Contents
My Husband My Enemy
3. Mau Jadi Istri Saya?
Andin masih duduk di sofa ruang tengah rumah Aldebaran. Kepalanya masih sakit dan terasa semakin sakit saat mengingat apa yang dikatakan oleh Aldebaran beberapa saat lalu pada ibunya.
Andin mengangkat wajah saat Aldebaran akhirnya berjalan menghampirinya setelah berhasil membuat ibunya pulang dalam keadaan shock. Aldebaran menjanjikan pada wanita tersebut bahwa dia akan pulang ke rumah dan menjelaskan semuanya nanti.
"Apa yang sebenarnya lo katakan tadi?" todong Andin pada Aldebaran.
Aldebaran memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berdiri menjulang di hadapan Andin yang duduk di sofa. "Maaf karena pengakuan saya terlalu tiba-tiba tadi," pungkas Aldebaran, memulai pembicaraan.
"Pengakuan apanya? Memangnya kita beneran pacaran apa?" protes Andin tidak terima.
Aldebaran menghela napas dalam. "Okay. Saya langsung ke intinya aja," ucap Aldebaran. Pria itu duduk di sofa single. Menyilangkan kaki dan menatap Andin serius. "Saya membutuhkan kamu untuk menjadi pacar pura-pura saya."
"Apa?!" pekik Andin terkejut. Tentu saja, perempuan mana yang tidak akan terkejut saat seorang Aldebaran yang memiliki standar tinggi dalam hal apa pun tiba-tiba melontarkan kalimat itu.
"Oh, maksud saya bukan pacar pura-pura. Tapi mungkin, calon istri pura-pura. Mama saya ngira kamu hamil, soalnya. Jadi gak ada pilihan."
Andin tidak bisa lagi untuk tidak lebih terkejut daripada saat ini. Secara tiba-tiba, pagi ini dia bangun di apartemen Aldebaran, kemudian secara mendadak dia menjadi pacar dan calon istri lelaki itu?
"Lo gila? Buat apa gue mempertaruhkan waktu gue yang berharga hanya untuk jadi pacar, ralat, calon istri pura-pura lo?" Andin berdiri dari duduknya dengan sekali sentakan. Gadis itu sempat oleng, tetapi dengan segera dia mengumpulkan kembali kesadarannya untuk tetap seimbang.
"Kalau begitu, gimana kalau kamu jadi calon istri saya? Benar-benar calon istri, tanpa kepura-puraan apa pun?"
Ucapan Aldebaran tersebut seketika membuat Andin bergeming kelu. Menatap Aldebaran yang duduk diam dan menatapnya lekat. Untuk sesaat, Andin merasa jantungnya berdebar keras sekali. Dia sampai berpikir bahwa dirinya mungkin terkena serangan jantung dadakan.
Andin berusaha menutupi kegugupannya dengan menatap Aldebaran dengan tatapan yang tajam. "Kata gue, lo bener-bener sinting!" decak Andin. Lalu tanpa memberi kesempatan apa pun lagi bagi Aldebaran untuk kembali berucap, Andin berjalan cepat meninggalkan kediaman Aldebaran dengan perasaan kesal yang meletup-letup.
"Dia pasti mempermainkan gue," gerutu Andin di sela-sela langkahnya yang amat cepat.
Sementara itu, Aldebaran hanya mengangkat bahunya dengan ringan. Tak berniat mencegah saat Andin pergi. Toh, ponsel wanita itu masih tergeletak di meja. Andin pasti akan kembali lagi karena tidak bisa pulang tanpa benda itu. Pria itu tersenyum samar.
***
Andin masih misuh-misuh. Kesal akan apa yang baru saja dikatakan oleh Aldebaran padanya. Gadis itu masih berpikir bahwa Aldebaran sedang bermain-main. Apa pun itu alasannya, Aldebaran tidak berhak menjadikan dirinya bahan permainan seperti itu. Cukup dulu, dulu sekali, Aldebaran membuatnya merasa tak berharga. Andin tidak akan terjebak ke dalam permainan apa pun yang Aldebaran ciptakan sekarang.
Andin berjalan keluar dari lobi. Dia harus menghentikan taksi di depan. Namun menyadari sesuatu, langkah gadis itu tiba-tiba terhenti.
"Hape gue!" pekik Andin. Gadis itu menoleh ke belakang. Dia tahu ponselnya tertinggal di apartemen Aldebaran. Namun membayangkan bagaimana cara dia meninggalkan tempat itu barusan, rasanya akan memalukan jika dia kembali hanya karena sebuah ponsel.
Andin mengerang kesal. Dia bisa saja bepergian tanpa dompet, tetapi dia tidak bisa pergi ke mana pun tanpa ponsel. Setidaknya dengan ponsel dia bisa membayar tagihan apa pun karena transaksi keuangan kini sudah canggih.
"Aihs, kenapa gue kudu lupa?!" Andin memukul kepalanya sendiri.
Gadis itu menghela napas dalam. Meski ini sangat memalukan, tetapi dia akhirnya kembali ke apartemen Aldebaran. Ponselnya adalah nyawanya. Dia tidak bisa melakukan apa pun tanpa benda pipih itu. Semua hal ada di dalam benda tersebut!
Sedikit menggeram, Andin menekan bel unit apartemen yang dimiliki Aldebaran. Dalam hati, gadis itu terus melantunkan sumpah serapah pada dirinya sendiri tanpa henti.
Setelah lebih dari tiga kali Andin menekan bel, akhirnya pintu terbuka. Sosok Aldebaran yang kini sudah berpakaian rapi berdiri menjulang sambil menyilangkan tangan di dada. Andin bersumpah dalam hati bahwa gaya pria itu sangat menyebalkan!
"Kenapa balik lagi? Kamu mau jadi istri saya?"
Uhuk! Andin tersedak salivanya sendiri mendengar pertanyaan Aldebaran yang dilayangkan dengan ringan tersebut. "Lo punya penyakit kelebihan percaya diri, ya?" balas Andin sengit. Namun semburat merah di pipinya sama sekali tidak bisa disembunyikan.
Entah mengapa Aldebaran mengulum senyum melihat reaksi Andin. "Lalu? Kalau bukan itu, ada apa?"
"Hape gue. Hape gue ketinggalan. Gue gak bisa pulang tanpa hape gue," jawab Andin, berusaha menyembunyikan fakta bahwa dia malu setengah mampus.
Aldebaran membuka mulutnya membentuk huruf O sambil menggumam, "Oh, lalu? Kamu mau ambil hapenya?"
"Iyalah! Masih nanya lagi." Andin benar-benar ketus menjawab pertanyaan Aldebaran yang menurutnya sangat tidak bermutu.
Aldebaran memiringkan tubuh, membuka lebar pintu apartemennya dan membiarkan Andin masuk dengan leluasa. Dengan ketus, Andin masuk ke dalam apartemen lelaki itu. Menuju sofa ruang tengah. Andin yakin bahwa dirinya meninggalkan ponsel di tempat itu. Namun begitu tiba di sana dan mencari di sekitar, dia tidak menemukan apa pun.
"Hape kamu ada di sini."
Tiba-tiba, Aldebaran bersuara di belakang. Andin seketika menoleh dan melihat lelaki itu mengangkat lengan dengan ponsel milik Andin di genggaman.
"Balikin," kata Andin. Berjalan hendak mengambil benda itu. Namun yang mengejutkan, Aldebaran malah menyembunyikan smartphone tersebut ke belakang tubuhnya, membuat Andin membulatkan mata, melayangkan protes tanpa suara.
"Bersihin dulu kamar saya," tandas Aldebaran.
Andin mengerutkan kening. "Kenapa harus?" tanya Andin sedikit pongah.
Aldebaran menggeleng pelan sambil tersenyum miring. "Kamu lupa? Kamu memuntahkan banyak isi perut kamu di lantai kamar saya."
Andin memejamkan matanya. Malu karena dengan tanpa tahu malunya dia melupakan hal itu. Namun, Andin juga tdiak punya waktu. Ibunya menyuruh Andin pulang cepat. Jika tidak, dia akan mendapatkan hukuman. Andin dilanda dilema, antara kehilangan ponselnya atau kehilangan uangnya.
"Emangnya enggak bisa manggil asisten rumah tangga atau siapa gitu yang bisa bersih-bersih?" tanya Andin, bernegosiasi.
Aldebaran menggeleng. "Kamu yang bikin kamar saya kotor, maka kamu juga yang harus bersihinnya," balas Aldebaran lugas.
Andin mengembuskan napas keras. "Oke-oke!" tandasnya, tidak bisa lagi membuat penawaran apa pun.
Dengan langkah kesal, Andin berjalan masuk ke dalam kamar Aldebaran. Lalu meringis saat melihat betapa banyaknya kotoran yang dia tumpahkan di kamar Aldebaran. Dia sendiri jijik melihat hal itu, bagaimana dia akan membersihkannya sekarang?
"Seharusnya semalam gue bisa lebih waras dengan hanya minum sekadarnya," rutuk Andin pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyesal, mengapa semalam dia harus mabuk dan berakhir di dalam semua kekacauan ini.
***