tiba Aldebaran menciumnya. Mencium bibir, mata, dagu, telinga, dan lehernya. Tangan Andin terulur memeluk Aldebaran dan mereka berpelukan dengan sangat erat.
"MAS AL, MBAK ANDIN ... KIKI MAU AMBIL PAKAIAN KOTOR."
Terdengar ketukan dan suara Kiki nyaring dari depan pintu.
Andin terkesiap dan berusaha melepaskan pelukannya, namun Aldebaran tidak mau melepasnya dan malah mempererat pelukan mereka. Andin menatap Al dengan panik. "Mas ... pintunya ga di kunci. Kalau Kiki masuk dan liat kita pelukan gimana ...."
"Kiki ga akan berani masuk tanpa izin, Ndin," ujar Aldebaran enteng sambil tetap menahan tubuh Andin.
"KIKI BOLEH MASUK?" teriak Kiki dari luar.
"BOLEH KI," jawab Al, yang membuat Andin terperangah dan menatap Al shock.
Al tertawa geli melihat ekspresi Andin.
"Kita kan terhalang sama dinding partisi, Ndin," bisik Al. "Kiki ga bisa liat kita dari pintu. Lagi pula kalau lihat juga ga apa-apa. Kan suami istri."
"Tapi, Mas ..."
Pintu terbuka. Jeda sejenak, lalu terdengar suara Kiki, "Kiki masuk ya?"
"Iya, Ki."
Andin terkesiap ketika Aldebaran kembali menciumnya dan Andin memejamkan matanya rapat-rapat.
Andin bisa mendengar pintu kamar mandi terbuka dan beberapa saat kemudian terdengar suara Kiki mendekat ke arah mereka.
"Di dalam ada cucian kotor ga, Mas Al?" tanya Kiki.
Mata Andin seketika terbuka. Napasnya tercekat.
"Ga ada, Ki. Cuma yang di kamar mandi," jawab Aldebaran tenang.
"Oke." Kiki lalu keluar membawa keranjang cucian dan menutup pintu.
Mendengar suara pintu yang ditutup, Aldebaran mengendurkan pelukannya dan tertawa terbahak-bahak.
"Mas Al! Kamu iseng banget, sih!" ujar Andin, memukul bahu Aldebaran dengan kesal.
"Lagian, sih. Kamu gampang banget dikerjain," kata Aldebaran sambil menyeringai nakal. Dia lalu meraih Andin kembali ke pelukannya dan tiba-tiba mengangkat tubuh Andin dan menggendongnya ke kamar mandi. Andin memekik sepanjang jalan minta diturunkan, memprotes bahwa dia sudah mandi. Namun Aldebaran hanya tertawa dan tidak menghiraukan protesnya dan Andin tahu bahwa dia akan mandi lagi untuk kedua kalinya.
Seperti yang dikhawatirkan Andin, mereka terlambat ke meja makan malam itu.
To be continued ...
Thursday, November 3, 2022