Contents
Jerat Serpihan Surga
Rencana Menikah
Perempuan dengan tubuh melebihi rerata gadis seusianya, terus saja berjalan. Ia memang telah mendengar sendiri bunyi kasar itu. Suara terengah – engah dari oksigen yang bersirkulasi dalam tubuhnya.
Ia terus berjalan dengan telah mengantongi banyak cerita. Meski waktu itu tak sedang di kampung, ia telah mendengar. Orang yang ditujunya tengah berkabung. Namun, rasanya profesional itu seharusnya tetap ada. Apa yang ia pesan, dan telah beberapa lama seharusnya bisa ia bawa pulang.
“Huuuh .... ” meniupkan napas cepat, dan berbunyi keras, telah ia lakukan. Rumah dengan teras yang tak akan cukup jika dibuat parkir mobil sedan apalagi pengangkut hasil panen sawit, telah tampak di depan mata. Dua kursi plastik beserta mejanya yang telah pudar dan jika dijual ke tukang rongsok harganya pasti rendah, hanya menyisakan beberapa langkah lagi.
“Assalamualaikum, Kak Yu. Ini Nana! ”
Kalimat itu awalnya terlantun dengan normal. Namun, akhirnya harus terulang beberapa kali. Sampai Nana harus mengeluarkan level suara tertingginya. Tapi beberapa kali pemilik rumah itu tetap terlihat mematung saja.
Baiklah, Nana akan menunggu momen saja. Kak Yu! Seru Nana bermonolog. Mencoba tetap berdiri di tempatnya. Memasang tampang penuh kesabaran. Hingga wanita itu mungkin lelah dengan kesabaran anak muda ini.
Tapi sampai kapan pelanggan yang katanya adalah raja harus dijemur. Mana ada raja kepanasan di depan rumah abdinya.
***
Tangan Suhaila tak tak bosan – bosan mengulangi sebuah gerakan. Mengarahkan dua bagian kain yang harus menyatu. Mengikuti model yang telah dikehendakinya. Sedikit berhati-hati dan kerja cepat. Mata Suhaila sampai terlihat agak mengincar. Menatap tajam kain-kain yang hendak bersentuhan dengan jarum-jarum. Runcing – runcing tajam yang siap membuat beberapa potong kain itu menjadi erat dan bergandengan.
Beberapa kali dirinya berhenti. Untuk sekedar membuat tenggorokan sedikit lebih sejuk. Mengurangi rasa panas. Dari udara yang ke luar dari kedua lubang hidungnya. Juga mulutnya yang terasa pahit.
“Belum selesai juga ya, Kak Ai? “
Pertanyaan terucap begitu saja. Membuat Suhaila tersentak; nyaris menjatuhkan sebuah cangkir -wadah minum kesukaan almarhum-. Itu suara sosok yang dari malam mengundang rasa resah. Sampai membuat Suhaila memaksa dirinya lembur. Meski dengan segala rasa dijiwa, yang sama sekali belum maksimal untuk bekerja sama.
Menengok sangat sebentar. Adalah cara terbaik yang bisa Suhaila kerahkan. Lalu, segera memutar pandangan. Baru saja berhasil memastikan siapa yang berbicara. Pertanyaan terlontar, sebelum Suhaila sendiri sempat menjawab. “Kira-kira selesainya kapan baju Saya, Kak Yu? “
“Nana, maaf ya. Tapi, Insya Allah. Kira - kira besok sore udah selesai .... “
Nana langsung menggembungkan pipinya -bagian dari wajah yang sudah tampak berisi ketika tengah berekspresi datar-. Sekali kepalanya mengangguk. Ia memilih melampiaskan semuanya dengan diam.
Mengerti arti ekspresi Nana, cepat – cepat Suhaila memberikan pernyataan. “Oh iya Na, nanti biar Kak Yu aja yang hubungi. Jadi, begitu Nana kemari, sudah tak kecewa lagi. Dengan baju yang belum bisa dibawa pulang! “
“Iya bagaimana baiknya aja sih, Kak Yu. Mudah-mudahan memang benar-benar selesai. Dua hari lagi mau dipakai soalnya, ” terang Nana berkata dengan nada antara menuntut dan memberi sedikit toleransi.
“Iya ... Insya Allah, ya Na. Kak Yu usahakan, pokoknya.”
Janji yang terucap membuat Nana mengangguk, menjawab singkat, “Ya.”. Lalu berjalan melewati Suhaila. Tak butuh waktu, ia sudah duduk manis. Bertengger di atas kursi kayu, tepat di dekat Suhaila.
“Duduk, Na!” Seru Suhaila, melihat fasilitas rumahnya digunakan tanpa izin. Gigi remaja itu seketika berderet rapi. Sembari dengan cekatan mengelap kacamata. Lensa yang lembap terkena nafas dan teratasi berkat usapan ujung jilbab.
“Maaf ya Kak Ai. Kemarin Nana idak pacak datang ngelayat pas suami Kak Ai meninggal. “
Suara melengking Nana kembali mengusir kesenyapan. Dengan bahasa campuran -bahasa Nasional dan bahasa Palembang-, Nana mengucap belasungkawa. Meminta maaf, tak bisa takziah ketika Suhaila kehilangan suaminya.
Perempuan yang belum benar – benar selesai mengobati perasaannya, mencoba mulai merespons. Berat, tapi bibir dipaksanya untuk menyungging. Tak lupa menatap Nana saat mulai berkata, “Dak papo, Na. “.
“Oh iyo Kak Ai, Biasonyo, masa iddah perempuan yang ditinggal suaminya berapa bulan ya Kak Ai?”
“Biasonyo tiga bulan. Knapo?” Suhaila menanggapi sembari mengerutkan dahi . Dengan dada yang seolah tersengat, Suhaila menjelaskan dan juga meninggalkan pertanyaan di ujung jawabannya.
“O..., idak papo.” Kata “enggak apa – apa” itu terucap. Dengan air muka yang terbaca tidak terlalu yakin -ragu dengan ucapan sendiri-.
Sejenak, tangan dengan jari – jari pendek berisi itu kembali sok sibuk. Mengamankan wajah penuh minyak kepunyaannya. Setelah minyak itu mulai tersapu bersih, kembali diucap suatu hal, “ Eh, Kak Ai. Mohon-mohon maaf nih ya ... Jangan Kak Ai tersinggung. Aku nak nanyo?”
Mukadimahnya tersaji hingga berhasil membuai jiwa. Suhaila, bahkan terkena efek sampingnya. Memasang prasangka baik, pada pertanyaan yang diungkap belum sampai puncaknya.
“Kak Ai, ada niat nak nikah lagi apo idak?. Mata seketika berhenti berkedip beberapa masa. Saat telinga mendengar, Suhaila merasa seakan melihat segumpal kilat di depan mata. Keterkejutan itu amat nyata dan begitu tiba – tiba.
Ada semacam aliran panas yang menyinggahi sekitar kelopak mata. Kebiasaan baru yang usai saja terlewati satu pekan, hari ini ia ( kenangan – kenangan keresahan sedari Bambang wafat) kembali menyapa.
Beberapa kali tangisan itu tak mau bersembunyi. Maka kemudian, hanya sebuah inisiatif agar reaksi itu tak bisa Nana ketahui. Hati yang sakit itu mencoba dipaksa mengerti. Ucapan anak ini membuat hati timbul luka, entah untuk yang berapa kali. Tapi ini adalah ucapan yang keluar dari remaja yang masih labil, dan mungkin saja ketika bicara Nana tak melibatkan hati.
Kalimat tayibah akhirnya menjadi kata pembuka tanggapan Suhaila. Sebuah reaksi yang tersampaikan dengan suara parau sang ibu tiga anak. “Astaghfirullah ... napo Nana tanya itu?”
“Dak do. Ah ... lupakan be ya Kak Ai. Maaf bae kalau Kak Ai tersinggung.”
Belum sempat Suhaila merapatkan bibir yang usai saja memperjelas maksud pertanyaan. Nana seketika angkat bicara, mengajak Suhaila untuk melupakan pertanyaannya. Dan setelah sejauh itu, mahasiswi baru ini baru ingat tentang apa itu tersinggung.
Terlambat! Drama saling bungkam harus terjadi, dan itu cukup lama. Nana yang baru berpikir setelah semuanya terjadi. Menjadi bingung harus melakukan apa. Lalu, Suhaila yang wajahnya menunduk saja. Menampilkan kedua sudut bibir yang mengarah ke bawah. Beberapa kali telapak tangannya diam – diam mengusap mata. Jiwanya kembali terluka bahkan sebelum sempat memperoleh obatnya.
Pamit, akhirnya menjadi langkah spontan yang Nana putuskan. Pelan – pelan ia menuju arah pintu. Tetapi baru lima langkah, laju kakinya memelan. Badannya memutar 360 derajat, lalu tampak Suhaila yang tersenyum bergembira.
“Tapi Kak Ai ... Emang dak ado niat mau menikah lagi apo Ka Ai tu .... ” Lirih pertanyaan dengan tujuan serupa itu terdengar. Lain dari sebelumnya. Suhaila menjawab dengan intonasi yang lebih tegas. “Aidaaah... napo Nanatu tanya cak itu?”
Cara Suhaila menjawab, membuat Nana mengambil langkah yang lebih damai. Barang kali Kak Yu malu untuk berterus terang. Batin Nana berspekulasi, seiring mendekat, hingga menempel ke punggung Suhaila. Wanita itu mulai membisikkan maksudnya,“ Idak. Gini ya Kak Ai. Kalau Ka Ai mau menikah lagi, ngomong bae sama Aku. “
“Kak Ai, Aku bilangkan bae... ado yang mau samo Kak Ai, kalau Kak Ai ada rencano nak nikah lagi,” imbuh Nana sebelum pernyataan pertamanya mendapat reaksi apa pun dari Suhaila. Menyampaikan wawasannya tentang sesosok lelaki yang menaruh minat kepada Suhaila.
“Astaghfirullah... udah Na, baju itu idak akan siap kalau ngeladeni omongan ini.”
Ancam Suhaila sembari diam-diam tangannya meninggikan lengan baju. Hingga tanpa sadar lipatan lengan itu melewati siku-siku. Jarinya, menunjuk-nunjuk bakal baju milik Nana. Pakaian yang diharapkan dapat segera dikenakan.
“Beeeh... Aku balik lah kalau gitu Kak Ai. Makasih ya Kak.” Spontan Nana berpamitan. Berjalan dengan lebih cepat. Membuat bunyi kaki yang menginjak cepat lantai terdengar nyaring di telinga Suhaila. Tak sampai beberapa lama. Jejaknya telah menghilang.
“Ado-ado bae si Nana ini.”
Suhaila menggelengkan kepalanya. Kembali duduk di kursi kayu yang sudah menjadi kawan menjahit.
Teriakan anak – anak yang bermain di pinggiran Sungai Musi tiba – tiba terdengar sangat jelas. Membuat Suhaila seketika teringat tentang tiga puluh tahun lalu, dan entah mengapa rindu datang begitu saja. Wanita yang telah melahirkannya itu mengirimi Suhaila rasa khawatir, dan juga rindu.
Mek apa yang terjadi di sekitar Intirub sana. Kenapa wajah Mek tiba – tiba datang, dan singgah lama dalam pikiran Ai. Ai ingin segera tiba untuk sedikit tahu suasana, tapi Ai iddah Mek!
***