Try new experience
with our app

INSTALL

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) 

6. Perpisahan

Michelle mendengar dengan jelas apa yang baru saja Aldino katakan. Namun entah bagaimana, otaknya mendadak tumpul, tidak bisa mencerna apa yang Aldino katakan. Dia terlalu terkejut hingga tak bisa berkata-kata.


"Chelle, lo enggak apa-apa, kan? Lo enggak marah gue confess kayak gini?" Aldino menatap Michelle khawatir, sebab gadis itu sama sekali tidak memberikan jawaban setelah pengakuan yang dia lakukan beberapa saat lalu.


Michelle menggeleng pelan. "Gua cuma terlalu kaget, Al," balas Michelle lugas. "Maksud gue, sampai beberapa saat lalu gue masih mikir kalau hubungan kita bener-bener murni sahabatan. Gue sama sekali enggak nyangka kalau apa yang lo lakuin selama ini buat gue semata-mata karena hal ini."


"Enggak, Chelle," pungkas Aldino. Tidak mau Michelle salah paham dengan niatnya. "Apa yang selama ini gue lakuin, gue lakuin dengan tulus. Gue cuma mau selalu ada di sisi lo, bareng-bareng sama lo."


Michelle terdiam menunduk. Berpikir mengenai semuanya. Setelah Rifki yang secara tiba-tiba kembali hadir di hidupnya, kini dia juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa Aldino menyimpan rasa padanya. Hari ini sungguh terlalu sulit untuk Michelle.


"Sorry. Mungkin seharusnya gue ngomong kayak gini di waktu yang lain," ucap Aldino menyesal.


Michelle menarik napas panjang. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja sekarang. "Al, lo tahu selama ini gue bener-bener nganggap lo sebagai temen. Gue enggak pernah kepikiran kalau pada akhirnya hubungan kita bakal menjurus ke arah romantis."


Mata Aldino terlihat sendu mendengar jawaban Michelle. "Apa lo harus nolak gue secepet itu, sama kayak waktu dulu?" tanya Aldino, terdengar begitu lirih. "Apa gue enggak layak untuk dipertimbangkan?"


Michelle menggeleng segera. "Bukan itu, Al ...."


"Kalau begitu, kenapa lo enggak mencoba untuk mikirin dulu semuanya?" potong Aldino sebelum Michelle menyelesaikan ucapannya. Nada suaranya terdengar begitu putus asa, membuat Michelle merasa semakin ditikam rasa bersalah. "Gue enggak buru-buru. Gue bisa nunggu lo seminggu, sebulan, setahun, bahkan lima atau sepuluh tahun lagi, Chelle. jadi, tolong ...."


Michelle menggigit bibir bawahnya sendiri. Bingung dengan jawaban apa yang seharusnya dia berikan. Namun setelah mempertimbangkan selama beberapa sekon, gadis itu akhirnya mengangguk. "Oke. Kasih gue waktu buat berpikir, Al."


Senyum Aldino seketika mengembang mendengar itu. Meski tidak terlihat begitu lega, tetapi dia senang bahwasanya Michelle mau mempertimbangkan dirinya.


"Ya. Gue bakal nunggu lo sampai lo dapat jawaban, Chelle. Gue harap, hasilnya positif," gumam Aldino, menatap Michelle sungguh-sungguh. "Gue bakal ngelakuin apa pun buat bikin lo bahagia. Gue enggak akan ngecewain lo, apa pun yang terjadi. Dan gue juga bakal berjuang supaya lo bisa nerima gue."


Michelle hanya menatap Aldino dalam diam. Merasa bingung harus mengatakan apa. Lalu setelah beberapa waktu kemudian, Michelle pamit dan masuk ke dalam rumah.


***


Sementara itu, Rifki pulang ke rumahnya. Bersama seporsi bubur yang dia beli di perjalanan, pria itu berjalan menuju dapur untuk mengambil alat makan.


"Bun, Bunda udah makan?" teriak Rifki dari ruang makan.


Seorang wanita paruh baya dengan wajah yang pucat serta tubuh yang kurus kering keluar dari kamar, menghampiri Rifki yang tengah menuangkan bubur di dalam plastik ke dalam mangkuk.


"Rifki, gimana sama Azka?"


Rifki seketika menghentikan aktivitasnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan ibunya. Namun detik berikutnya, pria itu tersenyum, menoleh pada ibunya yang berjalan dengan langkah ringkih menuju meja makan.


"Bun, Azka sudah dewasa. Dia mungkin lagi senang-senang sama temen-temennya. Namanya juga anak baru puber, kan?" balas Rifki lembut. Dia menyodorkan mangkuk berisi bubur ke hadapan Bundanya. "Makan dulu. Setelah itu minum obat. Bunda pasti belum minum obat, kan?"


Rifki duduk di kursi yang tepat berada di sisi bundanya. Karena wanita itu sama sekali tidak menyentuh mangkuk bubur yang dia berikan, maka Rifki berinisiatif untuk menyuapi ibunya.


"Mbak Dinar bilang, Bunda tadi jalan-jalan ke taman? Gimana, di sana menyenangkan?" tanya Rifki setelah bundanya menyambut bubur yang dia sodorkan ke mulutnya. Diam-diam, lelaki itu tersenyum getir melihat kerutan di sekitar mata bundanya, yang semakin lama semakin terlihat semakin jelas. Umur bundanya tidak lagi muda. Rifki merasa waktu berlalu terlalu cepat untuk mereka.


***


Michelle duduk di sisi ranjang. Terdiam dengan pikiran yang berkelana menuju masa-masa yang telah terlalui begitu saja tetapi masih meninggalkan kenangan yang membekas di ingatan.


Michelle berjalan menuju lemari dengan tinggi satu meter yang terletak di ujung kamar. Membuka laci paling bawah, Michelle mengeluarkan sebuah kotak yang sudah sangat lama tidak pernah dia buka.


Sebuah album foto dengan jilid bertuliskan 'Putih Abu-Abu' seketika membuat hati Michelle tertohok. Kenangan demi kenangan kembali berputar di benaknya saat dirinya membuka album tersebut dan menemukan foto dirinya dengan versi masih sangat muda, mengenakan bandana merah, berseragam putih abu-abu, serta senyum yang begitu cerah. Di sisinya, seorang lelaki tersenyum tak kalah lebar. Dengan wajah polosnya, pria itu merangkul Michelle. Rifki.


Michelle kembali membuka album tersebut. Pada lembaran berikutnya, dia menemukan dirinya dengan setelan yang sama, tetapi Rifki mengenakan jaket denim, terlihat amat kotor. Michelle ingat, itu adalah hari saat mereka berdua melakukan perjalanan ke sebuah bukit menggunakan motor gunung Rifki. Pria itu memang menyukai sesuatu yang ekstrem. Michelle juga. Waktu itu, mereka berdua terjatuh karena jalanan yang licin. Sayangnya, Rifki jatuh tepat di sebuah genangan air yang kotor. Alhasil dia basah kuyup dan belepotan lumpur. Lalu alih-alih menolong, Michelle malah tertawa karena penampilan Rifki sangatlah lucu.


Michelle menghela napas dalam. Dia meletakkan album foto tersebut, sebab matanya menangkap sebuah objek yang menarik perhatiannya. Sepasang cincin perak. 


"Untuk saat ini, gue cuma bisa ngasih ini ke lo. Tapi gue janji, setelah gue dewasa dan bisa cari uang sendiri, gue bakal beli cincin yang lebih bagus dan lebih mahal." Ucapan Rifki beberapa tahun yang lalu menggema di kepala Michelle. Senyum yang disuguhkan pria itu, yang dulu selalu menggetarkan hatinya, terlihat begitu tulus. "Michelle, gue bakal nikahin lo. Gue janji."


Setitik air mata Michelle akhirnya jatuh. Rifki membuatnya jatuh cinta sedalam-dalamnya. Pria itu membuat Michelle begitu percaya padanya, membuat Michelle memupuk banyak harap. Namun pada akhirnya yang terjadi, di saat-saat terakhir, pria itu justru pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa menemuinya untuk kali terakhir. Hal terakhir yang Michelle dengar darinya adalah dua hari sebelum kelulusan.


"Sorry. Gue rasa, gue gak bisa lanjutin hubungan ini lagi, Chelle. Semoga lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue."


Michelle tidak tahu kenapa dan bagaimana bisa semudah itu bagi Rifki untuk mengucapkan perpisahaan. Bahkan saat Michelle bertanya alasannya, pria itu tidak memberikan jawab apa pun.


Rifki masih terlihat tersenyum setelah memutuskannya begitu saja. Dia masih terlihat baik-baik saja sementara Michelle setengah menggila karena patah hati. Lalu setelah kelulusan, pria itu menghilang. Michelle tak bisa menemukannya di mana pun. Dia seutuhnya pergi dari hidupnya, tanpa meninggalkan jejak apa pun. Hanya cincin tersebut yang seminggu kemudian datang dalam bentuk paket tanpa nama pengirim.


***