Try new experience
with our app

INSTALL

Wanita Berhati Emas 

Dia lebih Menyukainya

Selamat membaca. Semoga suka. 


***


"Hei, kamu ga denger anakku barusan bilang ga mau? Ya udah ga usah dipaksa! Kalau punya telinga itu dipakai yang benar!" Tiba-tiba saja Mas Kahfi sudah berdiri di belakangku. Dengan suara dinginnya, lagi-lagi Mas Kahfi menghardikku kasar di depan Alena. 


"Alena Sayang, cepetan selesaikan sarapannya, setelah itu kita berangkat. Papa tunggu di depan ya," ujar Mas Kahfi lembut, sangat jauh berbeda dengan sikapnya padaku tadi. Aku masih sangat bersyukur, karena walaupun ia membenciku, tapi ia begitu menyayangi putri kami. Mas Kahfi lalu beranjak dari meja makan, meninggalkan aku dan Alena berdua saja. 


Sepeninggal Mas Kahfi, dengan mata kecilnya Alena menatapku tajam. "Ibu ga usah lagi bikinin sarapan buat Alena, biar Bik Sumi aja." Ia pun ikut beranjak pergi menyusul ayahnya. 


"Eh, Alena, cium tangan dulu, dong." Kuulurkan punggung tangan ke depan wajahnya.


Walau dengan wajah ditekuk, tapi ia tetap mematuhi kata-kataku. "Ibu boleh cium Alena, gak?" tanyaku perlahan sambil duduk di hadapannya dan mengusap lembut kepalanya. 

Ia mengangguk. "Dikit aja tapi." Tak apa, itu saja sudah membuatku sangat bahagia. 


Segera kumanfaatkan waktu untuk menciumi pipi tembemnya, karena selama ini Alena hampir tidak mengizinkanku untuk menyentuhnya. Aku hanya bisa menyentuhnya dengan sepuasnya saat ia tidur. Anakku itu ikut membenciku karena terpengaruh dari perlakuan buruk ayah dan neneknya yang hampir setiap hari selalu aku terima.


***


Di keluarga Asmoro, selain perlakuan tidak menyenangkan yang setiap hari kuterima dari Mas Kahfi dan Alena, masih ada satu orang lagi yang sikapnya mampu membuatku ingin menghilang saja dari dunia ini. Mama mertuaku, Mama Amanda. Meski beliau tidak tinggal satu atap dengan kami, tetapi ia cukup sering berkunjung ke rumah ini. Malahan semenjak Papa Asmoro tidak ada, Mama Amanda sering menginap. 


"Runa, kamu itu nggak capek apa, tiap hari menahan sakit hati terus, karena diperlakukan buruk sama anak saya? Mbok ya kamu itu pergi aja dulu sementara dari rumah ini?" Mama Amanda yang baru saja tiba, langsung mengeluarkan kata-kata andalan dari dalam mulut.


Kuhirup napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha agar tidak terpengaruh dengan kalimat tajam Mama Amanda. 


Kuputar kepala lalu memasang senyum termanis di wajah. 

"Ma, Ma, Runa mau pergi ke mana? Suami dan anak saya, kan ada di sini, Jadi tempat saya ya di sini juga, saya ga bisa pergi," ucapku membalas ucapannya sesantai mungkin. 


"Iya, tapi mama itu ga tega lihat kamu tiap hari selalu sedih karena ulah Kahfi. Dulu, ada suami saya yang selalu ngedukung kamu. Sekarang suami saya udah ga ada, apa lagi yang kamu bisa harapkan di sini? Sahid? Dia itu hanya orang lain, tidak punya hak apapun di rumah ini. Bahkan, Alena, anakmu sendiri saja tidak ingin berdekatan dengan kamu. Wajahmu itu udah bikin semua orang di sini merasa ga nyaman."


Aku sadari memang sepeninggal Papa Asmoro, sikap Mama Amanda dan Mas Kahfi semakin 'baik' saja. 


"Astagfirullah, Nyonya. Ga baik bicara begitu." Bik Sumi, asisten rumah tangga kami, mencoba menasehati. 


"Bik, Bik Sumi nggak usah ikut-ikutan, ya. Ga usah ngebela dia. Ini rumah anak saya, majikan yang udah ngegaji kamu. Berarti saya ini juga majikan kamu."


"Ma-maaf, Nyonya. Saya hanya ...."


"Udah, Bik, ga papa," ujarku lembut pada Bik Sumi yang seketika pias karena bentakkan Mama Amanda tadi. 


"Ma, Mama, kan, baru datang, gimana kalau istirahat saja dulu di kamar tamu, ya. Nanti Runa buatkan makanan kesukaan mama," tukasku berusaha mengusir Mama Amanda secara halus dari dapur. 

Akhirnya walaupun sambil menggerutu, Mama Amanda meninggalkan kami. 


"Ibu yang sabar, ya," ucap Bik Sumi. Bik Sumilah satu-satunya orang di rumah ini yang selalu baik padaku. Ia juga sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Bik Sumi juga yang selalu menghiburku tatkala terluka karena perlakuan Mas Kahfi, Alena dan Mama Amanda. Hanya kepada Bik Sumi aku bisa menceritakan semua hal mengenai apa yang kurasakan, terutama jika sedang mengatur siasat agar Alena mau memakan masakanku hari itu. 


"Iya, Bik. Insya Allah. Apapun yang terjadi saya akan tetap bertahan selama Alena masih membutuhkan saya di sini." Itu juga yang sudah Papa Asmoro pesankan padaku sebelum ia meninggal dunia. 


Walaupun sikapnya selalu kasar, tapi Mas Kahfi juga tidak berani menceraikanku. Hal itu karena syarat untuk mendapat warisan papa secara keseluruhan adalah dengan tetap memperistriku, tetapi berbeda halnya jika aku yang lebih dulu mengajukan cerai. Disebabkan hal itu pulalah Mama Amanda selalu berusaha untuk membuatku tidak merasa betah di sini. Ia akan berusaha agar akulah yang lebih dulu pergi ke Pengadilan Agama. 



"Oh, iya, Bik." Mama Amanda datang lagi dengan gayanya yang angkuh. Suaranya sengaja dikeraskan untuk memanas-manasiku.

 

"Iya, Nyonya, ada apa?" 



Bersambung.