Try new experience
with our app

INSTALL

Sentini: The Jamu Stories 

Ingin Melihat Dunia Luar

NAMAKU Sentini, gadis lugu dari Wonogiri. Sudah setahun aku merantau ke ibu kota dengan tujuan menjual jamu gendong. Aku mewarisi kepintaran meracik jamu dari simbahku. Beliau juga seorang penjual jamu. Jamu gendong buatan simbahku sangat laris di kampung. Pernah dengar, Simbah dulu adalah seorang abdi dalem yang mengurusi bagian pembuatan jamu di keraton. 
Simbah pernah mewariskan resep rahasia jamunya kepada simbokku, tetapi gagal. Simbok sudah berusaha keras mempelajari cara meramu jamu yang enak sesuai arahan Simbah, tetapi hasilnya tetap tidak sesuai dengan harapan. Simbah sepertinya agak kecewa. Akhirnya, resep rahasia itu Simbah turunkan kepadaku.  
“Sepertinya pulung itu jatuh kepadamu, Nduk Sentini.”  
“Nggih, Mbah.” 
“Kamu sudah bisa membuat jamumu sendiri tanpa bantuan Simbah. Tinggal memantapkan hati, kapan kamu siap jualan sendiri.” 
Menurut keyakinan Simbah, jualan jamu itu tidak sekadar mencari uang. Jualan jamu juga berarti berbagi kebaikan kepada semesta dan kehidupan. 
“Apa yang kamu lihat ini, Nduk Sentini?” tanya Simbah yang saat itu sedang memegang satu gelas berisi minuman jamu. Dari warnanya yang putih agak kekuningan, serta aromanya yang khas, aku tahu kalau itu jamu beras kencur. 
“Jamu beras kencur, Mbah,” jawabku yakin. 
“Ini adalah segelas kebaikan.” 
Bagi otakku yang cuma lulusan sekolah menengah ini, agak sulit memahami ucapan Simbah.  
“Kok, bisa begitu, Mbah?” 
“Karena setelah minum ramuan ini, orang yang tadinya merasa lemah, letih, lesu ... tenaganya bisa dipulihkan dan disegarkan kembali dengan meminum jamu beras kencur ini. Ia akan mendapatkan banyak kebaikan dari minuman berkhasiat ini, Nduk.” 
“Oh, nggih. Saya mengerti, Mbah.”  
Sejak saat itu, menjadi penjual jamu menjadi tujuan hidupku. Aku bangga menyandang predikat sebagai bakul jamu gendong. Lalu, setelah sekian waktu memantapkan hati sambil menemani atau bergantian dagang sama Simbok, akhirnya aku memutuskan untuk berjualan jamu sendiri.  
“Kamu mau jualan di mana, Nduk?” tanya Simbok.  
“Aku ingin jualan di kota besar, Mbok. Aku ingin melihat dunia luar.” 
“Kota besar mana?” 
“Jakarta, Mbok.” 
“Waduh, jauh banget, Nduk. Ibu kota itu banyak penjahatnya. Jualan di Solo saja, lebih dekat.” 
“Aku ingin seperti Suwarni, Mbok. Setahun setelah dia jualan jamu di Jakarta, pulang lebaran kemarin sudah bisa beli motor roda dua. Padahal jamunya tidak seenak jamu buatan Simbah.” 
“Lha, terus, di Jakarta kamu mau tinggal di mana?” 
“Semalam, Bu Kartolo menawariku untuk ikut ke Jakarta, tinggal di kontrakannya. Katanya masih ada satu kamar kosong. Nanti aku membayar kontrakannya tiap bulan dari hasilku jualan jamu, Mbok.” 
Bu Kartolo adalah seorang wanita berusia lima puluhan. Di kampung, ia tinggal tak jauh dari rumah Simbah. Sudah lama ia merantau. Sesekali ia pulang kampung untuk mengajak beberapa wanita muda mencari kerja ke ibu kota. 
“Seandainya saja bapakmu masih ada, pasti bisa bantu mbokmu nyekolahin kamu lebih tinggi ....” 
“Sudahlah, Mbok. Walau perempuan, kita tetap harus bisa mencari penghasilan sendiri. Seperti Simbah yang dibantu Simbok jualan jamu gendong tiap hari, juga bisa mendapatkan penghasilan untuk hidup kita sehari-hari, ya, tho?” 
Akhirnya dengan dibekali seperangkat alat pembuat jamu, lengkap dengan sebuah tenggok dan selendang lurik, aku berangkat ke Jakarta, ikut Bu Kartolo. Bersama tiga gadis kampung lainnya yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kami men-carter mobil pergi ke Jakarta.  
*** 
“Itu kamarmu.” Bu Kartolo memoncongkan bibirnya sambil menunjuk sebuah kamar kecil di dekat dapur. “Aku sudah memberi tahu pemilik kontrakan dan dia setuju.” 
Rupanya Bu Kartolo juga mengontrak di rumah ini.  
Butuh waktu berhari-hari untuk mengubah kamar kumuh itu menjadi sebuah kamar yang layak huni. Untung ada Kak Jono, pemuda kurus yang tinggal di kamar depan. Ia membuka jasa persewaan badut. Ialah yang membantu mengecat ulang kamarku dan menatanya seperti yang aku mau.  
“Kamu ini gadis kampung tapi lumayan punya selera juga dalam hal kebersihan dan keindahan,” puji Kak Jono dengan napas terengah-engah setelah mengangkat kasur selebar 120 cm itu dari penjemuran di luar.  
“Ini, terima kasih, Kak Jono.” Aku menyodorkan selembar lima puluh ribuan. 
“Ah, enggak usah! Aku ikhlas bantu kamu, kok. Nanti dibayar pakai jamu saja. Kapan kamu mulai jualan?”   
“Minggu depan. Kata Bu Kartolo, aku harus mengenal lingkungan dulu. Baru memutuskan mau jualan keliling di daerah mana saja.” 
Rumah kontrakan bercat hijau itu mempunyai enam kamar, satu dapur, dua kamar mandi luar, dan  satu ruang tamu sederhana. Tidak ada yang menggunakan dapur kecuali aku. Jadi, aku bebas membuat jamu di dapur yang sudah kurapikan dan kusterilkan itu.  
Bu Kartolo, orang kepercayaan pemilik kontrakan, menempati kamar depan, berhadapan dengan kamar Kak Jono. Kamar tengah ditempati Mbak Princess, bukan nama sebenarnya. Kamarnya berseberangan dengan kamar Pak Sugeng, yang berprofesi sebagai paranormal.  
Kamarku berseberangan dengan kamar yang selama setahun kemudiannya, aku belum pernah tahu siapa penghuninya. Kata Bu Kartolo, nama penghuninya Soleman, pemuda yang tampangnya kumal seperti gelandangan. Ia selalu mengenakan topi besar dan sering pulang tengah malam.  
Awalnya dulu aku khawatir tinggal serumah dengan beberapa orang asing nan aneh-aneh itu. Namun, demi mewujudkan impian untuk bisa membeli sebuah motor roda dua, aku harus kuat bertahan di sini. Hingga akhirnya, setahun cepat berlalu. 
“Tinik, udahan jualannya?” sapa Mbak Princess yang sering aku panggil Mbak Ncess. Ia sedang duduk di sofa tua di ruang tamu. Celana jin pendek dan tank top merah melapisi tubuh moleknya yang selalu ia banggakan. Usianya sudah tiga puluhan, tetapi pembawaannya masih seperti anak gadis. 
“Sudah, Mbak Ncess.” 
“Aw, cepet banget? Jam sepuluh udah pulang.”  
“Tadi ada serombongan pekerja bangunan yang nglarisi jamu saya, Mbak Ncess.”  
Meski Mbak Ncess kesannya galak, tetapi aku merasa ia sayang kepadaku. Mungkin karena aku satu-satunya perempuan di rumah ini yang bisa ia ajak bicara. Bu Kartolo sebagai pembantu paruh waktu, tiap hari kerja pindah dari rumah ke rumah, dari pagi hingga malam. 
“Udah satu taon elu masih bertahan, keliling kampung, pakai jarik dan kebaya sambil ngegendong jamu. Sungguh anak yang tekun.” Mbak Ncess membantu memegangi tenggok berisi botol-botol jamu yang hendak kuturunkan.  
“Makasih, Mbak.”  
“Udah elu belikan titipan gue?” tanyanya ketika aku mengempaskan pantat di sofa di depannya.  
“Sudah, Mbak. Tadi yang rasa stroberi habis. Ini kubelikan yang rasa jeruk dan pisang.” Kuangsurkan beberapa  pak pesanan ke arahnya.  
“Duh, Sentini! Elu, kan, tahu gue kagak demen aroma pisang!” Wajah Mbak Ncess terlihat tidak senang. “Ya udah. Sini! Setidaknya ada aroma jeruk buah buat 'dinas' ntar malem.”  
Mbak Ncess mengambil semua kotak kecil itu kecuali yang beraroma pisang.  
“Lha trus, ini yang beraroma pisang buat siapa, Mbak?”  
“Ya udah. Buat elu aja. Elu belum pernah punya, 'kan?” ucapnya sambil terkekeh.  
“Iya, Mbak. Makasih.” 
Seumur hidup, baru kali itu aku punya satu pak karet pelindung rasa pisang. Buat apa?