Try new experience
with our app

INSTALL

Wasiat Perempuan Bharata 

Bagian V: Tak Ada Tempat untuk Putri yang Patah Hati

AMBA:
Aku berdiri di tangga istana Panchala, merasakan langkah yang begitu berat. Andai boleh aku meminta, mungkin kematian lebih baik daripada kepedihan yang sedang aku alami.

Aku, Amba, putri Raja Kasi yang tercerabut dari rumahnya, diboyong ke istana megah Hastinapura, hanya untuk ditolak dan diabaikan. Baru saja, penolakan kesekian kalinya kualami lagi. Tak peduli betapa pun aku memohon, bersujud sambil menangis, Prabu Drupada yang konon sakti dan bijaksana tetap tak bersedia memenuhi permintaanku.

Permintaanku hanya satu. Aku ingin ada kesatria yang cukup berani untuk menerima kalung teratai yang aku bawa, pemberian Dewa Subrahma. Siapa pun yang mengenakan kalung itu akan menjalani takdir sebagai musuh kesatria paling ditakuti di Bharatawarsha: Bhisma, sang pengayom Hastinapura.

Akan tetapi, tak ada satu pun lelaki yang berani. Padahal aku hanya ingin Bhisma mati! Aku ingin ia merasakan sakit yang menghunjam berkali-kali, yang kualami sejak ia membawaku pergi dari istana ayahku.

Dengan seenaknya dia renggut kami, aku dan adik-adikku, sebagai tropi kemenangan sayembara, lalu memberikan kami pada adiknya yang tampak begitu lemah. Tak ada aura kebesaran seorang raja yang memancar dari wajah Wicitrawirya. Apakah lelaki seperti itu yang ia inginkan untuk menjadi suami kami?

Setelah kukatakan bahwa hatiku telah menjadi milik Salwa, raja muda yang juga dikalahkan Bhisma, Wicitrawirya yang lemah itu pun menolakku. Ketika Bhisma mengirimku kembali kepada kekasihku Salwa, hatiku kembali patah.

Demi harga dirinya yang telah terkoyak saat dikalahkan Bhisma, Salwa menolak untuk menikahiku. Lalu ia mengatakan, Bhismalah yang berhak atas diriku.

Ya, mungkin seharusnya begitu!

Jika saja Bhisma mau jujur kepada dirinya sendiri, ia akan mengakui bahwa ia juga menaruh hati kepadaku. Aku melihat sinar matanya saat ia menatapku. Aku melihat tangannya yang gemetar, dan merasakan kegugupannya saat ia membantuku menaiki kereta yang membawaku ke Hastinapura. 

Namun, lelaki di mana pun sama. Mereka selalu menempatkan harga dirinya terlalu tinggi. Seperti Salwa yang menolakku karena telah merasa kalah, Bhisma pun menolak menikahiku karena sumpahnya sebagai brahmacarin

Lalu, apa artinya seorang putri yang berkali-kali ditolak oleh tiga lelaki sekaligus, dilempar ke sana-kemari hanya untuk menanggung kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk? Aku tak pantas menerima penghinaan seperti ini. Aku tak rela.

Bhisma. Lelaki yang telah menghancurkan hidupku hingga luluh lantak, tak lagi memiliki makna. 

Bhisma. Kurapal namanya berulang-ulang dalam doa kepada dewa. Dalam kemarahan. Dalam dendam kesumat yang membakar jiwaku yang murka.

Tak adakah kesatria yang cukup perkasa untuk membalaskan dendamku? Demikian gentarnyakah mereka menghadapi Bhisma? Begitu lemahnyakah mereka?

Lalu siapa yang bisa menolongku? Bahkan Mahaguru Parasurama pun tak mampu menundukkan kekeraskepalaan Bhisma. Padahal Parasurama adalah gurunya!

Tidak, aku tidak menginginkan lagi pernikahan, takhta, atau cinta sepele yang penuh omong kosong itu. Aku hanya ingin Bhisma mati dalam penderitaan.

Aku hanya ingin Bhisma mati.

Mati.

Mati.

Atau lebih baik aku yang mati.

Aku, Amba, putri Raja Kasi yang tercerabut dari rumahnya, kini melangkah gontai menuju Himalaya. Kalung teratai pemberian dewa telah kutinggalkan di pohon depan istana Panchala. Aku tak peduli lagi siapa yang akan menemukannya, mengenakannya, lalu bertarung dengan lelaki yang paling kubenci di tiga dunia, Bhisma sang Dewabrata.

Akan kutempuh tapa brata paling berat, tantangan apa pun dari dewa akan kujalani, sampai kutemukan cara untuk membuat Bhisma menderita. 

Aku bersumpah demi hatiku yang hancur, jiwa yang remuk, yang dibalut tubuh yang suci. Kau akan mati di tanganku, wahai Putra Gangga!

***

 

Konon, dalam tapa brata yang dijalani Dewi Amba, Batara Siwa akhirnya turun memberikan restu. Bahwa dalam inkarnasi, Amba akan lahir kembali sebagai sosok perkasa yang akan mengalahkan Bhisma dalam pertarungan.

Amba yang telah memendam amarah demikian lama, segera menyalakan api unggun besar, lalu menceburkan diri ke dalamnya. Api berkobar semakin besar, seakan melalap habis angkara murka yang bersemayam dalam diri sang putri. 

Lalu api pun padam, menyisakan abu hitam yang perlahan ditiup Dewa Bayu hingga mayapada, membawa jiwa Amba. Siap menanti saatnya inkarnasi.