Try new experience
with our app

INSTALL

Wasiat Perempuan Bharata 

Bagian IV: Kemenangan yang Sia-sia

AMBALIKA:
Telah lama aku bertanya, untuk apa sebenarnya anak perempuan dilahirkan? Apa manfaatnya hidup di dunia? Punyakah ia makna atas hidupnya sendiri dan keputusannya sendiri? Ataukah ia hanya akan menjadi piala kemenangan para lelaki digdaya? Bagian mana dari raganya yang berharga? Kulit yang halus cemerlang? Lekuk tubuh yang memanjakan mata? Rahim yang siap meneruskan keturunan? 

Tidakkah isi kepala kami berguna? Bukankah perasaan kami juga berharga, pendapat kami juga layak didengar?

Sebagai anak bungsu, aku selalu mengikuti teladan kakak-kakakku, Yunda Amba dan Ambika. Bukan karena mereka adalah sosok perempuan sempurna, melainkan sebagai anak bungsu, adalah kelaziman tak tertulis untuk menjadikan mereka yang lebih tua sebagai panutan.

Ayahku, Raja Kasi, dianugerahi tiga anak perempuan. Tak ada putra mahkota. Demi kemuliaan keturunan, kami harus menikahi raja-raja perkasa di Tanah Bharatawarsha. Tanpa itu, diri kami tak mempunyai arti. 

Maka, sayembara berhadiah pun digelar demi memenangkan kami, satu perlombaan demi tiga putri. Wajah ayahku tampak semringah saat ia berkata akan bangga memiliki menantu kesatria-kesatria tangguh berkedudukan tinggi.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Mengapa pendapat kami tidak ditanya? Mengapa kami tidak diberi kebebasan untuk memilih calon suami kami sendiri? Mengapa kami harus menjadi ratu di negeri asing? Tidak bisakah salah satu dari kami yang duduk di takhta, mewarisi kerajaan ayahku? Tidak bisakan negeri ini dipimpin oleh seorang ratu?

Tentu saja semua itu hanya kusimpan sendiri. Mengungkapkan pendapatku bisa berakibat mati dipenggal atau dikutuk para dewa, atau paling tidak, dihukum dalam pengasingan sepanjang sisa hidup. Jadi aku diam dan menurut.

Kakak-kakakku punya masalah sendiri dengan rencana sayembara itu. Yunda Ambika tampak gelisah, aku tahu ia takut mendapatkan suami yang tak mencintainya. Aku menghiburnya, mengatakan bahwa lelaki mana pun akan bahagia beristrikan Yunda Ambika yang kecantikannya secerah matahari pagi, senyumnya membuat burung-burung di taman ingin berkicau karena terpesona, tubuh berlekuk indah, dan suara lembut mendayu. 

Aku lebih mencemaskan Yunda Amba. Malam sebelum sayembara, ia menceritakan pertemuannya dengan Raja Salwa. Wajah Yunda Amba tampak berseri-seri, tak bisa berhenti tersenyum, saat menceritakan bahwa Raja Salwa akan ikut sayembara. Mungkin itu yang disebut cinta, aku tidak tahu.

Ah, apakah ayahku tahu, bahwa Yunda Amba telah menitipkan hatinya kepada raja muda yang—menurut Yunda Amba—bermata teduh itu? Tentu saja aku berharap Raja Salwa memenangi pertandingan, dan memboyong Yunda Amba, tetapi bagaimana jika tidak?

Malam sebelum sayembara itu, kami bertiga tidur berpelukan, berusaha saling menguatkan.

Hari sayembara tiba. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika melihat puluhan raja dan kesatria dari berbagai penjuru, hadir sebagai peserta. Senangkah? Cemaskah? Apakah kemenangan dalam sayembara akan menjadi ukuran yang cukup bagi seorang lelaki untuk menikahi seorang putri? Apakah kedigdayaan cukup bagi seorang kesatria untuk mencintai dan memperlakukan calon istrinya dengan baik? Atau kemenangan itu hanyalah pertunjukan bagi egonya belaka?

Lalu kulihat sosok gagah itu datang. 

Semua yang hadir terdiam, saat Bhisma, kesatria terkuat keturunan Bharata memasuki arena. Ia memang tak lagi muda, tetapi keperkasaan dan wibawanya tak pernah luntur. Sampai saat ini belum ada yang mampu mengalahkannya. Mungkin tidak akan pernah. Kudengar, bahkan guru para dewa pun akan kesulitan menghadapinya.

Menatapnya di tengah arena, aku merasakan harapan. Jika ada lelaki bijaksana yang menghormati perempuan sekaligus menyayangi ayahnya sehingga rela kehilangan takhta dan kesenangan duniawi seperti Bhisma, apakah ia juga akan berkenan mendengarkan isi pikiran dan pendapatku? Jika iya, mungkin lelaki seperti itulah yang aku izinkan untuk mempersuntingku.

Akan tetapi, dia adalah Bhisma, yang sudah mengucap sumpah! Buat apa lagi ia ada di sini? Apakah ia melanggar sumpahnya? Haruskah aku cemas, atau justru bersorak girang?

Seperti kuduga, tak ada yang mampu mengalahkan Bhisma yang perkasa, tidak juga Raja Salwa yang datang belakangan. Padahal Salwa hanya ingin memenangkan Yunda Amba, mengapa Bhisma tidak sedikit pun melonggarkan perlawanannya?

Perih hatiku melihat Yunda Amba menangis, memohon agar Bhisma tidak membunuh Salwa. Kusaksikan Raja Salwa akhirnya melangkah mundur penuh luka. Aku menduga, luka yang menggores hati dan harga dirinya jauh lebih dalam dan menyakitkan daripada luka di tubuhnya yang bersimbah darah.

Raja Salwa berbalik pergi, tak lagi menoleh ke belakang. Aku memeluk Yunda Amba yang gemetar dan sesenggukan. Hatinya pasti hancur sekali. Aku dan Yunda Ambika berusaha memberikan harapan, paling tidak, yang akan menikahi kami bertiga adalah kesatria terkuat Hastinapura, Bhisma yang perkasa. Bukankah itu kemuliaan yang begitu besar?

Akan tetapi, cobaan kami rupanya belum selesai. Bhisma yang kami kira hendak melanggar sumpah dan menjadikan kami bertiga sebagai istri, ternyata kembali mengecewakan kami. Ia bersikukuh menjadi brahmacarin[1] yang takkan pernah kawin, dan malah menyerahkan kami bertiga kepada saudaranya yang masih muda dan lemah, Wicitrawirya, calon raja Hastinapura. 

Mimpi kami menjadi istri dari kesatria perkasa seketika runtuh. Jadi Bhisma—yang katanya bijaksana—menganggap kami sebagai apa? Sekadar piala kemenangan?

Sekali lagi, aku mempertanyakan arti keberadaan kami sebagai perempuan. Setelah dilahirkan dengan harapan yang lebih rendah daripada kelahiran anak laki-laki, dibesarkan dengan perlindungan paripurna agar tetap murni saat dewasa, kemudian setelah dewasa hanya berguna untuk menyerahkan tubuh bagi suaminya, sebagai penyedia keturunan, dan penyempurna kedudukan sang suami.

Ya, tentu saja aku tahu bahwa Wicitrawirya akan segera dinobatkan sebagai raja. Tidakkah aku senang telah menjadi pendamping seorang raja di kerajaan terbesar Dinasti Bharata? Entahlah. Lelaki itu masih begitu muda, lemah, sakit-sakitan. Apa yang bisa ia lakukan dengan tiga istri sekaligus?

Andai saja aku tahu apa yang akan terjadi di istana Hastinapura setelah kami hadir, mungkin sebaiknya aku memilih mati. Demi Yunda Amba, aku bertahan hidup. Penderitaan akibat kegagalan cintanya dengan Raja Salwa jauh lebih menyedihkan. Aku harus ada untuk memberikan penghiburan dan meringankan nestapanya.

Karena, siapa lagi yang bisa menghibur perempuan selain saudara perempuannya sendiri?

***
 

[1] Sebutan untuk orang yang belajar kepada para resi dan mengikuti cara hidup selibat kaum brahmana