Try new experience
with our app

INSTALL

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) 

4. Penolakan

Lembah yang curam, bebatuan besar di sisi lembah yang mungkin bisa saja longsor sewaktu-waktu, serta luas dan panjangnya sungai yang mengalir di bawah lembah tersebut. Pemandangan yang indah sekaligus mengerikan, tetapi pria itu menyukainya. Dia suka memandang langit yang terlihat biru di tempat tersebut. Dia suka melihat sungai yang membentang panjang bersama warna langit yang memantul cantik dan pepohonan yang tumbuh rimbun di sepanjang sisi sungai. Dia juga suka ketenangan yang dia rasakan dari tempat tersebut.


Sebuah kamera menggantung di leher pemuda itu. Benda yang beberapa saat lalu dia gunakan untuk mengabadikan betapa indahnya alam ciptaan Tuhan yang tengah dia lihat saat ini.


"Ki, lo enggak nyuruh gue buat lompat dari sini, kan?"


Suara di sisi kanannya membuat lelaki itu menoleh. Dia lupa bahwa dia tidak datang sendirian, melainkan bersama kawannya yang berambut ikal dan menyedihkan dengan kacamata minusnya yang berembun, Alan.


Rifki Attila Pratama. Pria dengan perawakan sedang dan dianugerahi dengan paras yang manis itu, lantas tertawa. Sungguh menghibur melihat tampang Alan yang ketakutan.


"Dih. Lo pikir gue sesesat itu apa?" pungkas Rifki. Dia mendekat pada Alan dan merangkul bahu pria yang tingginya beberapa senti di atasnya itu. "Ini tempat favorit gue kalau gue lagi galau. Ayolah. Cewek banyak. Ngapain digalauin coba?"


"Iya. Tempat favorit lo, bukan favorit gue!" decak Alan. Merinding melihat tingginya tempat mereka berdiri. Jika salah saja melangkah lalu tergelincir, tamatlah riwayat mereka berdua.


Rifki lagi-lagi tergelak. Apalagi saat Alan berlari menjauh darinya. Menuju mobil mereka yang terparkir di pinggir jalan. Sebenarnya, Rifki masih ingin mengganggu Alan. Dia hanya berusaha menghibur temannya yang sedang patah hati tersebut. Namun, ponselnya membunyikan notifikasi pesan.


08xxxxxxxxxx

[Hai, Rifki. Gue Michelle, temen Denise.]


Rifki tertegun melihat nama yang disebutkan nomor baru tersebut. Apalagi ketika dia membuka foto profil kontaknya dan menemukan sebuah wajah yang tak asing.


Rifki sudah dengar soal teman Denise yang katanya membutuhkan desainer grafis untuk online shop miliknya. Namun, Rifki tidak tahu bahwa orang itu adalah Michelle. Michelle yang sama dengan Michelle yang pernah menjadi 'rumah' untuknya di masa lalu.


***


Toko yang terletak di pinggiran kota itu tampak manis. Bangunannya didominasi oleh dinding kaca dengan isi toko yang mengusung tema sweet and cute. Warna-warna pastel yang sangat disukai oleh perempuan dan anak-anak.


Sadar tak sadar Rifki menyunggingkan senyumnya. Dia tidak mengira Michelle yang dulunya terlihat amat tomboy kini malah membuka toko yang terlihat cewek sekali.


Setelah berusaha untuk menetralkan diri, Rifki akhirnya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki toko tersebut. Suara lonceng terdengar saat dia mendorong pintu kaca toko tersebut. Mengundang beberapa orang di dalam sana seketika memusatkan atensi padanya. Namun atensi Rifki hanya tertuju pada seorang gadis berperawakan tinggi dengan blus berwarna hitam yang dia kenakan. Wajahnya, matanya, serta ekspresi yang dimiliki oleh gadis itu masih terlihat sama. Yang berbeda hanyalah cara berpenampilan serta gaya rambutnya saat ini.


Saat gadis itu masih terlihat begitu shock karena melihat kehadirannya, Rifki mendekat ke arahnya dengan senyum yang amat lebar. "Hai, Michelle," sapa Rifki.


"Lo ...."


"Gue Rifki. Senang bisa ketemu lo lagi." Rifki masih mempertahankan senyumnya kepada Michelle.


Sementara itu, Michelle benar-benar tidak menyangka bahwa orang yang paling dia benci kini berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa dosa. "Senang bisa ketemu gue lagi?" cibir Michelle tak habis pikir. "Lo pikir gue sama senangnya kayak lo?" Michelle terlihat marah karena sesuatu.


Denise yang menyadari Michelle tampaknya akan meledak, segera mendekat ke arahnya dan menghentikan sebelum Michelle benar-benar melakukan hal yang tidak seharusnya.


"Kita di sini mau membicarakan pekerjaan, bukan?" ucap Denise, menatap Michelle dan juga Rifki bergantian berharap mereka bisa bekerja sama dengan baik.


Denise membisikkan sesuatu di telinga Michelle. "Gue nggak tahu kali ini lo ada masalah apa dan bagaimana, tapi tolong jangan bikin kacau. Ayo berpikir rasional."


Michelle akhirnya menghela napas dalam sambil memejamkan matanya untuk menetralkan diri. Sementara Rifki duduk atas arahan Denise di sebuah kursi di depan meja pantry.


Michelle masih belum menghampiri Rifki. Dia berusaha mengumpulkan kewarasan. meski ada banyak hal yang ingin dia katakan dan ingin dia lakukan kepada Rifki, tetapi ia sadar ini bukan waktu yang tepat. Setelah bisa menguasai dirinya, Michelle berjalan menuju meja di mana Rifki duduk.


Sejahat Rifki saat dia meninggalkannya dulu, Michelle juga meyakinkan dirinya sendiri untuk bersikap baik-baik saja sekarang. Dia tidak boleh memperlihatkan jika dirinya masih memiliki dendam masa lalu. Kini mereka sudah sama-sama dewasa, mungkin Rifki sudah melupakan semuanya, meski Michelle sebenarnya sama sekali tidak bisa melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka sebelumnya.


"Gue suka desain-desain yang lo buat," ucap Michelle. Gadis itu seolah telah berubah menjadi orang lain, sungguh benar-benar berbeda daripada dia beberapa saat lalu.


Rifki menatap Michelle sambil mengangguk-ngangguk pelan. "Ya. Lo udah bilang sebelumnya lewat chat."


"Sayangnya gue punya kriteria lain untuk partner bisnis gue yang enggak lo miliki. Jadi I'm so sorry, kayaknya kita gak bisa kerja sama."


Rifki hanya tersenyum tipis seolah tahu sebelumnya bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Namun berbeda dengan Denise yang seketika membulatkan mata tak percaya.


"Michelle, please," bisik Denise.


Gadis itu bangkit dari duduknya lalu menghampiri Michelle. Membawa Michelle sedikit jauh dari Rifki.


"Kenapa? Ada apa sebenarnya di antara kalian berdua?" tanya Denise. Dia terlihat agak lelah.


"Dia mantan gue," jawab Michelle lugas.


"Terus? Apa ada masalah kalau kita kerja bareng mantan?" Michelle tak habis pikir dengan jalan pikiran Michelle. Gadis itu sudah terlalu banyak menolak orang belakangan ini. Dan kini, saat ada orang yang hampir tuntas memenuhi ekspektasinya, dia malah bersikap demikian hanya karena masa lalu mereka.


"Iya. Gue enggak nyaman."


"Lama-lama lo bisa, Chelle." Denise menegaskan. "Kalau lo terus-terusan gini, bisa-bisa toko kita gak punya bahan buat promosi. Kita belum update apa pun selama beberapa hari."


Michelle terdiam merenung. Apa yang dikatakan Denise itu ada benarnya, tetapi Michelle tidak bisa membayangkan jika dia benar-benar bekerja sama dengan Rifki. Sungguh, dia tidak bisa untuk melakukan hal itu.


"Keputusan gue udah bulat. Gue yang punya toko ini dan gue yang punya wewenang penuh. Jadi tolong hormati keputusan gue," tandas Michelle. Gadis itu lalu duduk kembali di kursinya dan menatap Rifki yang sejak tadi tak mengalihkan pandangan dari dirinya sedetik pun.


"Gue udah di keputusan final. Jadi, maaf." Michelle kembali meminta naaf meski tak tulus.


Rifki terkekeh kecil. Kekehan yang persis seperti beberapa tahun lalu. "Ya. Gue udah cukup seneng bisa lihat lo lagi." Lalu dia berdiri dan pamit pada Denise serta yang lain.


Lalu Michelle, dia masih diam seribu bahasa, bahkan saat Rifki sudah pergi dari hadapannya sejak beberapa menit lalu.


***