Contents
CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)
5. Pengakuan Dadakan
Aldino datang tepat pada pukul 07.00 malam ke toko Michelle. Pria itu seolah sudah tahu jadwal pulang Michelle setiap hari. Bahkan melebihi Michelle-nya sendiri.
"Chelle. Aldino jemput." Denise menghampiri Michelle sambil mengedikkan dagu ke arah Aldino yang berdiri di ambang pintu sambil menyenderkan bahu pada kusen pintu.
Michelle yang tengah memeriksa buku keuangan sebelum pulang, akhirnya mengangkat wajah. Menatap Aldino yang lekas melambaikan tangan padanya, lalu melihat jam dinding dan sadar bahwa sudah waktunya pulang. "Oh, okay. Tunggu!" pungkasnya pada lelaki itu.
Michelle lekas merapikan mejanya. Memasukkan buku besar toko ke dalam laci dan menguncinya. Kemudian mengambil tasnya di meja dan berdiri. Saat Denise pamit lewat gestur tubuhnya pada Michelle, Michelle hanya mengangguk kecil.
"Lo jemput gue lagi?" tanya Michelle begitu tiba di hadapan Aldino.
Aldino menegakkan tubuh, mengangkat bahu dengan ringan. "Ya. Kenapa? Apa lo keberatan atas hal itu?"
"Bukan gitu," balas Michelle sambil berjalan keluar. Gadis itu menutup pintu toko lalu menguncinya dari luar. "Gue cuma ngerasa, kalau lo terus-terusan gini, gue ngerepotin lo banget tahu!"
Aldino terkekeh pelan mendengar ucapan Michelle. "Emang kapan gue bilang gue ngerasa direpotin? Lagian gue yang inisiatif sendiri buat jemput lo, dan gue fine-fine aja, kok."
Michelle mengembuskan napas pelan. "Bisa-bisa gue jadi bergantung sama lo kalau lo terus-terusan begini."
Aldino mengulum senyum. "Emang itu niat gue sebenarnya," pungkasnya, yang seketika mendapat delikan sebal dari Michelle. Lantas keduanya tertawa pelan bersama.
***
Perjalanan pulang di setiap akhir pekan seperti biasa selalu diwarnai dengan kemacetan total yang melelahkan. Meski hari-hari biasa pun macet sudah menjadi makanan sehari-hari, tetapi akhir pekan biasanya adalah yang paling menjengkelkan. Perjalanan mereka bisa dua atau tiga kali lipat lebih lama daripada waktu biasanya.
Aldino berinisiatif untuk menyalakan MP3 untuk mengisi kejenuhan di tengah-tengah macet panjang yang mereka alami. Sebuah lagu dari GEMINI mengalun memenuhi ruangan sempit tersebut. Michelle biasanya menyukai lagu-lagu GEMINI dan senantiasa ikut bersenandung. Namun kali ini, gadis itu hanya duduk diam. Seolah pikirannya tengah berkelana di tempat lain.
"Lo enggak apa-apa, Chelle?" tanya Aldino, mengecilkan volume MP3-nya.
Michelle seolah baru saja sadar dari lamunannya yang panjang. Dia mengerjap pelan. "Oh, gue? Enggak apa-apa, kok. Aman-aman," balas Michelle sekenanya. Tidak sejalan dengan raut mukanya yang tiba-tiba kembali masam. Sudah jelas ada yang tidak beres. Aldino tahu itu.
"Kayaknya mood lagi kurang baik hari ini. Ada sesuatu yang terjadi?" Sekali lagi Aldino bertanya. Sebab melihat Michelle seperti ini juga kurang nyaman untuknya.
Selama sesaat, Michelle tidak menjawab. Gadis itu tampak diam merenung. Tatapannya lurus ke depan, seolah tengah melihat sesuatu di sana.
"Lo tahu, Al? Gue ... ketemu dia lagi tadi," pungkas Michelle akhirnya. Mata gadis itu masih tak bergerak.
Sementara Aldino mengernyitkan dahi. "Dia? Siapa?" dia tanya, tak mengerti.
"Rifki."
Mendengar nama itu tercetus dari mulut Michelle setelah sekian lama, seketika membuat Aldino yang kini justru terdiam. Rifki. Jelas dia tidak akan melupakan nama itu. Nama yang dulu senantiasa disebut oleh Michelle dengan senyum cerah. Matanya terlihat hidup setiap kali membicarakan pria itu. Namun semuanya tiba-tiba berubah sejak mereka lulus dan Rifki hilang begitu saja. Michelle dicampakkan dengan cara paling menyakitkan. Sejak kejadian itu, Michelle perlahan berubah. Dia tidak seceria biasanya. Dia banyak diam, dia sukar untuk tertawa, dia bahkan meninggalkan banyak hal yang dulu sering dia lakukan. Semua itu karena Rifki.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Aldino hati-hati. Tidak ingin membuat luka Michelle yang sudah lama dikubur kembali basah dan berdarah.
Michelle menggeleng dengan nanar. "Seharusnya iya. Kejadian itu udah sangat lama. Tapi nyatanya, gue enggak bisa, Al. Gue pikir gue udah sembuh dan lupa akan semuanya. Tapi waktu gue lihat muka itu, gue ... gue masih ngerasa dada gue seakan dihimpit bebatuan besar. Sesak rasanya."
"Sejauh ini lo udah bertahan, Chelle. Lo udah bangkit dan ninggalin masa lalu lo. Jadi, kenapa lo harus goyah hanya karena lo ngelihat dia lagi?" tandas Aldino. Michelle seketika menoleh. Mereka berdua saling menatap. Aldino menarik sudut bibirnya, membentuk senyum yang diharap dapat memberikan kekuatan untuk Michelle. "Lo lebih kuat daripada apa yang lo pikir. Lo lebih tangguh daripda apa yang lo kira. Jadi menurut gue, lo enggak perlu terpengaruh."
Michelle menghela napas panjang. "Gimana kalau gue terus ketemu dan ketemu lagi sama dia? Gue harus apa?"
"Jangan hiraukan," balas Aldino cepat. "Jangan hiraukan dia, sama kayak dia yang pergi tanpa menghiraukan bagaimana hidup lo karena kepergiannya."
Michelle hanya diam setelahnya. Matanya masih terlihat redup. Merenungkan apa yang telah terjadi seharian ini dan apa yang Aldino katakan. Lalu di benaknya terlintas sesuatu. Sesuatu yang sudah lama dia kubur.
"Sebenarnya, Al, gue cuma penasaran, kenapa waktu itu dia ninggalin gue kayak gitu. Dia pergi tanpa sepatah kata pun. Enggak ada yang tahu dia ke mana dan apa kabarnya. Dia seolah-olah hilang ditelan bumi."
Aldino tidak menjawab ucapan Michelle lagi. Dia tidak tahu jawaban dari rasa penasaran Michelle. Dan yang lebih mendesak untuk dia khawatirkan saat ini adalah, hati Michelle.
"Lo ... enggak ada pikiran buat balikan sama dia, kan?"
Michelle jelas terkejut mendengar pertanyaan tersebut secara tiba-tiba dari mulut Aldino. "Lo gila? Setelah ribuan hari gue kehilangan kontak sama dia, gimana bisa hal itu yang ada di pikiran gue?" jawab Michelle. Namun, Michelle sendiri tidak yakin apakah dia menjawab pertanyaan tersebut dari hati ataukah tidak.
"Syukurlah," desah Aldino, mengulum senyum.
Meski pelan, tetapi Michelle mendengar ucapan Aldino tersebut. "Gimana?" dia mendelik pada Aldino.
Aldino menggeleng pelan. Tersipu. "Enggak apa-apa," ucapnya.
Setelah menghabiskan satu setengah jam di jalan, Michelle dan Aldino akhirnya tiba di depan rumah Michelle. Michelle hendak lekas turun, tetapi Aldino masih belum membuka kunci pintu mobilnya.
"Al?" panggil Michelle.
"Ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo, Chelle," kata Aldino, mengutarakan maksudnya menahan Michelle. "Gue takut keberanian gue hilang lagi dan gue kembali dihadapkan dengan penyesalan. Jadi apa pun yang terjadi, gue harus bilang ini sekarang."
Michelle mengerutkan kening. Menatap Aldino lamat-lamat. "Apa?" tanyanya.
"Gue ... sebenarnya gue suka sama lo. Sejak dulu, dan perasaan gue sama sekali enggak pernah berubah."
Mendengar pengakuan dadakan Aldino, Michelle seketika bergeming. Terkejut dengan fakta bahwa Aldino menyukainya sejak lama. Yang artinya, apa yang dipikirkan oleh Rara adalah benar.
"Gue tahu ini terlalu tiba-tiba, tapi gue serius. Kehadiran Rifki bikin gue takut lo mungkin akan goyah," ucap Aldino lagi. "Jadi, gue gak bisa lagi nahan apa yang gue rasain ke lo."
***