Contents
Jerat Serpihan Surga
Kesalahan Di Sudut Palembang
Sesak, berat, sekaligus memenuhi dada. Rasa itu ada bersama dari sudut kelopak mata mengalir air mata wanita yang usai saja tangannya menjadi rebutan. Dia diam tak banyak berkata sampai dua anak perempuan berusia lima tahunan menjadi yang terakhir mencium punggung tangannya.
“Terima kasih, Mamak. Kami suka baju ini. Kami bisa bersekolah akhirnya.”
Dia hanya tersenyum, mengiringi dua anak perempuan itu dengan tatapan penuh rasa sayangnya. Kemudian membalas menggenggam erat, telapak tangan lelaki tampan yang sejak tadi tak melepaskannya. Dalam genggaman yang mengajak perasaan bersahabat, ia menatap lurus ke depan. Tak beralih, seperti sesuatu yang indah sedang terjadi dan tak layak untuk dilewatkan.
Ringkih, jari – jari yang seolah kehilangan lemak, mengusap pelan area perutnya. Sesekali mulutnya mengaduh. Kemudian gigi yang menyeringai itu menampilkan serta gerahamnya. Membuat mata perempuan di samping tempat tidur itu berkaca-kaca. Namun, sepenuh tenaga mencegah terjunnya sesuatu. Butiran bening yang akan membuat pipi membasah.
“Istriku ... Kalau suatu waktu Allah memanggil Mas Bambang. Janji ya, rajin - rajin doakan Mas Bambang. “
Lelaki yang tengah terbujur itu berbisik. Beberapa menit, dan akhirnya wanita terdekat itu memahami isyarat yang tersampaikan. Wanita itu semakin tak berdaya. Menyembunyikan perasaan yang dalam waktu singkat telah luluh lantah . Air matanya mengalir, meluncur dan mendarat sempurna di pipi sang suami.
“Ai janji, Mas. Ai, Janji.” Terasa tertahan untuk kalimat itu terucap. Berhasil terucap berulang, ketika ia memalingkan pandangannya. Selepasnya, digenggam erat lengan yang kulitnya terasa lengket. Ia berusaha tersenyum, lalu menelusur dalam mata lelaki tak berdaya itu, “Tapi jangan bicara begitu, Mas. Ai janji, akan berusaha lebih lagi. Mas harus lekas sembuh. Mas harus bisa terus bersama-sama Ai. Kita berdua akan membesarkan, dan menikahkan anak-anak kita. “
“Apa ini?” Terdengar melayang-layang, suara itu diucapkan. Tepat ketika air mata menetes.
“Jangan menangis, kamu jelek kalau kamu menangis. Mas tidak suka itu.” Ucap Bambang sambil mengernyitkan dahinya.
Beriringan pengucapan janji yang dikatakan dengan amat keberatan. Bambang dengan tangan yang jari – jarinya bergetar tanpa terkecuali. Berjuang, bergerak menjangkau wajah basah wanita di sebelahnya. Seperti menyadari laki – laki yang tengah dihajar ganasnya kanker hati itu tak menginginkannya menangis, ia mengusap kasar air matanya.
“Huuh ... Huh. Hu- uh ....”
Napas kasar dan tersendat – sendat terdengar dari lelaki yang ada di hadapannya. Deg ... Bergetar ia, dengan air mata yang belum sepenuhnya berhasil di usap telapak tangannya. Tangan lelaki itu terlihat sibuk memegangi dadanya sendiri.
***
Ekspresi Bambang mengalihkan segalanya, pipi Suhaila tetap basah akhirnya. Dia memilih ikut mengusap – usap, dada suaminya. Di sampingnya si kecil terus menggoyang – goyang kan tangannya.
“Bapak, kenapa, Mamak?” Anak perempuan itu terus saja bertanya dan bertambah berisik.
“Kenapa, Bapak, Mamak?” Sahut anak laki – laki yang duduk agak jauh. Tak mendapat jawaban, tetapi ia tak putus asa untuk berbicara lagi, “Bilang ke Dana, Mamak. Bilang apa yang bisa Dana bantu.”
Suara itu terdengar jelas sekali, tapi Suhaila tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Suhaila seperti paham anak – anaknya panik melihat kondisi Bambang. Jangankan anak – anak, Suhaila sendiri pikirannya hanya terisi kalimat serupa yang ia ulang – ulang.
“Ya Allah .... Aku ikhlas menjalani peranku, melakukan semua hal sendirian, aku ikhlas sudah seperti janda meski masih menjadi istri mas Bambang. Tapi tolong jangan seluruh kebahagiaanku kau ambil. Beri mas Bambang kesehatan, jika tidak bisa seperti semula. Izinkan ia tersenyum untuk hadiah rasa lelahku, untuk pengorbananku seusai bertaruh untuk kehidupan keluarga ini. Ya Allah ....”
“Mamak .... Bapak, Mamak. Bapak!” Teriak Dana, bibirnya bergetar, tangannya sibuk entah akan mengapakan kaki bapaknya.
Sesak bertambah menjadi – jadi, saat Dana berteriak ke arahnya. Suhaila ingin menangis saja, tetapi di depannya dia melihat Dana. Dana yang terlihat mengupayakan hal yang tak sewajarnya dilakukan anak berusia sepuluh tahun. Akan pantas disebut ibu macam apa dirinya jika ia tak bisa seperti Dana yang masih berusaha melakukan banyak hal untuk bapaknya.
“Mas .... Istighfar, Mas!” Suhaila menyahut, menggenggam erat telapak tangan Bambang. Sekali lagi ia meminta, “Istighfar, Mas Bambang ....”.
Waktu belum bergerak banyak. Kelopak mata Bambang perlahan mulai mengatup. Napasnya melamban. Membuat Suhaila langsung berteriak kecil. Berulang-ulang di dekat telinga Bambang, “La Ilaha Ilallah.“
“Laa... ilaaha... il... lallah. “
Terjeda-jeda. Kalimat ini berhasil diikuti Bambang beriringan dengan mata yang kini merapat. Tidak ada lagi perut yang bergerak naik, dan turun. Tiada lagi bunyi napas menerobos lubang hidung maupun mulut. Badan lebar yang kehilangan berat badan itu, tidak lagi menampilkan tanda – tanda pergerakan.
“Mamak, kenapa Bapak tak lagi menuruti perintah Mamak?”
“Mamak, kenapa nangis?”
“Mamak.”
Si kecil terus bertanya, sementara Dana entah kenapa dia tak lagi cerewet seperti sebelumnya. Suhaila, tak tahu apa yang baru saja terjadi di antara keluarganya. Hanya satu pertanyaan terlintas di otaknya, Kenapa banyak orang masuk rumahnya tanpa permisi. Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Tajam Dana menatap apa yang terjadi di depannya. Di sudut ruangan ia sibuk entah akan berbuat apa, walaupun dari tadi ia sama sekali tak melakukan apapun. Suhaila terduduk dan menangis tanpa berbuat apapun, Dina ikut menangis. Tangis saudari satu – satunya semakin kencang, tidak ada siapa pun yang bisa menenangkannya.
Apa yang bisa kulakukan?
Berdiri Dana setelah cukup lama duduk di belakang Suhaila tanpa bisa berbuat apa – apa. Dana melangkah keluar sampai akhirnya ia menatap tulisan di sudut kanan atas pintu rumahnya.
[Tamu harap lapor RT]
RT itu singkatan dari rukun tetangga. Jika di suatu lingkungan terjadi sesuatu. Maka harus-
Dana menghentikan lamunannya. Ia berlari ke luar rumah. Agak deg – degan tetapi untuk pertama kali, Dana mengetuk pintu rumah Pak RT.
“Pak Rahmat, tolong.” Dana langsung mengucap kalimat itu. Pak RT baru saja menjawab salamnya. Dana mengucapkan kalimat lagi saat pak RT baru mulai bersiap mendengar ceritanya, “Bapak meninggal di rumah.”
“Kapan? Kamu sungguhan Dana. Terus di rumah sedang sama siapa, Kamu?”
Dana hanya mengangguk, kemudian berpamit. Rahmat langsung mengajak Dana menghubungi tokoh agama di pemukiman ini. Kemudian menaiki motor, akhirnya bertiga sampai di rumah Suhaila.
“Mamak ... Mamak kenapa?”
“Jangan ikut – ikutan seperti bapak, Mamak!”
Dana menjerit kuat, Suhaila di rangkul dua orang perempuan. Ia tak menyahut meski Dana telah berteriak sekencang – kencangnya.
***
Sejak kapan Dana ada di dekatku. Tadi kucari dia tidak ada di mana – mana. Kenapa anak itu yang jadi menatapku begitu?
Senyum Dana terpancar saat Suhaila menatapnya. Dana langsung mendekap erat Suhaila, sangat berbeda dengan hari – hari biasanya. Tanpa berkata apa – apa, Suhaila membalas erat pelukan itu. Tanpa perlu mengatakannya pada siapa pun, pelukan sangat – sangat ia perlukan.
“Mamak jangan sedih, jangan seperti tadi.” Di bahu Suhaila Dana menangis sesenggukan. Wajahnya semakin dalam terbenam, “Dana tidak mau, Mamak seperti Bapak.”
“Iya, Mamak tidak apa – apa, Kok. Dana jangan nangis lagi, ya ...” Dana sudah mau melonggarkan pelukannya setelah waktu yang tak sebentar. Dia memandangi Suhaila cukup lama. Tak mau jika ketahuan masih rapuh, Suhaila kembali berbicara, “Dari pada nangis, ayo ganti baju, ambil wudu, ambil Al Quran, baca doa buat Bapak. Biar Bapak tenang di Surga, ya!”
Dana pergi, setelah mendengar ucapan Suhaila. Meninggalkan Suhaila yang merasakan luka di dalam dadanya melebar ketika putra ke duanya itu pergi menuruti dirinya. Melangkah dan menyembunyikan air mata darinya.
Maafkan Mamak. Mamak hanya bisa seperti ini. Mamak tidak bisa menenangkan kamu, Dana. Karena jika Mamak memaksa, bukannya Mamak yang menenangkan kamu. Malahan tangisan Mamak yang pasti akan membuat beban pikiran kamu bertambah.
“Ai ... Ya Allah .... Kapan meninggalnya?”
Seorang wanita berteriak, membangunkan Suhaila dari angannya
“Baru saja, Kak Yu,” Jawab Suhaila yang memilih pasrah saat wanita itu mendekapnya erat. Menepuk punggung Suhaila dengan pelan dan berkali – kali. Membisikkan sesuatu yang sama dan berulang – ulang.
“Sabar ya, Ai ... “
“Biar diurus wong lanang, Ai. Raimu pucat caknyo. Cubo kau tu keluar dulu dari bilik.” Perempuan itu memberi masukan.
Untuk ke dua kalinya Suhaila tidak bisa ke luar kamar sendirian. Untuk ke dua kalinya ia tak bisa berbuat apa – apa ketika si bungsu menangis. Sesosok wanita sepuh datang dengan anak lelaki berperawakan tinggi tak begitu berisi.
“Bu .... Mas Bambang nda’ katek lagi.”
Di bahu yang sudah tak setegar beberapa puluh tahun lalu itu Suhaila kembali menumpahkan air matanya, menyandarkan kepalanya. Membenamkan wajahnya di sana, cukup lama sampai isak anak lelaki di dekatnya mengingatkan Suhaila.
Suhaila tak berkata apa – apa lagi. Tidak juga melihat seperti apa wajah anak laki – laki yang sesenggukan itu. Dia mendekap juga menyembunyikan wajahnya. Membenamkannya di pundak yang belum kokoh itu. Menangis diam – diam sambil mengusap – usap kepala si anak lelaki.
Maafkan Mamak, Nak. Hari ini kamu menangis. Sementara, Mamak tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk hal kecil. Menahan air mata, agar kamu tak semakin terluka ketika kematian bapak terjadi. Seperti saat ini.
****
Belum hilang bekas air mata yang membasahi pipi. Belum mereda sesak di dada Suhaila dari tangis yang tertahan. Entah sejak kapan ruang tamunya menjadi sepi. Suhaila sibuk mencari – cari tetapi tak ada apa – apa yang bisa ia temui. Pikirannya sibuk sekarang.
Kemana semua orang? Kenapa sunyi dalam waktu secepat ini?
“Kenapa? Air mata untuk apa ini? ”
Di ruangan yang masih sama, ruang tamu yang tadi terasa berjubel. Suara itu terdengar nyata. Suara yang masih belum berpulang dari ingatan.
“Mas ... Ka- Ka- Kamu? ”
Terputus – putus, kalimat yang terdiri dari dua kata itu terucap. Sosok yang mengundang air mata, malahan hanya tersenyum saja. Lelaki itu tak banyak berkata, membuat Suhaila jadi menyiapkan banyak cara.
“Bukannya Mas Bambang sudah meninggal?”
“Meninggal? Kapan? ”
“Jadi ... Mas Bambang?”
Suhaila memilih menyisakan tanda tanya. Memasang strategi yang diyakini akan membuat semuanya segera terang. Tetapi Sang imam, lagi – lagi memilih tersenyum. Mengangguk kecil, membuat Suhaila merasa janggal dengan apa yang menghantui pikirannya.
Jadi siapa yang salah? Aku yang terlalu takut kehilanganmu atau aku yang salah memahami banyak hal tentangmu?