Contents
Wanita Berhati Emas
Suami yang Membenciku
Di tengah pekatnya malam, keheningan yang beberapa menit lalu tercipta, pecah dengan meluncurnya satu kalimat tajam dari seorang pria.
"Aku sudah selesai, kembali ke tempatmu!" hardik lelaki itu tanpa sudi melihatku sama sekali. Aku tersentak. Cukup mendengar nada bicara pria yang sudah tujuh tahun menjadi suamiku itu, aku langsung paham apa yang harus kulakukan.
Mataku mulai berembun saat mendengar kalimat pendek tetapi sangat tajam itu. Kata-katanya langsung membuatku terkapar dalam diam.
Perlahan aku beringsut menjauhinya, menuju sofa di dekat pintu, tempat yang biasa kujadikan peraduan setiap malam. Di dalam kamar yang seharusnya mampu menjadikan penghuni di dalamnya merasa nyaman, tak berlaku untukku. Saat berada di dalamnya, justru aku merasa terintimidasi. Partner tidur yang selayaknya membuatku merasa terlindungi, justru merupakan sosok yang paling sering menyebabkanku merasa sedih dan terluka, Mas Kahfi, suamiku. Pria dingin yang sangat sulit tersentuh olehku, baik melalui cinta maupun kelembutan.
Sebenarnya sudah kesekian ratus kalinya sikap kasar Mas Kahfi kuterima, sikapnya yang selalu tidak pernah menganggapku sebagai istrinya. Ia bahkan tak sudi memandangku sama sekali jika bukan karena terpaksa.
Aku, gadis yatim piatu yang hanya anak seorang pemungut sampah, dan Mas Kahfi menikah tanpa didasari rasa cinta sedikit pun, tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Ayah Mas Kahfi, Papa Asmoro yang telah menjodohkan kami. Tak dipedulikannya tentangan keras dari Mas Kahfi dan Mama Amanda, istrinya. Ya wajar, mana mungkin seorang Kahfi yang tampan dan kaya raya itu mau menikahiku yang hanya seorang gadis miskin? Saat itu ia juga sudah punya kekasih. Gadis cantik dari keluarga kaya berpenampilan nyaris sempurna, bernama Sera. Terlebih lagi dengan adanya bekas luka di wajah bagian kiriku ini, sehingga membuatku terlihat seperti sosok yang menyeramkan baginya.
Mas Kahfi terpaksa menikahiku karena ancaman dari sang ayah. Terkait haknya sebagai ahli waris. Jika tidak mau, ia tidak akan mendapatkan harta warisan sepeser pun.
Selama kami menikah, Mas Kahfi sama sekali tidak mau menyentuhku. Walaupun kami tidur satu kamar, ia selalu menyuruhku untuk tidur di sofa dekat pintu. Bahkan, terkadang ia hanya akan masuk ke dalam kamar jika aku sedang tidak ada di dalamnya, atau aku sudah tertidur. Ia akan mematikan lampu kamar agar tidak ada pantulan cahaya yang mampu membuat matanya dapat melihat keberadaanku.
Saat pernikahan kami sudah berjalan satu tahun, secara biologis statusku masih gadis. Mas Kahfi tidak pernah menyentuhku sama sekali. Hingga suatu saat, Papa Asmoro yang ketika itu kondisinya sedang sakit parah, menanyakan perihal keturunan dan menyuruh kami untuk segera konsultasi ke dokter kandungan. Ia ingin sebelum meninggalkan dunia ini, sudah bisa merasakan menjadi seorang kakek.
Akhirnya demi memenuhi keinginan sang Papa, Mas Kahfi terpaksa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami padaku untuk pertama kalinya. Tanpa kata-kata mesra dan sentuhan lembut, ia melakukannya dalam waktu yang sangat singkat dan suasana yang benar-benar gelap. Beruntung setelahnya aku langsung hamil.
Papa Asmoro begitu bahagia, sedangkan suamiku dan mama mertuaku bersikap cuek tak acuh, mereka tetap memperlakukanku seperti biasanya. Mas Kahfi dan Mama Amanda hanya akan bersikap sedikit baik padaku jika di depan Papa Asmoro saja. Papa Asmoro sendirilah yang setiap hari giat memperhatikan kebutuhan giziku dan calon cucunya. Ia juga tidak pernah lupa untuk mengingatkan, jika sudah waktunya aku harus periksa ke dokter.
Aku dan Mas Kahfi dianugerahi seorang bayi perempuan yang cantik, kami memberinya nama Alena. Namun, sangat disayangkan, Papa Asmoro tidak sempat melihat Alena tumbuh dewasa, karena saat usia Alena menginjak lima tahun, papa mertuaku itu meninggal dunia.
Alena tumbuh semakin sehat dan menggemaskan hati siapa pun yang melihatnya. Untung saja Mas Kahfi dan mamanya tetap mengizinkanku untuk tetap menyusui dan merawat Alena seperti biasa. Walaupun itu hanya berlaku sampai Alena berusia lima tahun, saat Papa Asmoro masih hidup. Setelahnya, Alena selalu dalam pengasuhan Mas Kahfi dan mamanya. Saat ini usia Alena sudah enam tahun. Ia sudah menjelma menjadi gadis kecil yang cantik dan pintar.
***
Sebelum Alena berangkat sekolah, aku terbiasa membuatkannya sarapan nasi goreng ayam favoritnya. Meski ia selalu saja menolak, tapi akhirnya ia memakannya walau hanya beberapa suap, tetapi ada yang berbeda dengan Alena pagi ini.
"Dimakan ya, Nak," ujarku seraya menyodorkan sepiring nasi goreng ayam suwir untuk Alena yang tengah duduk di meja makan bersama dengan ayahnya.
Alena hanya menggeleng sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Pandangannya dialihkan ke arah Mas Kahfi yang sedang asyik menikmati setangkup roti berisikan selai kacang. Tidak lupa secangkir kopi beraroma mint ikut menemani pagi harinya. Kopi yang selalu Mas Kahfi minta untuk kubuatkan dan selalu ia habiskan. Bahkan ia tidak pernah mau dibuatkan kopi oleh Bik Sumi, asisten rumah tangga kami. Mas Kahfi pernah bilang kalau paginya kurang lengkap tanpa meminum kopi buatanku.
"Loh, kenapa? Biasanya Alena suka nasi goreng ayam kayak ini. Cobain dulu, deh. Wanginya aja udah enak gini. Dimakan ya, Sayang, biar nanti sekolahnya makin semangat."
"Nggak mau! Alena kenyang, Bu!"
"Alena, kan, belum makan apa-apa dari tadi."
Gadis itu tetap menggeleng kuat. Ia bangkit dan mendekati papanya yang duduk di seberang. Untung saja aku berhasil menangkap tubuh kecilnya.
"Sayang, yuk dibuka mulutnya." Akhirnya Alena mau membuka mulutnya. Aku cukup senang, ia akhirnya mau menurut. Namun, baru saja aku mau menyuapi Alena, sebuah tangan kekar memegangi tanganku.
Bersambung.