Try new experience
with our app

INSTALL

DISTANCE (TAMAT) 

MichelleFrom Seattle, WA

MICHELLE segera menghampiri mereka dengan senyum mengembangnya. Pemuda yang bersama sepasang suami isteri itu mengernyitkan dahinya ketika melihat kedatangan Michelle.

"Excuse me, that Michelle from Seattle? Michelle a student of Utrecht University?" tanya Michelle ketika ada di hadapan mereka.

"Yes, thats you?" ucap lelaki paruh baya yang berdiri di samping isterinya itu.

"Yeah, thats me. Hello Mr."

Michelle mengerutkan dahinya. Sudah lama sekali kerutan itu tak muncul sejak Jean memperkenalkan Annette kepada Michelle saat di Italia. Michelle bingung harus memanggil lelaki di hadapannya itu dengan sebutan apa.

"Mr. Anderson," sahut lelaki itu seraya menjabat tangan Michelle.

Michelle terlihat sumringah. Bayangan seram tentang orang tua asuhnya beberapa pekan lalu sudah lenyap ketika ia bertatap langsung dengan mereka. Keluarga yang ada di hadapannya itu begitu ramah menyambutnya. Raut wajah yang menyambut kedatangannya pun masih tergambar jelas di wajah keluarga Anderson.

"Ah, Mr.Anderson! Nice to meet you, Sir! And the beautiful woman, Mrs. Anderson, right?" ucap Michelle seraya memeluk wanita paruh baya yang akan menjadi ibunya selama di Belanda itu.

"Yes, thats right, dear!! Oh, nice to meet you too."

Nyonya Anderson menyambut pelukan Michelle. Lalu mata Michelle tertuju pada pemuda tampan berdarah Belanda yang sejak tadi memperhatikan acara mengharu biru antara Michelle dan keluarganya.

Pemuda itu tak bergeming sedikit pun untuk berucap sepatah kata kepada Michelle. Bahkan menjabat tangan Michelle pun tidak! Michelle semakin mengernyitkan dahinya.

"Oh ya, kenalkan, Michelle, ini William, putra tunggal kami. Dia juga kuliah di Utrecht University. Sepertinya kini setiap pagi William akan mempunyai teman untuk berangkat ke kampus," terang Tuan Anderson kepada Michelle.

Sebuah senyum segera terlontar kepada pemuda Belanda itu, dengan mata birunya yang begitu membuatnya sangat istimewa.

Oh, nice to meet you, Willi!!” Michelle tersenyum seraya mengulurkan tangannya.

William menyambut sapaan dari tangan gadis Amerika yang berpenampilan sangat simple itu. Ya, wajah bulat, lensa mata cokelat, rambut cokelat tua sebahu dengan style celana jeans dan kemeja. Gadis itu terlihat begitu sederhana, hanya saja ia terlihat begitu menarik dengan penampilannya itu.

"Yeah, Michelle. Semoga kita bisa menjadi teman baik," ucap William yang menyambut jabatan tangan dari Michelle.

"Ayo segera pulang, aku yakin Michelle pasti sangat lelah," ucap Nyonya Anderson.

Michelle dan keluarga Anderson langsung melangkahkan kaki menuju Mustang mengkilat milik William. Michelle hanya bisa tersenyum kecut ketika melihat warna mobil itu. Warnanya benar-benar membuatnya teringat kepada Jean. Sejenak dilema menyapanya tepat ketika pertama kali ia tiba di Belanda. Namun, bersyukur ia masih bisa melawannya.

Aku ke sini untuk memperbaiki hidupku, menyusun hatiku. Terima kasih, Jean, sudah memberiku rasa tak nyaman di Seattle hingga sekarang aku terdampar di Negeri Kincir Angin ini. Aku akan lebih baik di sini, batin Michelle dengan yakin.

Sore itu, Michelle segera menikmati perjalanan menuju rumah barunya bersama keluarga Anderson. Desah angin musim semi mulai mengiringi perjalanan Michelle dengan semerbak bunga Tulip dan Hyacinths.

****

SEPANJANG perjalanan Michelle dibuat takjub dan terpana akan keindahan Negeri Kincir Angin tersebut. Ia menemukan rumah-rumah arsitektur Belanda dengan jendela besarnya yang khas, genteng yang berjajar rapi di atasnya, cerobong asap yang akan mengepulkan asapnya ketika musim dingin juga di beberapa teras dari sebagian rumah itu ada yang di hias dengan bunga dan pohon yang tertata secara rapi dan indah.

Mata Michelle benar-benar diberi pelayanan pemandangan yang baik selama perjalanan menuju rumah barunya. Kini, perjalanan yang sudah berlalu lebih dari 30 menit itu terasa sangat nyaman dan menarik.

"Rumah baruku masih jauh, Nyonya?" tanya Michelle yang sudah tidak sabar untuk melihat rumah barunya itu.

Pemandangan yang dilihatnya benar-benar membuat kakinya ingin menjelajahi rumah berarsitektur indah itu. Ia benar-benar sangat ingin melihat cerobong asap yang akan dinyalakan setiap musim dingin di Belanda.

"Masih, Sayang. Rumah barumu berada di pinggiran kota Amsterdam. Bukan kota besar memang, hanya kota kecil yang diberi nama Volendam. Kuharap kau akan suka dengan rumah barumu nanti," jawab Nyonya Anderson dengan senyum ramahnya.

Michelle semakin tertarik dengan kota kecil yang baru saja diceritakan oleh Nyonya Anderson.

"Volendam? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, Nyonya. Aku sudah tak sabar ingin melihat rumah indah itu. Rumah itu pasti sangat indah!" pekik Michelle dengan penuh semangat.

"Iya, Volendam adalah desa para nelayan. Di sana akan sedikit berbeda rumahnya, tetapi arsitektur dasarnya tetap sama seperti kebanyakan rumah di Belanda. Di Volendam, masih banyak yang mengenakan baju tradisional Belanda. Unsur tradisional sangat terjaga di Volendam. Kuharap kau akan suka."

Michelle hanya tersenyum lebar. Ia semakin tak sabar untuk tiba di desa nelayan, Volendam. Sebuah desa yang benar-benar khas akan tradisionalnya. Desa yang memiliki dermaga kapal yang selalu saja di singgahi kapan-kapal Belanda, bahkan di dermaga inilah yang masih menyimpan dan menjadi sandaran untuk kapal-kapal berstuktur tradisonal Belanda.

****

SEKITAR 50 menit berkendara dari Bandara Internasional Schiphol, Michelle dan keluarga barunya tiba di desa Volendam. Mata Michelle kembali dibuat terpesona dengan pemandangan di sekitarnya. Volendam terlihat klasik dengan atmosfer tuanya. Aroma tradisonal sangat tercium di kota kecil ini. Ada banyak perahu yang bersandar di dermaga kapal di pinggiran kota Volendam. Sepanjang mata Michelle menelusuk, ia menemukan Nyonya-Nyonya Belanda yang masih menggunakan pakaian tradisionalnya berupa gaun panjang berwarna dasar hitam, topi putih yang meruncing dan rampel baju yang bermotif di bagian atas. Hal terakhir yang paling disukai Michelle dari kota Volendam adalah arsitektur rumahnya yang terlihat sangat unik dan minimalis. Dinding kayu yang dilapisi cat hijau dan tembok bata merah menjadi warna dasar dari semua rumah-rumah dan bangunan yang berada di Volendam. Michelle benar-benar takjub!

Matanya tak henti menjamah setiap sudut kota kecil itu, hingga ia tiba di sebuah rumah khas kota Volendam. Dengan jendela besarnya, dinding berwarna bata merah, halaman rumah kecil yang dihiasi bunga-bunga, pagar minimalis yang sangat klasik, cerobong asap yang siap mengepulkan asap di musim dingin, genteng merah bata yang terjajar rapi. Semua itu benar-benar membuat Michelle takjub.

"Nah, selamat datang di rumah barumu, Michelle. Silahkan masuk dan anggaplah seperti rumahmu sendiri," ucap Tuan Anderson mempersilahkan.

Michelle mulai menghitung satu persatu langkahnya yang mulai memasuki halaman kecil yang indah itu. Tangannya membelai lembut pagar kayu minimalis yang sangat unik baginya. Ia mulai menyapa bunga-bunga yang menghiasi rumah tersebut. Sebuah senyum mengembang di bibir mungilnya.

Tuan Anderson dan Nyonya Anderson tersenyum lega melihat anggota keluarga baru mereka terlihat menyukai rumah tersebut. Mereka pun membiarkan Michelle menjelajahi setiap sudut rumah itu tanpa memberikan batas.

"Baiklah Michelle, silahkan melihat-lihat di sekitar rumah. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Nanti William akan membawakan kopermu. Kamarmu ada di lantai 2, di sebelah kamar William. Semoga menikmati," ucap Nyonya Anderson dengan ramahnya.

"Terima kasih, Nyonya."

Tuan dan Nyonya Anderson meninggal Michelle yang masih asyik memperhatikan setiap sudut halaman rumah yang berukuran sekitar 5x3 meter itu. Sedangkan William hanya memperhatikan Michelle dari depan pagar.

"Kau menyukai rumah ini?" tanya William membuka pembicaraan.

Michelle sumringah. Senyumnya segera melebar untuk pemuda itu.

"Ya, aku sangat menyukainya."

"Baiklah. Kurasa kau perlu melihat kamarmu dan temukan yang ada di sana. Ibuku yang menata ruangannya."

Michelle berjalan di belakang William, mengikutinya. Sesekali William melirik ke belakang,tepat di mana gadis Amerika itu mengikutinya.

Lagi-lagi Michelle terpesona dengan tata ruangan di dalam rumah barunya itu. Namun ia mengurungkan niatnya untuk berkeliling rumah, ia ingin melihat kamarnya dahulu. Kamar yang sudah disiapkan Nyonya Anderson untuknya.

Michelle mulai menaiki anak tangga yang juga terbuat dari bahan kayu porselen itu. Tangga indah yang dilapisi karpet cokelat yang klasik. Hingga akhirnya Michelle tiba di depan sebuah pintu kamar.

"Ini kamarmu," ucap William seraya membuka pintunya perlahan.

Spechless!! Michelle benar-benar kagum dengan tata ruang di kamar itu. Kamar kecil yang berukuran sekitar 4x4 meter itu di design dengan sangat klasik ala arsitektur Belanda. Dengan tirai tipis di jendela besarnya, pemandangan yang langsung menuju ke jalan, ruangan yang dicat dengan warna krim cokelat muda, lemari kayu dengan pahatan khas pengrajin Belanda. Dan di sudut kamarnya ia menemukan sebuah meja dengan relief bunga tulip kesukaannya. Michelle benar-benar kagum dengan rumah itu.

"Terima kasih, aku sangat menyukainya!" Michelle kegirangan.

William hanya tersenyum kecil.

"Baiklah, aku dan orang tuaku menunggumu di bawah. Bersiap-siaplah untuk makan malam. Kamar mandimu di sebelah kiri, dan ini kopermu."

William meninggalkan Michelle di kamarnya. Nyonya Anderson masih berkutat di dapurnya untuk menyiapkan makan malam special untuk tamu jauhnya itu. Sedangkan Michelle, masih menata satu per satu puzzle hatinya yang masih belum tersusun rapi sejak pertama kali ia meninggalkan Seattle.

Jean, aku sudah sampai di Belanda. Mereka sangat baik denganku. Aku bisa mencium aroma tulip di sekitar sini, aku senang. Jean, bagaimana pertunanganmu? Semoga kau bahagia, batin Michelle seraya menatap ke luar jendela kamarnya yang besar itu.