Try new experience
with our app

INSTALL

My Possessive Cassanova 

Bagian 4

Yang hadir belum tentu menjadi takdir. - Malkin

Malven meletakkan hoodie yang diberikan Kinar tadi diatas kursi miliknya, lalu menarik kursi lain disampingnya lebih dekat, dan merebahkan dirinya

dengan hoodie menjadi bantalan. Kelas sepi, bahkan hanya ada Malven seorang diri didalamnya karena sekarang adalah jam pelajaran sosiologi dan mereka ditugaskan mengamati keadaan sosialdi lingkungan sekolah.

Membosankan.

Jika Daniel dan Lion memilih kantin sebagai tempat bolos, Malven memilih tidur di kelas. Namun, bukannya terpejam, matanya yang tadi mengantuk justru terbuka lebar saat merasakan aroma khas Kinar dihoodienya. Berada dijarak yang begitu dekat kemarin membuat Malven familier dengan aroma gadis itu, seperti bau permen karet yang bukan hanya meninggalkan kesan manis, juga keceriaan.

Tidak ada alasan spesifik kenapa Malven mengatakan gadis berambut sepunggung itu sebagai miliknya, hanya saja gadis itu begitu menarik bagi Malven, caranya yang tiba-tiba datang melabrak tanpa takut, kemudian wajahnya pucat saat tahu salah sasaran, Malven menyukainya.

Gadis polos yang pemberani. Selama ini Malven hanya bertemu dengan gadis-gadis lemah dan gampang diperdaya, mereka rela melakukan apapun demi uang dan popularitas semata. Berlomba-lomba mendekati Malven, seakan cowok itu adalah garis finis yang harus mereka raih untuk sebuah kemenangan semata. Padahal, jikaMalven tidak memiliki apa yang dimilikinya sekarang, cowok ituberani bertaruh mana ada cewek yang mengejar-ngejarnya, bahkan terkesan mengemis.

Perlahan, Malven memejamkan matanya. Meletakkan tangan kanannya yang dilipat di atas kepala membuat wajah bagian atasnya tertutup. Tidak perlu waktu lama, kantuk mulai menyerangnya kembali.

Brak.

Pintu dibuka secara kasar, menciptakan suara nyaring, kemudian derap langkah kaki terdengar bersamaan dengan bentakan menyerukan nama Malven.

"Malven!"

Seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi dengan perut besarnya, menatap penuh amarah pada Malven yang sekarang dengan santainya tidur, seakan tugas sekolah sebenarnya bukanlah belajar, namun tidur.

Bukan Malven namanya jika langsung bangun, setelah merasakan jeweran di telinga kanannya barulah cowok itu membuka matanya.

Menatap sang guru yang wajahnya memerah, napasnya pun terengah. Seperti beliau habis mengelilingi sekolah untuk mencari Malven, tidak terpikir kalau murid berandalannya itu ternyata tengah sibuk meraih mimpi di kelas.

Malven meringis pelan saatj eweran itu mengerat,"Enak-enakan ya kamu tidur di kelas! Malvennn, Ibu itu udah capek mulut,capek hati bilangin kamu nggak pernah didengar!"

"Istirahat,Bu,"komentar Malven santai,tidak menunjukkan rasa takut atau pun rasa bersalah,“Saya takut Ibu melahirkan sekarang kalau teriak-teriak mulu.”

Wanita yang tidak muda lagi itu mengelus perutnya, "Amit-amit Ya Tuhan saya punya anak kayak kamu."

Bu Reya memang sedang hamil tua, apakah guru itu tidak takut tiba-tiba anaknya meloncat keluar karena selalu berbicara dengan nada keras? Malven saja dibuat kaget, apalagi calon anak Bu Reya yang ada di kandungannya.

"YaGusti... mana dasi kamu dan in kenapa bajumu berantakan?!"

Malven kembali meringis pelan, sekarang bukan hanya kupingnya yang sakit, tapi gendang telinganya juga bedengung karena pekikan Bu Reya yang terasa menusuk.

"Sekarang kamu ikut Ibu, kedua temanmu sudah Ibu hukum dilapangan!"

Tanpa berkata apapun, Malven mengekori Bu Reya yang berjalan lebih dahulu setelah membentaknya, tidak ingin mendengar omelan guru itu tadi. Begitulah Malven, kelewat santai, bahkan beberapa guru memilih menyerah dan membiarkan saja Malven melakukan apa yang disukanya—tentunya selama tidak mengganggu murid lainnya—namun kini anak-anak lain sudah mulai berani membolos karena mencontoh Malven.

Di lapangan SMA Cahaya Pelita, Daniel dan Lion sudah mulai berlari mengelilingi lapangan. Mereka kepergok Bu Reya saat sedang asik makan kacang dikantin.

"Kamu juga lari, lima puluh putaran!" titah BuReya yang disetujui Malven tanpa bantahan, cowok itu mulai berlari sejajar dengan kedua temannya.

Hukuman lari seperti itu sebenarnya tidak memberi efek jerasama sekali pada Malven, tapi daripada tidak dihukum sama sekalipikir Bu Reya, akan lebih baik kalau Malven tetap dihukum agar setidaknya mereka yang berniat mencontoh cowok itu,mengurungkan niatnya.

"Kalian ini,selalu berbuat yang tidak-tidak. Lama-lama saya bisa darah tinggi kalau menghadapi murid seperti kalian terus," gerutu Bu Reya saat tiga murid pembangkangnya itu berlari didepannya.

Seakan belum cukup, wanita itu kembali mengomel, "Mau jadi apa kalian nanti?!"

Bagi tiga sekawan itu, hukuman adalah hal yang biasa. Cacian dan pandangan rendah yang dilayangan para guru pun tidak berarti apa-apa bagi mereka, menurut mereka,aljabar pada matematika tidak akan mempengaruhi masa depan mereka.Bahkan yang dulunya nakal bisa saja menjadi atasan murid yang pintar kelak.

Jauh di lantai dua, Kinar bediri di pelataran kelasnya, menatapke arah tiga cowok yang berlari sejajar mengelilingi lapangan. Untuk yang kedua kalinya, Kinar kembali kepergok saat diam-diam menatap Malven. Meski kali ini, hanya sedetik sebelum cowok berhidung mancung itu mengalihkan tatapannya.

"Apaan sih, Ji?" Kinar yang baru saja memasuki ruang UKS,langsung duduk di ranjang dekat sangkakak tingkat duduk.

Panji Adithya, cowok bertubuh jangkung itu adalah mantan ketua PMR yang sekarang menjadi penasehat diekskul Palang Merah Remaja itu. Kinar sendiri enggan merepotkan diri memanggilseniornya itu dengan embel-embel 'Kak' karena Panji sendiri yang meminta seperti itu.

"Lo besok bisa kan dampingin anak basket buat tanding di SMA Jayawijaya?"

"Lha kok gue?!" pekik gadis itu tidak terima, "Ji, Sabtu-Minggu itu waktu gue bua tistirahat, berleha-leha. Enak aja lo—"

Panji menatap Kinar memohon, menjelaskan alasannya "Nenek gue sakit. Andra nggak bisa,Nina juga nggak bisa...cuma lo yang bisa gue andalin, Kin."

Andra dan Nina adala hketua dan wakil PMR saat ini,dan sudah tugas mereka mendampingi setiap ekskul yang bertanding.

Gadis beriris cokelat itu memanyunkan bibirnya, "Kan banyak yang lain, itu adek kelas sepuluh, mau makan nilai buta apa," gerutu Kinar, masih berat untuk mengiyakan permintaan Panji.

Kadang Kinar suka kesal dengan adek kelas yang hanya numpang nama di ekskul tapi susah kalau disuruh latihan. Padahal untuk kelas sepuluh, satu siswa diwajibkan minimal memiliki satuekskul.

"Lagian Kin, kan sekalian biar lo latihan ngilangin fobia. Demi sekolah juga, lagian gue denger-denger lo kan sekarang ceweknya Malven.Bisalah sekalian ekhm-ekhm sama doi."

Seketika Kinar merasa gugup saat Panji menyebutkan nama Malven, tentu saja karena kecerobohannya kemarin, gadis itu menyamarkan kegugupannya dengan menatap ke arah lain. Bisa dibuli Panji jika cowok itu bisa membaca mimik wajah tersipu Kinar, lagi pula ia merona bukan karena‘Malven’nya, tapi kejadian‘tembus’nya kemarin.

"Nah itu,gimana kalo ada yang luka terus fobia gue kambuh?"

Gadis itu fobia darah, mengikuti ekskul PMR atas saran daridokter yang menangani fobia Kinar karena cita-cita Kinar menjadi dokter, menuntut gadis itu untuk menghilangkan fobianya.

"Makanya latihan, Kin. Ayolah.""Nggak, nggak, nggak!"

Selain Kinar fobia darah, ia juga tidak ingin berurusan denganMalven lagi. Sudah cukup urusannya dengan laki-laki menyebalkan yang membuatnya ditatap sinis oleh hampir semua gadis Cahaya Pelita.

Kehidupan Malven dan Kinar rasanya sangat bertolak belakang.Malven yang selalu disorot sedangkan Kinar tidak suka jika ditatapdalam jangka waktu panjang. Malven dengan segala kelakuan yang membuat guru-guru mengelus dada, sedangkan Kinar menjadi salah satu siswi kebanggaan guru.

Namun, bukankah Tuhan menciptakan semesta dengan segala perbedaannya? Tuhan menciptakan langit dan bumi agar saling melengkapi.

"Yaudah lah, biarin aja Nenek gue nggak bisa liat cucunya yang ganteng maksimal ini untuk terakhir kalinya-"

Kinar berdecak kesal, "Mulai deh hiperbolanya." Menarik napas panjang,"Oke, fine. Gue dampingin anak basket, puas?!"

Panji tertawa,"Nah gitu dong. By the way, lo cantik banget deh hari ini... pas lo masuk UKS tadi, gue sempat speechless. Gue pikir, artis…"

"Bodo amat,Ji."Kinar mengibaskan tangannya, turun dari ranjang, dan beranjak untuk kembali ke kelasnya,"Bodoamat."

Panji tertawa terbahak-bahak, Kinar selalu mampu mengingatkan Panji pada adik kecilnya yang telah meninggal sewaktu Panji berumur sepuluh tahun. Andai dia masih hidup, mungkin akan secantik dan semenggemaskan Kinar.

"Lah, abis ketemu Kak Panji kenapa muka lo gitu amat," ucap Ghea saat Kinar duduk disampingnya, Mira dan Chaca yang duduk didepan mereka pun ikut menoleh kebelakang dan menatap Kinar.

Chaca menyipitkan matanya, "Jangan bilang lo ditembak Kak Panji?!"

Sumpah,Kinar rasanya ingin memasukkan Chaca ke dalam karung lalu melemparnya ke kutub selatan karena sekarang seisi kelas menatap Kinar, ikut penasaran. Well bisa dikatakan Kinar baru saja ditembak oleh Malven setelah acara labrak melabrak itu dansekarang ditembak oleh Panji.

Mau jadi Kinarrr!

Meski Panji tidak setampan Malven, cowok berkulit sawo mateng itu cukup manis dan menjadi incaran beberapa cewek karena sikap ramahnya.

"Belum pernah gue sumpelin boncabe ya tuh mulut lo, Cha."

Chaca tertawa renyah,"Kalo ditambahin kentang goreng sih gue mau-mau aja," ucapnya cengegesan.

Mengabaikan Chaca, Kinar menatap Ghea dan Mira bergantian,"Besok temenin gue ke SMA Jayawijaya buat dampingin anak basket, ya?"ajak Kinar.

"Dampingin anak basket?

"Caileh, mulai fall in love kayaknya nih sama si Malven.""Ngegas amat pdkt-nyasi mbak sampai ngawal doi tanding."

Kinar mendengus kesal, "Gara-gara si Panji nih makanya gueharus dampingin anak basket buat lomba persahabatan antar sekolah,lagian buat apa coba lomba-lomba gitu diadain hari Sabtu!"

Ketiga sahabat Kinar tertawa, Kinar memang paling anti jika waktu liburnya terpotong, apalagi jika terpotong bukan karena keinginan gadis itu sendiri. Dan sekarang, parahnya lagi, Kinar harus mendampingi anak basket, padahal gadis itu sangat tidak menyukai permainan bola tersebut.

"Kalem aja, pokoknya kami temenin deh, lagian katanya sih kapten Jayawijaya ganteng parahhh."

Wajah Chaca langsung berseri, menatap Mira antusias,"Beneran? Fix, gue temenin lo, Kin."

"Yeee, urusan cogan aja gesit!"

"Cogan is my life!" seru Chaca, dunia percoganan akan sepi jika tanpa orang-orang seperti Chaca.

"Mana mau cogan sama temperung kelapa kayak lo.""Sirik tanda tak mampu!"

Perdebatan Chaca dan Ghea terputus saat Bu Amel, guru seni mereka masuk.

"Kinar," panggil Bu Amel saat pembelajaran sudah usai, "Ke sini sebentar."

Kinar yakin, Bu Amel pasti ingin menanyakan siapa yang akanjadi lawan main Kinar nanti saat pementasan nanti. Sedangkan Kinar belum mendapatkannya, apa sebaiknya Kinar mengajak Panji saja,tapi kan Panji sudah kelas dua belas dan ekskul untuk mereka sudah ditiadakan supaya fokus pada ujian, lagipula Kinar tak ingin mengganggu waktu belajar cowok itu.

"Gimana? Kamu udah dapet siapa yang akan jadi lawan mainmu?"

Benar, kan.

"Udah, Bu."

Bukan, itu bukan Kinar yang menjawab, tapi Chaca yang entahsejak kapan sudah ada di sampingnya. Bu Amel menatap Chaca, lalumenatap Kinar dengan senyum mengembang, bagaimana pun beliau tidak ingin ekskul yang dibina oleh dirinya itu ditutup jika diperlombaan kali ini mereka tidak membawa piala juga.

"Siapa?"tanya Bu Amel antusias.

“Malven, Bu, itu lho anak IPS satu."

Mata Kinar membulat, gadis itu melotot tidak terima."Nggak, Bu, bukan."

Namun, terlambat bagi Kinar karena sepertinya Bu Amel sudah setuju dengan nama yang diajukan oleh Chaca. Guru seni itu bahkan mengangguk-anggukan kepalanya, "Bagus-bagus... Ibu dengar salah satu penilaiannya ada dari segi voting di instagram, Ibu harap dengan ikutnya Malven bisa membuat harapan menang kita lebih besar."

Kinar melongo, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.Apalagi setelah itu, BuAmel langsung melangkah pergi dengan senyuman mengembang membayangkan sekolah mereka akan menang nantinya, berbeda dengan Kinar yang nampak frustrasi.

"CHACA!"

Chaca tertawa, dengan sigap berlari saat Kinar ingin melayangkan cubitan saking kesalnya.

Kinar benar-benar sial hari ini, semesta seakan ikut mendukung menyengsarakannya dengan membuat Kinar terjebak bersama Malven, setidaknya jika cowok itu menyetujui permintaan Kinar nantinya untuk menjadi lawan main gadis itu.

Tapi, kemungkinan lebih besarnya adalah penolakan yang akan Kinar dapatkan, dan bagaimana ia harus menjelaskan pada Bu Amel nantinya?