Try new experience
with our app

INSTALL

My Husband My Enemy 

1. Terbangun di Tempat Asing

Gadis itu menggeliat dari balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Suara dering ponsel membuat gadis itu kesal karena tidur nyenyaknya terganggu. Tangannya bergerak, menggapai-gapai bantal, mencari benda yang terus berteriak nyaring seolah memanggil-manggil dirinya.

"Aihs, sialan! Gue masih ngantuk!" decak gadis itu kesal. Matanya masih sangat berat dan ponselnya yang terus berbunyi juga tak kunjung dia dapatkan.

Gadis dengan potongan rambut sebahu itu akhirnya dengan terpaksa bangun. Mengucek matanya agar penglihatannya bisa menyesuaikan cahaya. Begitu akhirnya dia menemukan handphone-nya di bawah guling, dia langsung menyambar benda itu.

Kontak bernama 'Ibu Negara' tertera di layar. Masih setengah sadar, dia hanya menggeser tombol hijau dan kembali merebahkan tubuh sambil meletakkan ponselnya di telinga. Namun ....

"ANDIN!"

Gadis yang dipanggil Andin itu seketika melemparkan ponselnya. Terkejut mendengar teriakkan toa ibunya di seberang sana.

"PULANG SEKARANG JUGA!" jerit wanita paruh baya itu. Meski ponsel dan telinga Andin sudah berjarak, tetap saja suara ibunya masih terdengar begitu nyaring. Tanpa harus menyalakan loud speaker saja suara ibunya sudah melebihi kapasitas itu.

Kesal, Andin mengambil ponselnya dan balik berteriak, "AKU DI KAMAR! PULANG KE MANA?" pekiknya, mengerahkan emosi ke dalam suaranya.

"Kamar? Kamar mana? Motel maksud kamu?!"

Andin mengerutkan kening mendengar ucapan ibunya tersebut. "Mama ngigau? Motel apa, sih? Aku di kamar!"

"Mama sekarang ada di kamar kamu dan kamu enggak ada, Andin!" Lagi-lagi, ibunya berteriak. Astaga, Andin rasa dulu ibunya adalah seorang danton Paskibra. Suaranya lantang sekali.

Andin menyisir pandang ke sekitar. Kepalanya terasa berat dan pusing, tetapi dia berusaha fokus. Beberapa saat kemudian, Andin sadar bahwa dia memang bukan di kamarnya. Meski sama-sama kamar, tetapi tempat itu begitu asing.

"Oh, kayaknya Andin ada di rumah Vega, deh," katanya kemudian. Meski tidak yakin, setidaknya Andin harus meyakinkan ibunya dulu sebelum wanita paruh baya itu berpikir yang tidak-tidak.

"Kayaknya?!" Namun, yeah, Andin salah berbicara. Ibunya terlalu cerdas dan kritis.

"Mama! Mama bisa enggak, sih, ngomongnya jangan pakai toa! Andin enggak mau budek di usia mudaaa!"

"Kamu juga teriak ke Mama, Andin!" balas ibunya, masih menggunakan suara yang sama kerasnya. "Lagian ibu mana yang enggak akan cemas kalau anak gadisnya enggak pulang semalaman, huh? Enggak izin enggak apa, tiba-tiba hilang!"

Andin mengacak rambutnya. Pusing sekali sampai untuk duduk selama beberapa waktu saja begitu sulit untuknya. "Perasaan Andin izin, deh. Semalam kan bilang kalau aku mau ketemu Vega sama Nita."

"Tapi kamu enggak izin mau nginep! Pokoknya Mama enggak mau tahu, kamu harus pulang sebelum jam sepuluh. Paham?"

Andin lekas melihat jam di pojok kiri layar ponsel. Kemudian berdecak sebal. "Ma! Sekarang aja jam delapan. Belum Andin harus siap-siap, belum Jakarta macetnya minta ampun, terus ...."

"Enggak ada alasan! Telat satu menit, kamu kerja satu minggu tanpa dibayar!" potong ibunya tanpa ampun.

"Mama!" jerit Andin memprotes.

"Makanya, cepet ..."

Ceklek. Pintu tiba-tiba saja terbuka. Lalu sebuah suara menyapa Andin, bertepatan dengan ibunya yang masih berbicara.

"Kamu sudah bangun?"

Andin menoleh terkejut mendengar suara itu. Lebih terkejut saat melihat wajah pria yang berdiri di belakangnya. "ALDEBARAN?!" pekik Andin. Matanya membulat, mulutnya menganga, saking tak percaya bahwa di pagi-pagi buta begini, dia melihat Aldebaran, dia dan lelaki itu ada di sebuah kamar? Rumah? Apartemen? Entalah! Andin pusing.

Bagaimana bisa ....

"Andin, siapa itu? Siapa Aldebaran? Kamu tidur sama cowok? Jawab Mama, Andin!" Andin lupa bahwa panggilan masih tersambung dengan ibunya.

Andin benar-benar terkejut hingga tak bisa berkata-kata lagi. "Ma, Andin tutup teleponnya dulu, ya," katanya kemudian.

Tanpa mendengarkan ucapan ibunya lagi, Andin langsung menutup sambungan dan mematikan ponselnya. Andin yakin bahwa ibunya sekarang sedang mengoceh dan berusaha terus menghubunginya. Tapi, ada yang lebih mendesak sekarang. Kenapa Aldebaran, orang yang paling dia benci di seluruh jagat raya, ada di hadapannya?

"Lo!" pekik Andin, menunjuk Aldebaran dengan kasar. Begitu sebuah pikiran melintas di benaknya, Andin dengan segera menyilangkan tangan di dada, seolah takut Aldebaran akan macam-macam. "Lo apain gue?" jerit Andin dengan wajah shock berlebihan.

Berbeda dengan Andin, Aldebaran terlihat sangat santai. Pria itu hanya menggeleng pelan melihat penampilan Andin yang kacau serta ekspresinya yang berlebihan.

"Kamu mikirin apa? Kamu kira saya macem-macemin kamu?" tanya Aldebaran. Andin mengangguk polos, membuat Aldebaran terkekeh tak habis pikir. "Saya masih normal, kenapa saya harus macem-macemin kamu?"

Andin terkejut mendengar jawaban tersebut dari mulut Aldebaran. Tersinggung. Memangnya sejelek apa dia sampai jika Aldebaran tertarik padanya berarti dia tidak normal?

Tunggu. Bukankah seharusnya dia merasa lega jika memang Aldebaran tidak melakukan apa-apa? Kenapa dia malah tersinggung seperti ini?

Andin menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran randomnya yang mengganggu. "Kata-kata lo seakan gue ini apaan! Sok ganteng banget jadi cowok!" gerutu Andin, jadi kesal di pagi-pagi begini.

Aldebaran hanya menghela napas sambil mensedekapkan tangan di dada. "Kamu tahu seharusnya kata apa yang kamu ucapkan ke saya setelah apa yang saya lakukan?"

Andin mengerutkan kening dengan bingung. "Apa?"

"Kamu enggak ingat kejadian semalam?"

Andin diam. Merenung. Memikirkan hal apa yang terjadi. Yang Andin ingat, semalam Vega mengajaknya bertemu karena Nita katanya sedang patah hati. Setelah ngobrol di kafe dan keadaan Nita malah semakin mengenaskan, Andin memberi usul untuk pergi ke kelab agar Nita bisa melupakan sejenak masalahnya jika bersenang-senang. Mereka minum alkohol. Namun, Andin seketika kalap. Dia juga sadar bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Sudah hampir setahun lulus kuliah, melamar kerja ke sana ke mari dan tidak sekalipun diterima, hidupnya menyedihkan karena harus terus bertopang pada ibunya yang membuka toko roti. Satu-satunya tempat yang bisa dia tuju untuk bekerja hanya toko ibunya. Belum lagi dengan kisah cintanya yang kandas saat sedang sayang-sayangnya. Sudah dua tahun dan Andin belum bisa move on.

Andin frustrasi dengan keadaan itu. Dia menenggak entah berapa banyak alkohol. Yang dia ingat, Vega menghubungi pacarnya dan mereka pulang bersama. Lalu, Nita ... ya, Andin ingat akhirnya! Nita yang memanggil Aldebaran karena pria itu adalah sepupunya. Tapi sekarang, ke mana Nita?

"Mana Nita?" tanya Andin, menatap Aldebaran. "Gue inget semalam lo datang buat jemput Nita."

"Nita sudah saya antar pulang ke rumah. Kamu enggak dijemput siapa pun, saya kasihan, daripada kamu diculik akhirnya saya bersedia mengantar kamu. Tapi saya enggak tahu alamat kamu, Vega dan Nita mabuk, hape kamu juga enggak kamu kasih. Pas saya minta, malah marah-marah. Nyusahin banget."

Andin merengut mendengar penjelasan Aldebaran. "Terus, ini di mana?" Andin tanya.

"Apartemen saya."

Andin hanya ber-oh-ria, masih dengan wajah sok juteknya. Namun, dalam sepersekian detik Andin kehilangan ekspresi tersebut. Rasa mual yang hebat membuat dirinya menutup mulut. Isi dalam perutnya bergejolak seperti gunung merapi bersama lava yang siap menyembur.

Aldebaran yang sadar akan hal itu seketika melebarkan pupil mata. "Jangan muntah di si--ni."

Aldebaran terlambat, sebab Andin sudah terlanjur menumpahkan isi perut di kamarnya, di hadapannya, dan sebagian muntahan itu mengenai kasurnya.


***