Contents
Wasiat Perempuan Bharata
Bagian III: Sumpah Dewabrata
SATYAWATI:
Aku, Satyawati, putri nelayan Sungai Yamanu, telah pasrah pada takdir, ketika Dasabala, ayahku, mengajukan syarat berat kepada Prabu Sentanu ketika ia hendak melamarku.
"Paduka boleh mengambil anak hamba sebagai permaisuri dengan syarat, jika ia melahirkan anak laki-laki, anak itu harus menjadi putra mahkota, pengganti Baginda."
Jantungku berdebar keras, ketar-ketir. Sebagian kecil hatiku berharap sang Prabu akan memenuhi permintaan ayahku. Di dunia yang aku tinggali ini, perempuan seperti aku tidak akan ada artinya jika tidak terikat pada lelaki berkedudukan mulia.
Apalagi perempuan sepertiku, yang lahir dan dibesarkan di Sungai Yamuna. Bahkan, sejak lahir, aku ditakdirkan memiliki aroma tubuh yang amis serupa bangkai ikan, sehingga jangankan seorang raja, pemuda jelata pun enggan berdekatan denganku.
Harapan hadir, saat beberapa tahun yang lalu, aku bertemu Resi Palasara. Darinya, aku tahu bahwa di pembuluh darahku, mengalir darah para raja, dan aku dilahirkan dari rahim bidadari. Takdirlah yang membuatku hidup sebagai putri nelayan.
Lalu dengan kesaktiannya, ia mengubah takdirku. Dia menyembuhkanku, menghilangkan bau amis memuakkan dari kulitku. Bukan cuma itu, ia bahkan membuat tubuhku menguarkan wangi bunga, semerbak hingga ribuan depa.
Wangi tubuhku, dan kecantikanku tentu saja, telah menarik perhatian Raja Hastinapura yang lama melajang sehingga membuka peluang bagiku dan keturunanku untuk menduduki posisi agung dan mulia.
Di tanah yang dikuasai para lelaki ini, kupikir hanya dua hal milik perempuan yang akan memikat para raja, kecantikan tubuh yang paripurna dan rahim subur yang siap melahirkan penerus takhta.
Namun, ternyata itu pun belum cukup.
Mendengar permintaan ayahku, lama Raja Sentanu tercenung. Aku menangkap kegelisahan dalam sikapnya ketika ia akhirnya berkata, "Sayangnya, aku tidak dapat memenuhi syarat itu. Aku telah memiliki putra mahkota yang sempurna."
Setelah mengatakan itu, ia pun berlalu dengan lesu. Hatiku patah.
Lama ia tak datang lagi. Aku hampir kehilangan harapan ketika suatu hari seseorang datang ke pondok lusuh kami di tepi Sungai Yamuna.
Bukan, bukan Sentanu, tetapi Dewabrata, sang putra mahkota.
Aku memang telah mendengar, bahwa pemuda ini adalah sosok calon raja yang sempurna. Ia tegap, kulitnya bersih, rambutnya ikal hitam bercahaya. Matanya memancarkan keteguhan sekaligus kebijaksanaan. Karismanya memukau siapa pun yang melihatnya.
Pangeran Dewabrata juga kudengar sangat perkasa dalam bertarung. Tidak ada yang mampu mengalahkannya.
Melihatnya berdiri tegap di hadapanku, aku percaya itu benar. Ia bahkan menundukkan kepalanya saat menyapaku, tanda bahwa ia menghargaiku. Sungguh seorang calon raja yang rendah hati.
Aku sadar, Sentanu tidak punya alasan untuk mengganti putra mahkota sesempurna itu dengan anak yang lahir dari putri nelayan.
Jadi, untuk apa pemuda ini datang?
"Aku datang demi ayahku, Dewi Satyawati."
"Aku bukan seorang dewi, aku hanya perempuan biasa."
Pemuda itu melempar senyum. Demi Indra Penguasa Swarga, bahkan senyumnya pun menggetarkan.
"Bagiku, perempuan sepertimu, yang mampu meluluhkan hati ayahku yang lama nelangsa ditinggal ibuku, tentulah seorang keturunan apsari. Dan aku menghormatimu."
Perempuan sesungguhnya mudah sekali ditaklukkan. Jika ia diperlakukan dengan hormat, ia pun akan melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa membenci pemuda ini, walau ia menjadi penghalang tujuanku.
"Aku ingin membahagiakan ayahku. Izinkanlah ia menikahimu, Dewi."
"Aku dan ayahku telah mengajukan syarat, Pangeran."
"Aku tahu, dan aku bersedia menjamin syarat itu terpenuhi."
Lalu ia mengucap sumpah bahwa ia akan melepas takhta dan anak laki-laki yang lahir dari rahimku, akan dijadikan putra mahkota pengganti Prabu Sentanu.
Bukan hanya itu. Demi memastikan tak ada usaha perebutan kekuasaan dan pelanggaran janji, Dewabrata bersumpah takkan pernah menikah dan memiliki keturunan, serta akan berjuang demi kebahagiaan penerus ayahnya dari rahimku.
"Demi nama ayahku, aku—Dewabrata putra Gangga, sang Bharatawansi—bersumpah akan hidup membujang selamanya dan takkan pernah duduk di atas takhta Hastinapura. Dewalah jadi saksiku!"
Sejak itu, pemuda gagah itu dipanggil Bhisma.
Tujuanku tercapai. Kutatap mata pemuda itu dalam-dalam. Aku tahu ia memiliki ilmu dan kebijaksanaan yang mumpuni, tetapi apakah ia bisa membaca masa lalu?
Akankah ia mengetahui juga rahasia masa laluku bersama Resi Palasara? Akankah ia tahu, bahwa Palasara bukan sekadar seorang resi yang mengobatiku, tetapi juga pernah menjadi suamiku?
Apakah ia juga bisa membaca masa depan? Tahukah ia bahwa sumpahnya tidak hanya akan membawa kejayaan, tetapi mungkin juga keruntuhan Hastinapura?