Try new experience
with our app

INSTALL

Wasiat Perempuan Bharata 

Bagian II Kutukan bagi Sang Dewi

DEWI Gangga:

Pernahkah manusia berpikir, bahwa setiap tindakannya akan berujung pada akibat, yang bisa jadi indah seperti yang direncanakan, tetapi sering sekali juga fatal dan menyengsarakan? Ibarat batang kayu yang menjadi sasaran anak panah, goresan dalam yang dideritanya takkan pernah kembali pulih.

Apakah manusia berpikir bahwa hanya dengan meminta maaf, memohon ampun, meminta dewa menghapus dosa, lalu jiwanya akan putih seperti sedia kala? Hingga lupa bahwa setiap perbuatan akan ada balasannya? Sungguh pemikiran yang dangkal.

Bahkan aku, Gangga, yang ditugasi untuk memberkati Bumi dengan kesuburan, serta menyirami dosa manusia hingga larut, hanyut tanpa bekas pun harus mengalami kutukan hanya karena angin menyibakkan kain pelindung tubuhku sehingga cahaya dari kulitku membuat silau dan  menggoyahkan hasrat para dewata.

Mereka lalu mengusirku dari mayapada1, dan menggariskan takdir, bahwa suatu hari, aku akan mengawini seorang manusia berdarah kesatria.

Pengasingan mempertemukan aku dengan jiwa delapan wasu (manusia abadi setengah dewa, pengendali unsur alam), yang juga dihukum karena kecerobohan mereka. Mereka mengganggu Nandini, sapi betina yang bertuah milik Resi Wasista, sehingga dikutuk untuk hidup sebagai manusia biasa hingga ajal menjemput.

Demi memutus kutukan, delapan wasu memintaku untuk menyimpan jiwa mereka, lalu melahirkannya ke dunia, hanya untuk mengakhiri hidup mereka, satu per satu. Mereka tahu, betapa beratnya ujian bagi manusia yang fana.

Kecuali Prabhasa. Wasu penguasa langit itu, sebagai pelaku utama, mendapat kutukan yang terberat. Dia akan hidup panjang sebagai manusia. Semata karena ia memenuhi keinginan istrinya untuk membawa lari Nandini.

Walau latar kami berbeda, kutukan yang mereka alami dan kutukanku sendiri punya inti masalah yang sama.

Aku dihukum karena keindahan tubuhku yang tersingkap, mengganggu pandangan para dewata, karena aku perempuan. Mereka, para wasu, dikutuk, juga karena bujukan perempuan.

Itulah sebabnya kutampakkan wujudku seperti manusia saat Raja Sentanu—penguasa Hastinapura, generasi ketiga keturunan Raja Bharata—melewati Sungai Gangga tempatku berada. Sang raja adalah sarana bagiku untuk memutus kutukan para dewa. Aku akan melahirkan kembali para wasu, lewat anak-anakku dengan Sentanu.

Tentu saja itu berhasil. Sebagai dewi perlambang kesuburan, kecantikanku melampaui semua perempuan di madyapada. Aku memiliki semua kekuatan utama perempuan: keanggunan, kelembutan, dan cinta.

Lalu kukatakan kepadanya, “Aku bersedia engkau nikahi, wahai Raja, asalkan kau memenuhi permintaanku. Jangan tanya asal-usulku. Jangan pertanyakan setiap perbuatanku. Jangan buat aku bersedih. Sekali saja kau melanggarnya, aku akan pergi.”

Sentanu, seperti banyak manusia yang diliputi perasaan mabuk asmara dan kehilangan logika, tak menolak apa pun yang aku minta, walaupun itu terdengar begitu tak masuk akal. Raja muda yang naif itu memujaku selayaknya seorang ratu, menempatkan diriku di atas takhta indah, memanjakanku, menciptakan surga berselimut kemewahan istana.

Sampai suatu hari, ia mulai mempertanyakan jati diriku, dan meragukan moral dari perbuatanku. Aku melahirkan bayi laki-laki, lalu tanpa rasa bersalah, aku menenggelamkan bayi merah itu ke dalam Sungai Gangga. Begitu saja. Setelah melakukannya, aku kembali ke istana seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.

Kulihat mata suamiku yang gelisah ingin bertanya. Tubuhnya gemetar, kuyakin itu karena keheranan dan kemarahan, tetapi demi cinta, ia tak melanggar janjinya. Ia tak berkata apa pun.

Sikapku sebagai istri yang lembut kepadanya, tugasku untuk tampil sebagai ratu yang anggun dan memesona yang tidak pernah berubah, bukankah semua itu sudah cukup?

Sentanu masih mampu menahan diri dan tidak bertanya.

Juga saat kubunuh bayi kedua. Lalu ketiga.

Keempat. Kelima.

Kulihat Sentanu semakin menderita. Ia tentu mengharapkan kelangsungan takhta lewat keturunannya. Sesungguhnya aku pun demikian. Ibu macam apa yang menenggelamkan bayinya tak lama setelah ia lahir?

Akan tetapi, apa yang bisa kulakukan? Aku terikat janji! Aku harus memenuhi takdir yang telah digariskan para dewa. Dengan membunuh ketujuh bayi titisan para wasu itu, kutukan yang kami tanggung akan berakhir. Jadi ketika bayi kedelapan lahir, sesungguhnya aku bersyukur. Sudah saatnya semua kepedihan ini memiliki ujung.

Aku sedang menggendong bayi kedelapan, hendak keluar istana, saat Sentanu menutup jalanku.

“Cukup! Aku tidak tahan lagi! Manusia macam apa kau ini? Kenapa kaubunuh anak-anakku? Anak-anakmu!”

Aku menatap wajah suamiku yang memerah oleh amarah. Hatiku terbelah. Aku lega karena akhirnya kutukanku akan berakhir, sekaligus sedih teramat sangat karena akan kutinggalkan lelaki yang mendampingiku bertahun-tahun, dan melimpahiku dengan cinta.

“Duhai, rajaku yang penuh kasih, kau telah melanggar janjimu. Paduka tentu tahu apa akibatnya.”

Tubuh lelaki di hadapanku itu luruh ke lantai. Aku pun berlutut bersamanya. Tangis mendera, seakan semua ganjalan yang berdua kami pendam, tumpah begitu saja.

“Katakan kepadaku, istriku. Sebelum aku kehilanganmu, jelaskan semuanya. Siapakah engkau, dan mengapa kau melakukan ini semua?”

Kubelai pipi lelaki gagah yang basah oleh air mata. “Aku bukan manusia fana, Paduka.”

Lalu kuceritakan semuanya. Tentang kutukan yang memaksaku turun ke madyapada, tentang para wasu, dan bagaimana semua itu harus diakhiri.

“Jadi kau harus pergi? Tidak bisakah kautinggalkan putraku di sini? Kerajaan ini butuh putra mahkota.”

Kalimat itu ia ucapkan dengan nada sendu karena demikian rindunya ia akan kehadiran calon penggantinya.

“Tidak, Paduka. Aku tidak akan membunuh bayi ini, tetapi aku harus membawanya pergi. Ia ditakdirkan untuk hidup lebih lama, sebagai titisan Prabhasa sang wasu langit, dan meraih kemuliaan dalam bimbingan para dewa.”

Sentanu tak bisa lagi mencegahku. Sebelum aku pergi, kuberikan ciuman terakhirku, dan kubisikkan kata-kata penghiburan di telinganya.

“Tentang putra mahkota, dewa akan memberikannya kepadamu. Suatu hari nanti.”

Ia memandangku tak mengerti, kenelangsaan menguasai tubuh mudanya. Ia terus tergugu, bahkan tak mampu lagi mencegahku pergi.

Bersama bayi merah tampan di pelukanku, aku pun melangkah keluar istana.

Namun, sesungguhnya, aku tak benar-benar pergi meninggalkan suamiku. Aku selalu mengawasinya dari mayapada. Aku tahu Baginda Raja remuk perasaannya, hilang semangat duniawinya, runtuh jiwanya. Pedih hatiku menyaksikan cahaya yang mendadak hilang dari pancaran matanya.

Di tepian Sungai Gangga, dengan petunjuk dan perlindungan dewa, serta bimbingan para brahmaresi, aku mengajari anak itu seni perang, mewariskan kesaktian dan kebijaksanaan setingkat para resi tertinggi, Wasista, Parasurama, dan Mahaguru Sukrasarya.

Pada purnama kedua ratus sejak aku meninggalkan istana, anakku telah menguasai teknik memanah dan bertarung, ilmu dan kesenian, hingga filsafat kehidupan. Sudah saatnya kukembalikan anakku kepada ayahnya, agar menjadi penerang bagi generasi penerus Hastinapura.

Sudah saatnya Raja Sentanu, kekasihku tercinta, memperoleh kembali harapan hidup dan kebahagiaannya, lewat sosok putra mahkota yang sempurna.

Anak itu akan tumbuh menjadi pemanah dan petarung paling tangguh, pahlawan terbesar, dan negarawan terbaik di tanah Kuru. Ia kuberi nama Dewabrata.

***

1 Sebutan untuk dunia yang ditempati para dewa dalam mitologi Jawa, salah satu dari Tribuana (tiga dunia). Dua dunia lainnya adalah madyapada (dunia manusia) dan arcapada (dunia bawah atau neraka). Aku harus memutus rantai kutukan ini dengan caraku sebagai perempuan.