Contents
Jerat Serpihan Surga
Cinta Setelah Dia Tiada
“Kak Yu Ai. Kalau ada apa – apa bilang, Zul ya. Oh iya, masih ingat kan. Mulai sekarang kalau lagi sedih jangan sampai Umek tahu, ya? Berbaginya sama Zul aja. Kita saling berbagi aja.”
Entah kenapa tiba – tiba hanya bayang – bayang wanita yang menjanda sejak ia masih kecil yang terbayang. Suhaila jadi ingin sekali pergi ke rumah yang tetap konsisten membuka usaha toko kelontong sejak ia bahkan belum akil balig.
Kenapa tadi aku tak ikut Zul ke rumah, Umek? Tapi mana bisa, mas Bambang baru saja meinggal tujuh hari yang lalu.
Pikiran Suhaila bergerak ke mana – mana. Membawanya tiba pada kejadian pagi tadi. Saat sama seperti sekarang di depan mesin jahit ia terduduk tanpa bisa memberikan progres untuk pesanan jahitan orang – orang.
Dipikir – pikir benar kata Nissa, dan Maysarah. Aku harus bisa, ada banyak orang yang akan ada untukku.
Batin Suhaila terus berbicara, lalu berhenti. Saat tiba – tiba seperti sedang terjadi, ucapan Nisa dan Maysarah terdengar begitu jelas di telinga.
Suhaila tersenyum demi mengikis lukanya. Senyuman yang disertai dengan mengalirnya air mata. Bersama rasa yang tak bisa dikendalikan itu, bunyi seseorang yang ada di dalam angannya berteriak dan mengetuk pintu.
“Apa yang harus Aku lakukan?” Pandangan tak beralih dari tubuh yang terbujur. Sekalipun kepala telah bersandar. Nyaman pada bahu perempuan berbadan kecil. Merasa terpanggil, salah satu perempuan itu mendekat. Memijit amat pelan wanita yang tengah berkabung.
Berucap lirih. Tepat di samping sang wanita penanya. “Sabar, Ai semua sudah takdir. Satu-satunya yang harus dijalani ya belajar menerima seperti apa pun beratnya,” ucap Nisa memberi pernyataan sembari menepuk-nepuk punggung Suhaila.
“Sabar, Ai! Semua sudah bagian dari takdir. Satu-satunya yang harus dijalani ya belajar. Menerima meski seperti apa pun beratnya.”
Memang bijak, tapi petuah itu masih sekedar lewat saja. Hanya gerakan kedipan kecil kelopak mata. Yang bertambah tak sedap dipandang karena air mata.
Kabut itu telah luas menjelajahi hati Suhaila. Maka ketika ucapan perempuan sebijak Nisa tak mempengaruhi apa – apa, Maysarah memilih ikut berbicara. “Allah tak mungkin memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Ingat saja hal itu Ai!”
Kali ini tak benar – benar nihil. Kompilasi pendapat dua sahabat, mulai sedikit mampu mengikis hal yang teramat berat. Wanita yang terpaku itu mulai meminta pendapat, “Apa bisa Aku menghidupi anak-anak tanpa suami ?”
“Insya Allah, pacak! Pacak Ai! Kau tu betino hebat.” Nisa waktu itu langsung menyambar. Menyelipkan kata yang sampai diulang dua kali. Meyakinkan Suhaila, dirinya adalah wanita hebat. Tarikan napas Suhaila mendalam ketika teringat. Karena apa yang Nissa ungkap itu terlalu berlebih. Sampai detik ini ia masih paham. Dirinya bukanlah wanita setangguh itu.
Angan yang baru saja sampai di masa sekarang. Seketika melangkah mundur. Pembicaraan dengan wanita yang dipanggilnya Mek. Malam ini seakan terjadi, tepat di pelupuk mata. Wanita yang telah melahirkannya itu memanggil. Berucap dengan suara lirih. “Ai. Kemari sebentar ..... “
Hanya pelukan yang diberikan. Ketika Suhaila telah mendekat. Lalu suasana kembali sepi. Hari disemarakkan teriakan binatang malam. Hingga, Suhaila memilih mengakhiri kekakuan ini. Memilih memberi sapaan terlebih dahulu.
“Mek. ” Sapaan itu berhasil memanggil mata yang telah lanjut usia. Wajah yang penuh kerutan. Kini telah tenang. Terus menatap; tak mengalihkan pandangan. Menatap ibu tiga orang anak yang hari ini menjelma putri kecilnya. Seperti masa tiga puluh tahun yang lalu.
Cukup lama netra kedua kaum ibu ini bertemu. Sang wanita dewasa menatap teduh. Sementara yang lebih muda bercerita tanpa kata. Selepas diam yang tak sebentar. Suhaila bertanya tentang sejarah. Tentang bagaimana wanita tua yang memeluknya. Menjalani hari – hari, setelah Suhaila kehilangan sosok ayah. Lalu, harus menghidupi Suhaila kecil bersama tujuh saudaranya. “Apo yang Mek gawekan dulu, waktu Bapak dipanggil Allah. Padahal Ai, kamek-kamek dulu belum tau apo-apo? “
“Mek, bangkit. Kuatkan hati Mek, minta sama Allah. Idak cepat, tapi pelan-pelan. Mek bisa jait, itulah yang mek gawekan. “
“Em... Gimana Mek menjalani hari-hari sedih setelah Bapak dak katek lagi? “
“Melihat hal baik yang ada pada anak-anak Mek. “
Cerita itu sedikit dan tak semuanya, Suhaila tak melanjutkan pertanyaan tentang kejadian setelah kepergian sang ayah. Ia berusaha mengakhiri, lalu berkata dan menyemangati dirinya sendiri.
Jangan – jangan ceritaku itu penyebab Umek bermasalah lagi tensinya.
***
Untuk kali pertama setelah Bambang tiada Suhaila merasa hidup kembali. Ia sangat siap melibas jahitan yang menumpuk seperti saat menyadari profesinya itu bisa meringankan beban Bambang dalam mencari nafkah. Akan tetapi, itu terjadi tiga jam yang lalu.
“Mamak .... “ seruan beriringan dengan tangis itu pecah malam ini. Balita lima tahun itu membuat Suhaila segera berlari. Menuju kamar yang dari balik tirai terlihat hanya bisa ditempati ranjang yang tak leluasa ditempati dua orang dewasa.
Langkah Suhaila melesat, tangannya membelah tirai dan berjalan menghampiri si bungsu. Menanyai putrinya dengan menata ekspresi agar si kecil tak menanyai dia kenapa, “Adek Dina kenapa? “
“Mana Bapak? Bapak di mana Mamak? “
“Bapak sudah tidak sama kita lagi, Nak. Bapak sudah tak bisa kita temui lagi. Kita hanya bisa selalu berdoa untuk kebaikan bapak. Mungkin kita akan bertemu di dalam mimpi .”
“Tapi Dina mau bermain sama Bapak.”
“Adek Dina tidur lagi saja ya? Mamak temenin, atau ayo tidur lagi sama Mamak juga.”
“Tidak mau, Dina mau main sama Bapak.” Malam ini pelukan Suhaila sangat keras dilepaskan. Dengan suara yang lebih kencang Dina berteriak lebih kencang, “Bapak! Bapak! Ayo bermain bersama Dina, Bapak!”
Isak Suhaila tak tertahan, memecah kesunyian. Membuat Dina menoleh ke arahnya. Mengetahui tangisan tak bersuara Suhaila. Air mata yang Suhaila tetap tal bisa menghentikannya meskipun menyadari Dina kini mengetahui tangisannya.
***
Sebuah botol dengan cairan putih yang memenuhinya tercengkeram. Erat di antara kedua telapak tangan sang putri. Botol itu terus berkurang isinya. Beriringan dengan langkah Suhaila yang kini begitu dekat dengan ambang pintu kamar.
Ruangan di mana tadinya si kecil tertidur pulas. Kemudian menangis, dan menjadi kooperatif setelah susu menjadi alternatif. Perlahan balita dengan rambut agak bergelombang, diturunkan ke atas kasur. Kemudian diperintah dengan nada berbisik. “Tidur lagi ya! Kalau sudah selesai minum susunya .... ”
Anggukan pelan menjadi tanda kesepakatan. Membuat Suhaila memasang wajah tenang. Menyajikan senyuman dan tatapan keibuannya.
“Mamak tak ikut tidur sama Dina? ” Botol yang telah kosong diulurkan. Bersama dengan pertanyaan si kecil yang mulai pasrah ditimpa selimut.
Teringat susu yang membuat anak perempuan itu berhenti menangis. Suhaila tak lagi kebingungan membuat putrinya mengerti. Tentang uang dan susu yang menjadi nutrisi. “Mamak masih harus menjahit lagi. Agek duitnyo buat beli susunya Adek Dina. “
Kemudian, tangan Suhaila mulai mengusap – usap kepala Dina. Bibirnya menyenandungkan sholawat kepada Nabi, dengan suara perlahan. Tak lama, terlihat mata anak bungsunya mulai berat. Hanya dalam hitungan menit, Suhaila sudah berhasil.
Anak bungsunya berbaring tenang di atas kasur. Bunyi napasnya telah teratur. Tak lagi mencari, walaupun Suhaila telah melewati pintu.
“Jadi anak sholelah ya Sayang, doakan bapak di sana. Insya Allah doamu terkabulkan. Menjadi penolong bapakmu untuk lebih dipermudah menjalani kehidupan di akhirat.”
Ucap Suhaila sebelum ia merapatkan tirai pintu. Sampai kemudian merasa benar – benar tega, membiarkan Dina di kamar. Mengakhiri dengan tidak lagi terus memandanginya.
Kuatkan aku Tuhan... kuatkan aku agar bisa aku menjalani amanah-Mu. Dalam mengurus anak-anakku sampai akhir. Sampai masanya, mereka lepas dari tanggung jawabku.
Hati Suhaila berdoa sembari melangkah menuju tempat ia menjahit. Setelah kejadian kecil nan singkat itu. Mesin jahit menjadi hal yang berhasil membangunkan percikan nyala semangat.
“Bismillah. ” Wanita berdarah Palembang ini seketika memosisikan tubuhnya. Sampai ia dan mesin jahit yang agak berumur ini seperti dahulu lagi. Beberapa lembar kain berpola telah siap. Terletak sempurna dari jangkauan ia mulai bekerja.
Kakinya mulai memijak dinamo. Kain yang mengingatkan tentang pesanan orang pertama diambil lebih dahulu. Setelah bahan tertata kemudian diambillah selembar kertas. Lembaran dimana deadline, dan jenis pesanan tertera.
“Astaghfirullahalladzim .... Cak mana nih. Kenapa esok pagi harus sudah jadi. ” Pekik Suhaila saat mengetahui tanggal dan nama pemesannya.
Seseorang yang jika dirinya terlambat, mungkin membuat usaha ini akan kehilangan pelanggan. Lalu usahanya sepi hingga beberapa masa. Sementara Suhaila tak mau putri bungsunya terkena gizi buruk, dan dua putranya tak terjamin pendidikannya.
***